Kayana and Raechan's Father first meet
Sudah lebih dari dua minggu sejak terakhir kali Kayana merasakan berada satu mobil dengan Raechan. Mereka sama sekali tidak pernah bertemu sejak Raechan mulai meminta tolong pada sahabat-sahabatnya untuk bergantian mengantar ataupun menjemput Kayana. Awalnya Kayana tidak menaruh curiga ataupun merasakan kejanggalan dalam sikap Raechan. Dia hanya mengira bahwa mungkin saja kekasihnya itu sedang merasa kerepotan karena harus membagi tugasnya menjadi mahasiswa dan pegawai di kantor. Namun akhir-akhir ini, saat Kayana tidak lagi mendapati Raechan berkeliaran di kampus ataupun bersantai di studio Jevan, gadis itu mulai bertanya-tanya ada apa dengan Raechan. Saat berusaha menanyakannya pada yang lain, mereka juga sama tidak tahunya dengan Kayana. Bahkan beberapa kali Jevan ataupun Juan mengajaknya untuk nongkrong, Raechan hanya menjawab bahwa dia tidak bisa bertemu untuk sementara waktu karena sedang sangat sibuk.
Kayana penasaran sekaligus khawatir, pasalnya, minggu depan adalah jadwal ujian akhir semester bagi mereka. Namun Raechan malah hilang entah kemana. Laki-laki itu hanya sesekali mengabari Kayana melalui pesan ataupun telepon untuk menanyakan kabar Kayana.
Berbekal rasa penasaran itu, Kayana pergi ke rumah Raechan untuk mencari tahu. Mungkin mama Raechan bisa menjawab rasa penasaran Kayana yang sudah tidak terbendung itu. Rumah Raechan masih sama seperti terakhir kali Kayana datang—saat dia masih berstatus sebagai teman Raechan. Diketuknya pintu rumah itu beberapa kali hingga mendapat sahutan dari dalam. Kayana mengira yang akan muncul saat pintunya terbuka adalah mama raechan, namun ternyata yang berdiri di hadapannya sekarang justru seorang laki-laki berperakan tinggi dengan pakaian rapi dan terlihat begitu berwibawa. Jika tidak salah ingat, laki-laki itu adalah laki-laki yang sama dengan orang yang ada dalam foto keluarga yang sempat Kayana lihat di ruang tamu rumah Raechan.
Laki-laki itu adalah ayah Raechan.
“Mencari siapa, ya?” tanya Andar.
“Mamanya Raechan... ada, Om?”
“Sedang pergi untuk belanja bulanan, mau menunggu di dalam?”
Sungguh, rasanya Kayana ingin menanyakan langsung pada Raechan apakah laki-laki yang sedang berhadapan dengannya ini adalah benar-benar papanya. Saat pertama kali bertemu dengan mama Raechan, Kayana bisa langsung mengenali bahwa itu adalah benar mama Raechan karena sikap dan cara bicara mereka yang sangat mirip. Tapi papa Raechan bersikap begitu berbeda dengan Raechan.
“Mau menunggu di dalam?” tanya Andar lagi karena Kayana tidak kunjung memberi jawaban.
Mulut Kayana sudah terbuka untuk menjawab saat sebuah suara mengiterupsi jawabannya, “Loh Kak Kayana kok di luar aja? Masuk, Kak!”
Dama, adik Raechan itu turun dari motor dan berjalan mendekat pada Kayana dan Andar, “Kalau Abang tau pacarnya disuruh berdiri di depan kayak gini, pasti Papa bakal diomelin.” Dama berucap sembari mengambil tangan papanya untuk dia cium.
“Oh rupanya ini gadis cantik yang Raechan bangga-banggakan,” Andar kembali menatap Kayana, “Mari masuk, Nak!”
“Masuk, Kak. Aku ke atas dulu ganti baju, ya.” Ucap Dama mempersilahkan.
Andar membuka pintu lebih lebar untuk memudahkan Kayana masuk ke dalam. Laki-laki itu juga langsung melesat ke dapur untuk mengambilkan minuman sebelum menemani Kayana duduk di ruang tamu.
“Mamanya Raechan mungkin sebentar lagi pulang. Ditunggu saja, ya?”
“Iya, Om. Terimakasih.”
“Jangan panggil, Om. Papa saja, sebentar lagi juga akan jadi anak Papa, kan?”
Ini dia.
Sekarang Kayana percaya bahwa laki-laki yang sedang mengajaknya bicara adalah papa Raechan. Walaupun kalimat yang keluar dari mulut papanya Raechan selalu baku dan tertata, tapi nada kelembutan dan kenyamanan yang terkandung dalam ucapannya mirip sekali dengan Raechan. Mereka berdua sama-sama tahu cara membuat seorang wanita merasa diterima.
“Om.... maksud saya Papa, Raechan udah ngomong sama Papa soal pernikahan?”
“Tentu saja, Papa malah lebih dulu tahu sebelum Mama.” Andar tersenyum lembut, “Kalau kamu belum siap, jangan dulu di-iyakan keinginan Raechan. Tapi kalau kamu memang sudah siap, Papa dan Mama merestui kalian untuk menikah muda.”
“Kayana kadang-kadang suka kaget sama sikap Raechan, Pa. Rasanya baru kemarin anak itu datengin Kayana dan bilang dia gak akan berhenti ngejar Kayana sampai nama Leenandar ada di belakang nama Kayana, terus sekarang... tiba-tiba, dia bener-bener mau Kayana pakai nama belakangnya.” Itu baru pertemuan mereka, tapi atmosfer kedekatan sudah menguar begitu baik hingga Kayana tidak merasa canggung lagi.
“Kemarin Papa sudah bertemu ayah kamu, tapi Papa gak bilang apa-apa soal ini karena sepertinya ayah kamu belum tahu soal ini.”
“Iya, Pa, Ayah belum tahu.”
“Ya sudah, coba kamu bicara dulu dengan keluarga kamu ya. Kayana kan anak satu-satunya, perempuan lagi, pasti butuh waktu lebih banyak untuk berfikir.” Andar memilih untuk menyudahi perbincangan itu, “Oh iya, ini ada apa kamu kesini cari Mama?”
“Sebenernya, Kayana mau cari Raechan, Pa. Udah sebulan ini dia selalu bilang sibuk di kantor, tapi Raechan gak pernah keliatan ke kampus.”
“Loh... Dia selalu ke kantor sore menjelang malam, kok. Pagi sampai siang dia kuliah, kan?”
“Seharusnya gitu, Pa. Dulu selalu begitu juga, pagi-pagi Raechan jemput Kayana terus kita ke kampus bareng, baru sorenya dia pamit buat ke kantor. Baru sebulan ini deh dia gak keliatan di kampus.”
Andar diam sebentar, mengira-ngira apa yang salah dengan anaknya, “Kemana anak itu....”
“Ya sudah, nanti Papa ajak dia bicara, ya? Kamu gak usah khawatir.”
Kayana mengangguk pelan, meskipun rasa khawatirnya juga belum menghilang.