A Day With You.

“Neng Elen, ada yang cari nih.”

Kening gadis cantik yang tengah sibuk memoles wajahnya dengan riasan tipis itu berkerut, menerka-nerka siapa yang dimaksud Pak Abidin tengah mencarinya. Jelena tidak merasa sedang menunggu siapapun ataupun memiliki janji temu dengan siapapun. Hari ini, dia hanya akan pergi ke rumah sakit untuk menjaga Jevan bergantian dengan Markio dan Juan.

“Siapa Pak Abidin?”

Sekian detik terlewat, namun jawaban dari Pak Abidin yang ditunggu Jelena tidak kunjung terdengar. Gadis cantik itu memutuskan untuk keluar dari kamar, memeriksa sendiri siapa yang sedang mencarinya.

“Lo... kok... Jev...” Jelena terbata-bata, mendapati Jevan tengah duduk santai di ruang tamu apartemen miliknya. Jevan mengenakan pakaian santai seperti yang sehari-hari dia gunakan, tidak lagi mengenakan pakaian rawat rumah sakit. Di keningnya juga tidak lagi ada perban.

“Hai?” sapa Jevan dengan senyum ramah.

“Kok lo disini Jev?” Akhirnya Jelena bisa bertanya setelah berusaha menangani keterkejutannya.

“Semalem, pas lo udah balik, dokter cek kondisi gue. He said everythings good for now, jadi gue udah boleh pulang.”

“Terus kok lo gak bilang ke gue? Kok Kak Kiyo juga gak ngabarin?”

Jevan bangkit dari duduknya kemudian jalan mendekat pada Jelena. “Sengaja, biar surprise.”

Sebelah tangan Jevan terangkat untuk merapikan anak rambut Jelena yang jatuh mengenai kening. “Udah belum make upnya? Jalan yuk? Gue bosen di rumah sakit berhari-hari.”

“Kak Kiyo sama Juan gimana? Gue kan udah bilang mau bawain makanan.”

“Mereka udah gue ajak sarapan bubur, aman.” Jevan membalikkan tubuh Jelena dan mendorongnya pelan. “Gih ambil jaket, hari ini kita bakal sampe malem. Gue mau seharian sama lo.”

Jelena menurut, meraih satu jaket yang selalu tergantung di lemari pakaiannya. Jaket yang sebenernya adalah milik Jevan. Jaket yang Jevan berikan pada Jelena saat pertama kali laki-laki itu mengantarnya pulang. Jaket yang tidak pernah lagi Jevan inginkan karena baginya, jaket itu adalah pengganti dirinya ketika dia sedang jauh dari Jelena.

“Kita mau kemana sekarang?”

“Ikut aja.” Senyum Jevan mengembang. “Pak Abidin, saya ajak Elen jalan dulu ya. Nanti saya bawain Bapak martabak kalau pulang!”

Jelena hanya diam, menurut. Bahkan di sepanjang perjalanan, dia tidak banyak bertanya. Dia hanya fokus menatap Jevan dari kursi penumpang. Jevan, Jevannya yang kini telah membaik. Luka-luka ditubuhnya mulai mengering, lebam-lebam di sekujur lengannya mulai memudar dan wajah sumringah Jevan juga telah kembali.

Terlalu asyik menatap Juan membuatnya tidak sadar kalau mereka telah tiba di suatu toko buku, tempat biasa dimana Jelena bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sana.

“Kok kesini?”

Bukannya menjawab, Jevan malah melemparkan pertanyaan lain. “Lo baca Bumi Series udah sampe mana?”

“Sampe Selena, kenapa sih Jev emangnya?” tanya Jelena penuh penasaran akan sikap Jevan yang terburu-buru membawanya masuk ke toko buku dan menuju ke sebuah rak khusus.

“Oh oke, berarti abis itu kita beli Nebula, Si Putih, Lumpu, Bibi Gil dan Sagaras ya?” Tangan Jevan begitu cekatan meraih buku yang dia sebutkan. Setelah yakin tidak ada yang terlewat, dia mengajak Jelena untuk menuju kasir.

“Mbak, acaranya lima belis menit lagi kan?” tanya Jevan pada seorang wanita yang berdiri di balik meja kasir.

“Iya, Mas. Abis ini langsung ke lantai dua aja.”

Mata Jelena masih mengikuti gerak-gerik Jevan yang membuatnya bingung. Bertanyapun tidak ada gunanya, karena sejak tadi Jevan terus mengabaikannya tiap kali Jelena bertanya.

“Yuk sekarang ke lantai dua.”

Barulah ketika Jelena menapakkan kaki di lantai dua toko buku tersebut, dia akhirnya memahami semuanya. Sebuah poster besar bertuliskan “Bincang Buku Bersama Tere Liye” menjelaskan semua sikap Jevan yang terburu-buru sejak tadi.

“Nanti kita minta tanda tangan di semua buku yang kita beli ini ya? Terus lo simpen deh buku-bukunya.”

Hati Jelena terasa hangat. Perasaan yang lebih besar dari sekedar bahagia memenuhi relung hatinya. Jevan bukanlah tipikal laki-laki yang gemar membaca buku, tapi dia tahu semua judul buku yang Jelena baca. Jevan tahu siapa penulis favorite Jelena. Jevan tahu judul buku apa yang Jelena tunggu tanggal releasenya. Jevan tahu toko buku mana yang sedang memberikan potongan harga. Bahkan sekarang, Jevan, laki-laki itu tahu bahwa hari ini salah satu penulis favorite Jelena tengah mengadakan sebuah acara bincang buku. Acara yang bahkan Jelena sendiripun tidak ketahui karena selama beberapa hari ini, dia hanya memperdulikan keadaan sahabatnya itu.


“Sekarang kita mau kemana?”

A place that you really love.

“Pasar bunga?”

Jevan tidak menjawab, laki-laki itu hanya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan kota yang padat. Mengemudi dengan hati-hati karena seseorang yang dibawanya adalah gadis yang harus dipastikan keamanannya.

Mereka tiba di pasar bunga pukul tiga sore, dimana keadaan pasar sudah tidak terlalu ramai. Jelena bisa berjalan di depan Jevan tanpa harus berbenturan dengan pengunjung lain. Hal itu tentu saja membuat Jevan lega, karena gadisnya tidak perlu penjagaan ekstra.

“Jev, bunga yang itu cantik deh. Kayanya gue belum pernah beli yang itu.” Jelena menunjuk sebuah bunga berwarna putih dengan kelopak terbuka.

Tanpa bertanya lagi pada Jelena, Jevan mendekat kepada seorang bapak penjual dan membayar senilai yang diminta.

“Nih.”

“Loh kok sama mawar pink juga?” Jelena bertanya heran karena ketika Jevan kembali mendekat, laki-laki itu tidak hanya membawa satu ikat bunga yang dia inginkan, namun juga seikat bunga lain.

“Tadi bunga yang warna putih bisikin gue, katanya dia gak pede kalau dibawa pulang sendirian.”

“Kenapa emangnya?”

“Katanya takut kalah cantik sama yang bawa pulang, jadi dia minta dicariin temen.”

Klian harus tahu, kaki Jelena tidak lagi menapaki bumi.