That's What Friends Are For

Sepasang mata menatap nanar ke arah pintu cafe dari balik counter pemesanan tempat si pemilik mata berdiri. Pikirannya menerawang memikirkan banyak sekali hal. Mulai dari urusan keuangan hingga hal-hal lain yang harus dia persiapkan. Ponselnya tergeletak di samping tangannya yang terkulai lemah di atas meja, masih menyala menampilkan isi pesan yang dia terima dari sahabatnya beberapa menit lalu.

Delapan puluh juta rupiah, biaya yang harus dia keluarkan untuk sebuah intimate wedding. Mewujudkan impian pernikahannya yang sudah dia rancang sejak pertama kali bertemu dengan gadis cantik yang kelak akan dia jadikan ratu di pesta perkawinannya itu. Napas Raechan berhembus pelan, mencoba membawa kembali kesadarannya yang sempat direnggut oleh deretan angka yang jumlahnya tidak main-main. Dia menutup aplikasi pesan pada ponselnya dan menatap sebuah foto yang ada pada homescreennya. Foto Kayana, yang dia ambil pada makan malam pertama mereka. Dalam foto itu, Kayana mengenakan topi yang hampir menutupi seluruh bagian wajahnya. Posenya yang menunduk membuat Raechan semakin kesulitan untuk mengabadikan wajah cantik itu dalam bentuk foto. Namun sampai saat ini, bahkan setelah ratusan foto yang dia ambil dengan wajah Kayana terlihat sepenuhnya, Raechan masih sangat menyukai foto pertamanya itu. Foto itu kembali memberinya semangat, meskipun saat ini tubuhnya sudah seperti robot yang kehabisan baterai.

Selama hampir lebih dari dua minggu, Raechan tidak punya cukup waktu untuk beristirahat. Dia berangkat dari rumah pukul tujuh pagi, bukan untuk ke kampus, melainkan pergi ke sebuah cafe yang berada jauh dari rumahnya, kampus dan studio Jevan. Raechan bekerja sebagai pegawai part-time di sana. Lalu pukul tiga sore, dia akan pergi ke kantor papanya untuk melakukan tugasnya sebagai karyawan di sana, hingga pukul sepuluh malam. Lalu setelah itu dia akan pulang ke rumah, mengabari kekasihnya yang telah seharian dia abaikan. Raechan tidak dengan sengaja mengabaikan Kayana, hanya saja pekerjaannya yang menumpuk membuatnya tidak bisa se-intens dulu dalam memberi perhatian pada Kayana. Dia hanya berharap bahwa gadis itu kelak akan mengerti, kalau Raechan melakukan semua ini untuk dirinya.

Mungkin bagi sebagian orang, mereka akan bertanya-tanya. Kenapa Raechan segigih ini untuk menikah dengan Kayana di usia mereka yang begitu muda? Atau sebagiannya lagi akan menghakimi keputusannya. Tapi Raehan tahu apa yang dia inginkan. Raechan tahu apa yang terbaik untuk hidupnya. Sejak awal, Raechan tahu bahwa yang dia inginkan bukanlah menjadi kekasih Kayana. Tetapi menjadi partner dalam kehidupan untuk gadis itu.

Seperti yang dia katakan sejak awal, dia tidak akan berhenti sampai nama Leenandar ada di belakang nama Kayana.

Denting lonceng pada pintu masuk membuat Raechan menatap ke sana, sorot matanya jatuh pada seorang laki-laki yang sangat dia kenali. Jaenandra, dia berdiri di sana dengan tatapan mata marah.

“Jaenan, lo...”

“Jatah bolos lo masih banyak apa gimana, sih? Yakin banget lo nilai UAS lo bakal bagus sampek gak pernah masuk kelas gitu? Ya gue tau sih lo pinter... Bokap-nyokap lo tau anaknya malah pergi ke sini dan bukannya pergi ke kampus? Lo pikir Kak Kayana seneng lo lakuin ini buat dia?” Jaenandra berbicara tanpa memberi jeda, dia berjalan cepat ke arah Raechan, “Ice Americano satu, haus gue.” Lalu melenggang pergi dan duduk di salah satu kursi yang terletak paling dekat dengan counter.

Raechan terkekeh pelan menyaksikan tingkah Jaenandra, tangannya dengan cekatan menyiapkan pesanan yang diminta oleh sahabatnya itu. Untung saja saat ini cafe sedang kosong, hingga tidak ada yang ikut menyaksikan omelan panjang Jaenandra.

