Family
Bagi sebagian orang tua, tinggal jauh dari anak adalah hal yang menyedihkan sekaligus menakutkan. Intensitas pertemuan yang tidak tentu, kabar yang terkadang tidak sampai dan bahkan kerinduan memuncak yang tak kunjung terobati. Hal itu pula lah yang dirasakan orang tua Jelena ketika mereka harus pindah ke suatu daerah untuk mengurus cottage dan villa milik keluarga mereka yang tidak terhitung jumlahnya. Mereka harus meninggalkan Jelena di kota demi pendidikan anak semata wayang mereka itu.
Guna mengurangi rasa khawatir, orang tua Jelena mengirimkan Abidin-orang yang paling dipercaya ayah Jelena- untuk menjadi supir pribadi sekaligus seseorang yang akan menjaga Jelena di kota. Abidin alah sosok yang sangat berwibawa, hangat, dan penyayang. Tak heran, seluruh kawan-kawan Jelena juga kenal dekat dengan beliau. Terlebih Jevan, laki-laki itu sudah seperti kawan baik Abidin sendiri. Sering kali Jevan datang tengah malam ke apartemen Jelena hanya untuk menantang Abidin bermain catur.
Namun, meskipun begitu, Jevan merasa bahwa Jelena tidak perlu lagi ditemani oleh Abidin. Usia Jelena sudah delapan belas tahun sekarang, sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya sendiri. Dan laki-laki muda itu merasa bahwa dia mampu menggantikan peran Abidin untuk turut menjaga Jelena, dengan caranya.
Hal itu lah yang menjadi tujuannya datang ke rumah Jelena di tengah-tengah kesibukannya sebagai calon mahasiswa.
“Jadi menurut kamu, Pak Abidin di sini aja jagain Om?”
Jevan mengangguk antusias atas pertanyaan Iskandar, ayah Jelena.
“Iya Om, kalau dibanding Elena, Om lebih butuh disupirin buat kemana-mana. Om lebih sibuk. Kalau Elena mah biar sama saya aja Om.”
Iskandar terkekeh mendapati ekspresi dan intonasi Jevan yang bersemangat atau bahkan cenderung menggebu-gebu.
“Om ngerti maksud kamu, Jevan. Tapi boleh ya Pak Abidin jagain Elena paling enggak dua bulan lagi aja? Sampai Elena benar-benar resmi jadi mahasiswi, soalnya masa awal-awal kuliah kalian pasti akan sama-sama sibuk, jadi biar Pak Abidin bantu Elena di masa awal-awal kulihanya dulu.”
“OKE OM! Makasih ya. Nanti kesananya saya janji bakal jagain Elena, Om bisa percaya sama saya.” Jevan mendekat dan membanting dirinya di sisi sofa yang kosong, kemudian laki-laki itu memeluk ayah Jelena dari samping.
“Om yang harus makasih ke kamu. Makasih selama ini udah jagain Elena, bertahun-tahun kamu selalu temenin dia pulang kesini tiap libur sekolah. Gak kerasa kalian sudah mau jadi mahasiswa, sudah mulai dewasa, Om percayakan Elena sama kamu dan kawan-kawanmu, Jevan. Kalian semua anak baik. Om dan Tante sayang sama kalian seperti anak sendiri.”
“Saya pengen beneran pengen jadi anak Om sama Tante, Om mau tau gak gimana caranya?”
“Gimana?”
“Menikah sama Elena. Nanti kan saya jadi anak menantu Om sama Tante.”
Iskandar tertawa, perutnya yang sedikit buncit bergerak naik turun. Membuat tubuh Jevan yang menempel erat padanya juga ikut bergerak.
“Ya-ya boleh, nanti kalau sudah waktunya kamu nikahi dia ya.”
“Oke Om.”
Tawa mereka menggema memenuhi ruang tamu milik keluarga Iskandar, bahkan terdengar hingga ke dapur dimana Jelena dan ibunya sedang memasak untuk sarapan.
“Papa kayaknya seneng banget akhirnya ketemu Jevander lagi,” ucap ibu Jelena sembari memotong-motong wortel. Yang diajak bicara hanya tersenyum samar mengiyakan.
“Hubungan kamu sama Jevander gimana sih Nak sebenernya?”
“Sahabat, Ma.”
Ibu Jelena melirik anak semata wayangnya dengan meledek, menyenggol-nyenggol pelan pinggang Jelena dengan siku. “Alah masa iya sih cuma sahabat? Sahabat kamu yang lain gak ada loh yang rela-relaan nemenin kamu pulang ke rumah tiap libur sekolah.”
“Ya mereka kan sibuk Mama,” elak Jelena. “Juan udah pasti pulang ke rumahnya sendiri, Ica juga, dia pasti pulang ke perkebunan ibu sama ayahnya. Kalau Jaenandra pasti liburan ke luar negeri sama papap dan mommynya. Kak Kiyo sibuk belajar, kan aku libur sekolah dianya belum tentu libur semesteran juga. Raechan mah... aduh gak usah dibilang deh anak itu sibuk apa. Ya emang cuma Jevan yang kosong jadwalnya.”
Bukannya langsung mempercayai ucapan anaknya, ibu Jelena malah makin menghujani Jelena dengan tatapan meledek.
“Jadwal dia kosong atau dia ngosongin jadwalnya buat kamu?”
“Ih Mama apaan sih! Gak jelas tau!” rajuk Jelena. Padahal respon tubuhnya berkata sebaliknya. Semburat merah malu-malu muncul di kedua pipinya yang seputih susu.
“Ih ih pipi Elena merah, Jevaaaan nih Jevaaann Elena suka sama kamu....”
“Mama apaan sih!”
Hal yang sama berlangsung selama sisa hari mereka di sana. Ibu Jelena tidak berhenti menggoda, biasanya ayah Jelena juga ikut menimpali. Sementara Jevan terkadang memihak Jelena namun tak jarang dia juga memilih pihak orang tua Jelena untuk menggoda di gadis menggemaskan.
Pemandangan yang akan membuat iri siapapun yang belum pernah merasakannya.