Audore

Audore cafe malam itu jauh dari suasana yang biasa ditampilkannya. Tidak ada live band, tidak ada tawa dari pengunjung yang datang, tidak ada pelayan yang sibuk lalu-lalang dan tentu saja tidak ada Jevan dan kawan-kawannya.

Malam itu, hanya ada Jelena di sana. Duduk seorang diri ditemani segelas minuman yang tersisa setengah. Banyak pikiran berkecamuk di kepala gadis cantik itu. Tentang Jevan, tentang mimpi pria itu yang layak diperjuangkan, tentang luka-luka di tubuhnya dan tentang larangan keras Alexander terhadap putra semata wayangnya.

Jelena tidak mengerti, apa yang salah tentang musik? Kenapa Alexander begitu menentang mimpi Jevan? Apakah membanggakan orang tua harus dengan meneruskan bisnis keluarga?Tidak ada kah jalan lain?

Ayah Jelena juga seorang pebisnis, tapi tidak pernah sekalipun ayahnya memaksa Jelena untuk menggeluti atau meneruskan bisnis keluarga itu. Jadi sebetulnya, Jelena sulit sekali memahami apa yang terjadi antara dua orang dengan nama belakang Novanda itu.

“Nak maaf rapatnya lebih lama dari yang diperkirakan, kamu sudah pesan makanan?”

Suara itu terdengar beriringan dengan aroma parfum yang menguar memenuhi cafe. Seorang laki-laki mapan berusia empat puluhan duduk dengan penuh wibawa di hadapan Jelena. Style laki-laki itu tertata dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut dengan potongan rapi, wajah yang bersih dari kumis dan jenggot, kemeja dan jas yang disetrika hingga licin dan jangan lupakan sepatu yang disemir hingga mengkilap.

“Belum Om, Elena nunggu Om Alex.”

“Ya sudah yuk pesan, kamu mau makan apa, Nak?” Alexander tersenyum ramah.

Croffle Ice Cream aja, Om Alex?”

“Om nasi goreng saja.”

Jelena memberi kode pada salah satu pelayan untuk mendekat. Dia menyebutkan makanan yang dipesan dan mengirim pelayan itu untuk kembali menjauh.

“Ada apa Nak? Tumben sekali kamu mau makan malam dengan Om. Tidak kumpul dengan teman-temanmu?”

“Mereka lagi jagain Jevan di rumah sakit Om.”

Ada hening yang panjang setelah jawaban lugas itu. Alexander memandang Jelena dengan tatapan rasa bersalah.

“Keadaan anak itu—”

“Gak ada tulang yang patah, tapi seluruh tubuhnya lebam.” Jelena memotong dengan cepat. “Jari-jari tangannya masih utuh Om, dia masih bisa main gitar. Jangan khawatir.”

“Elena, kamu tau Om gak pernah suka Jevan main musik.”

“Tapi Jevan cinta musik Om. Seumur hidupnya dia habisin buat main musik. Om mau liat buktinya?”

Tanpa menunggu jawaban Alexander, tiba-tiba lampu cafe meredup, digantikan sebuah cahaya terang yang memantul ke tembok.

Sebuah video terputar di sana. Video saat Jevan berumur kira-kira lima tahun, dalam video itu telrihat Jevan kecil tengah memainkan piano mainan bersama ibunya. Jevan tampak bahagia di video itu, senyumnya sumringah.

Menit berikutnya, tampak Jevan dengan ukuran tubuh yang sedikit lebih besar. Mungkin usianya sembilan tahun saat itu. Jevan dengan pakaian sekolah dasar itu tampak bahagia belajar gitar bersama seorang guru laki-laki. Ibunya juga ada di sana, tersenyum memandangi mereka.

Menit berganti lagi, kali ini Jevan sudah beranjak remaja. Rekaman video itu berisi Jevan dan kawan-kawannya sedang mengikuti lomba band mewakili sekolah. Di sana Jevan tampak dengan semangat memukul alat musik drum.