“Lo milih tempat part time jauh amat dah di ujung dunia gini. Gaji lo gak abis buat beli bensin emangnya?” Jaenandra menatap ke sekeliling cafe, “Bukannya nabung buat kawin, malah nombok lo yang ada.”

Lagi, Raechan hanya terkekeh pelan. Sebetulnya, dia merasa lega karena Jaenandra paham akan situasinya tanpa perlu dia jelaskan. Tapi Raechan juga bertanya-tanya dari mana sahabatnya itu tahu kalau dia berada di sini.

“Bokap gue kemarin kesini, mungkin lo gak ngenalin dia. Soalnya bokap gue pakai masker, sengaja, biar lo gak ngerasa ke-gep. Tapi bokap gue langsung ngabarin gue buat ngasih tau lo ada di sini, makanya gue kesini sekarang. Tenang aja, gue belum kasih tau yang lainnya.” Seakan bisa membaca pikiran Raechan, Jaenandra menjelaskan tanpa perlu ditanya.

“Pesanan lo.” Raechan ikut duduk di kursi yang ada di seberang Jaenandra, “Dan makasih karena lo gak kasih tau yang lain soal gue.” Raechan berucap tulus, benar-benar berterimakasih karena Jaenandra telah menjaga rahasia yang coba disimpannya sendiri. Raechan sengaja tidak memberi tahu siapapun, terutama Kayana, karena dia merasa ini memang tanggung jawabnya sendiri sebagai seorang laki-laki.

“Kak Kayana nyariin lo terus, tuh, ke kelas. Tiap dia mau bareng gue buat ke studio, dia selalu bilang ke gue buat nunggu dia di parkiran aja. Soalnya dia mau ngecek lo ke kelas dulu sebelum ke studio Jevan.”

“Kalau kalian, nyariin gue juga gak?”

“Ya lo pikir aja sendiri, anjing.” Jaenandra menyesap ice americanonya setelah melemparkan tatapan marah pada Raechan sekali lagi, “Kata lo kalau masalah duit udah gak ada masalah, kok masih part time aja sampek ngorbanin kuliah?”

“Buat wedding party, Jaen. Gue gak mau pake duit Papa. Lagian ini gue manfaatin jatah bolos gue ni, jadi aman, gue tetep bisa ikut UAS minggu depan.” jelas Raechan santai, “Abis UAS kan kita libur, jadi aman buat gue ambil dua kerjaan sekaligus kayak sekarang ini.”

Jaenandra menatap Raechan menyelidik. Mulai dari mata sahabatnya yang mulai terlihat lelah, rambutnya yang memanjang hingga bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di sekitar dagunya, “Buat urusan kampus sih oke, tapi kesehatan lo gimana? Tuh nyukur aja sampe gak sempet.”

“Hahahaha, iya nanti gue cukuran.”

“Ajak lah, Rae, Kak Kayana jalan sesekali. Jangan bikin dia ngerasa kesepian gitu, lo sendiri yang bilang gak suka liat dia kesepian.”

“Iya, Jaen.”

“Jangan bikin Kak Kayana gak merasa diinginkan, dari awal, lo udah nunjukin ke dia seberapa besar keinginan lo buat sama dia, kalau tiba-tiba lo ngilang-ngilangan kayak gini, bisa aja dia ngerasa gak lo inginkan lagi. Tanggung jawab sama ekspektasi yang udah dia punya tentang lo, Rae.”

“Iya, Jaen.”

“Jangan iya-iya aja lo.” Jaenandra berdiri dari duduknya hanya sekadar untuk menoyor kepala Raechan, “Kalau lo butuh part time yang fee-nya lebih besar dan gak nyita terlalu banyak waktu, telfon aja bokap gue, doi lagi butuh anak marketing buat bisnis barunya.”

“Jaen...”

“Gak usah ngerasa spesial, lo telfon bokap gue juga buat interview dulu, gak asal langsung diterima. Gak usah geer.

Raechan terkekeh untuk terakhir kali sebelum mengantar Jaenandra pergi. Dia menatap mobil Jaenandra yang melaju meninggalkan cafe. Dalam hati, Raechan mengucapkan syukur yang begitu besar. Sahabatnya itu, tidak perlu diragukan lagi rasa perdulinya pada orang-orang yang dia sayangi. Dan kali ini, Raechan yang merasakan keperduliannya.