Obrolan Antar Lelaki

“Daaahh, sayang! Jam sembilan Mama pulang ya! Selo jangan lupa minum susu sebelum bobo ya, Sayang!”

Sama halnya dengan hampir seluruh ibu-ibu di muka bumi, Mama tidak akan berhenti berpesan sampai mobil yang ditumpanginya meninggalkan pekaran rumah. Raechan menggandeng tangan Selo untuk kembali masuk ke dalam rumah setelah mengirim Mama pergi—berbelanja dengan kartu kredit Papa.

“Mama lu kirim kemana, Bang?” Dama bertanya saat melihat gue dan Selo berjalan masuk ke rumah.

“Belanja, biar doi gak kepo liat gue sama Papa ngobrol, itung-itung me time juga lah buat Mama biar gak bosen di rumah mulu.”

“Emang lu mau ngobrolin apaan sama Papa sampek Mama disuruh pergi segala?”

“Soal yang tadi pagi.” jawab Raechan membuat Dama membelalak terkejut, “Lu serius mau kawin, Bang?”

“Papa juga heran sekali dengan abangmu itu, Dam.” Sebuah suara muncul dari lantai dua, seorang pria dengan kaus polo berwarna putih turun dari tangga dengan langkahnya yang gagah, “Papa kaget tadi pagi dia bilang mau menikah.”

Saat berbicara—Andar—Ayah Raechan selalu menggunakan kata-kata baku, entah karena terbiasa berbicara dengan orang-orang penting atau karena dia menyukai berbicara dengan gaya seperti itu saja. Tapi hal itu tidak membuat orang-orang di sekitarnya merasa kikuk untuk berada di dekatnya. Karena dibalik kebakuannya itu, Andar adalah sosok laki-laki yang lembut dan penyayang.

“Nah, Pa, duduk sini, Pa. Kita bahas soal itu.” ucap Raechan dengan semangat, “Selo, selo nonton spongebob dulu, ya? Abang mau ngobrol sama Papa.”

Adik laki-lakinya yang baru berusia tiga tahun itu hanya mengangguk mengerti dan langsung memusatkan perhatiannya pada layar televisi.

“Kamu kenapa tiba-tiba ingin menikah, Rae? Setahu Papa kamu bahkan gak pernah bertahan lama sama pacar-pacarmu yang dulu.”

“Tobat kali tuh, Pa.” sahut Dama.

“Soalnya cewek yang dulu-dulu gak asik sih, Pa!”

“Yang sekarang asik?” tanya Papa lagi.

“Pa, Papa pernah gak sih ngerasa cintaaaaa banget sama cewek gitu? Yang kalau tiap anter dia pulang tuh rasanya beraaat gitu, kayak mikir gini jadinya aduh lo gak usah pulang deh, sama gue terus aja. Pernah gak?”

Belum lagi Andra menjawab, Dama lebih dulu mendahului Papanya itu, “Lu mikir dah, Bang! Kalau Papa gak pernah ngerasain hal kayak gitu, lu, gua, Selo, kita gak bakal ada!”

Andra terkekeh mendengar ucapan anak keduanya itu, “Dama benar. Tentu saja Papa pernah, ya ke Mama kalian itu.”

Ekspresi antusias langsung menghiasi wajah Raechan, “Nah! Itu yang aku rasain ke Kayana, Pa. Aaahh, Papa sibuk terus sih, makanya belum sempet ketemu dia. Kalau Papa udah ketemu sama dia dan ngobrol sebentar aja, Papa bakal paham kenapa Raechan kayak gini.”

Andra mengangguk paham, “Kamu sudah bertemu orang tuanya? Bertemu untuk mengobrol, selayaknya laki-laki yang bukan hanya mau ke anaknya, tapi juga seluruh keluarganya.”

“Udah dong! Ayah sama Ibunya aja suka banget sama aku! Aku yakin, pasti direstuin deh!”

“Belum tentu, Rae. Kamu datang ke mereka kan belum menawarkan pernikahan. Saat tahu anaknya akan diminta untuk menjadi istri kamu, respon mereka bisa saja berbeda. Ada banyak ketakuan orang tua untuk melepaskan anak mereka pada orang lain.”

Saat mendengar itu, antusiasme Raechan menurun.

Bener juga kata Papa, pikir Raechan.

“Raechan, saat mau mengambil seorang anak dari orang tuanya, pastikan dulu kalau kehidupan yang akan kamu berikan ke anak mereka akan lebih baik, atau setidaknya harus setara dengan yang sudah mereka berikan. Kalau sebelumnya dia tinggal di tempat yang nyaman, maka kamu juga harus memberinya rumah yang aman dan nyaman. Kalau sebelumnya dia tidak pernah kekurangan, maka beri dia kehidupan yang lebih dari kata cukup. Bahagiakan dia, sebagaimana orang tuanya berusaha untuk memberi kebahagiaan pada anak itu.”

“Raechan tahu, Pa...”

“Kalau kamu tahu, artinya kamu harus mempersiapkan segalanya. Sebetulnya Papa bangga sekali, anak Papa sudah berani untuk ambil keputusan sebesar ini di usia yang begitu muda, tapi Papa juga harus memastikan kalau anak Papa ini memang sudah cukup pantas untuk menanggung tanggung jawab besar atas hidup orang lain.”

“Pa...”

“Tentang posisi di kantor yang kamu ingini, Papa bisa berikan. Papa juga tahu kamu punya tabungan yang cukup. Tapi untuk sisanya, kamu harus menyiapkan semuanya sendiri, Rae. Tapi Papa selalu ada di belakang kamu, untuk mensupport kamu.”

Malam itu, tidak seperti biasanya, Raechan merasakan sudut-sudut matanya berair.

“Kamu anak Papa yang pertama, selama ini kamu berhasil jadi sosok kakak yang memimpin dan membimbing adik-adik kamu, jadi Papa yakin kamu bisa jadi kepala keluarga yang baik.”

Bulir-bulir air mata yang menyodok-nyodok ujung mata Raechan akhirnya tumpah juga saat Andra merangkul bahunya dan menepuknya pelan, “Papa izinkan kamu untuk menikah.”