Jelena memeriksa wajah Alexander. Mencoba mencari tahu perasaan macam apa yang dimiliki ayah sahabatnya itu ketika video-video ini terputar di hadapannya. Tapi sayang, Jelena tidak menangkap perubahan mimik wajah apapun. Wajah Alexander masih nampak tenang, namun dalam ketenangan itu tersimpan rahasia besar yang entah apa.

Video berhenti. Lampu kembali menyala, menerangi Jelena dan Alexander yang saling menatap.

“Om tau gak kenapa Elena milih tempat ini?”

“Kenapa?”

“Karena disini tempat biasanya Jevan bisa bebas main musik. Om bisa liat di ujung sana, di sana ada alat musik yang bisa Jevan pinjam dengan cuma-cuma. Jevan biasanya bisa berjam-jam ada di cafe ini.”

Sosok Jelena malam ini sungguh berbeda dari yang biasa Alexander lihat. Ketegasan dalam suaranya, keberaniannya menegur Alexander secara langsung, berbanding terbalik dengan sisi Jelena yang selalu terlihat lembut.

“Om, Jevan cuma bahagia waktu dia main musik. Om bisa liat kan di video tadi? Jevan sebahagia itu waktu dia main musik Om.”

Jelena menyentuh lengan Alexander dan berkata, “Om, boleh gak Jevan main musik tanpa harus dipukulin lagi? Kasian anak itu Om, dia cuma pengen ngelakuin apa yang dia suka. Tolong izinin dia ya Om.”

Ada sesuatu yang mengiris hati Jevander kala Jelena menatapnya nanar. Alexander bisa melihat ada air mata di sudut mata gadis cantik itu. Sebetulnya, jika boleh jujur, ada perasaan bersalah yang amat mendalam pada diri Alexander kala dia tahu anak semata wayangnya dirawat di rumah sakit akibat ulahnya sendiri.

“Elena... Baiklah... Om izinkan dia main musik dan kuliah di jurusan itu. Om mecoba mengerti kamu dan dia, tapi Nak...”

Kali ini Alexander yang menyentuh lengan Jelena.

“Om juga minta pengertian kamu ya? Om gak akan menyerah untuk menjadikan dia penerus perusahaan, karena dia satu-satunya anak Om, Elena. Om bekerja keras selama ini hanya untuk membuat hidupnya nyaman dan Om ingin memastikan dia selalu hidup nyaman sampai kapanpun. Dan satu hal yang Om yakinin adalah, perusahaan ini yang bisa menjamin kenyamanan itu, bukan musik.”

Hati Jelena memaksanya untuk protes, tapi otaknya justru berbisik pelan bahwa dia juga harus mencoba memahami maksud Alexander. Laki-laki berwibawa itu ada benarnya, perusahaan besar Alexander memanglah jaminan paling baik untuk hidup Jevan. Jelena juga menjadi paham bahwa selama ini Alexander bukannya memaksakan kehendaknya karena keegoisannya sendiri, melainkan ada tanggung jawab seorang ayah atas kenyamanan hidup putranya.

“Ya Om, itu udah cukup.”

Alexander tersenyum lembut, dia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya.

Sebuah kartu berwarna hitam pekat dengan deretan beberapa angka di atasnya.

“Om punya satu rumah di perumahan Kalora, tolong bilang ke Jevan dia bisa ubah rumah itu menjadi studio pribadi miliknya.”

Alexander lalu meletakkan kartu hitam itu ke telapak tangan Jelena.

“Dan ini... tolong temani Jevan untuk beli semua alat musik yang dia mau. Temani dia untuk mengisi studionya sendiri, sesuai yang dia mau.”

“Nomor rumahnya berapa Om?”

“Blok J nomor 23, inisial nama dan tanggal lahir Jevan.”