Fail

Sebuah denting suara beriringan dengan terbukanya pintu lift yang mengantarkan seorang gadis muda menuju lantai nomor 15 sebuah apartemen mewah di pusat kota. Kaki gadis itu berjalan mantap ke arah kanan lift dan berhenti di depan pintu bertuliskan angka 15.4 di atasnya. Tangan lentiknya menekan beberapa angka hingga pintu terbuka dengan sendirinya. Dia melangkah masuk, meletakkan tas selempangnya di atas sofa dan duduk nyaman di atas sana.

Tanpa perlu izin dari si pemilik apartemen, gadis itu menyalakan TV. Bukan bermaksud untuk menontonnya, hanya sebagai pengisi kekosongan suasana.

Dia duduk di sana beberapa menit hingga pintu kamar terbuka, menampilkan seorang gadis dengan keadaaan segar usai mandi dan make up yang terlihat baru saja dipoles ulang. Si Gadis Segar terkejut mendapati seorang gadis lain duduk santai di sofa. Diingatnya bahwa ketika dia datang, tidak ada siapapun di dalam apartemen ini.

“Udah mandi kan? Gih pulang. Supir gue ada di mobil, lo ke basement aja. Mobil gue warna item, platnya B 07 DR. Lo bisa pulang naik mobil itu, dianter sama supir gue.”

Si Gadis Segar tergagap tak percaya. “Lo... siapa emang?”

“Gue? Ibunya Jevan,” jawab Jelena santai.

“Ibu?” si Gadis Segar mendecih. “Mana mungkin ibunya Jevan seumuran sama dia. Gak usah ngaco. Dan gak usah atur-atur gue buat balik sekarang.”

I've told you gue bakal anter lo pulang.”

Suara itu berasal dari dalam kamar, terdengar malas dan setengah mengantuk.

Si Gadis Segar menoleh tidak terima, menatap ke arah pria yang tengah berbaring santai di ranjangnya.

“Yaudah ayok kamu yang anter aku pulang Jev! Kenapa malah supir cewek ini?”

“Ya itu dianter Pak Abidin, sama aja. Yang penting lo sampe rumah.”

Dengan marah dan kecewa, si Gadis Segar meraih tasnya dan langsung keluar dari apartemen Jevan tanpa mengatakan apapun lagi.

Sepeninggal Yolanda-si Gadis Segar, Jelena melirik ke arah kamar Jevan melalui pintu yang terbuka. Dia dapat melihat seluruh sisi kamar yang sekarang tampak begitu berantakan. Sprei acak-acakan, selimut terjatuh di lantai, tisu bertebaran di sisi ranjang, gorden yang ditutup asal dan tentu saja pakaian Jevan yang tergelatak sembarangan di atas karpet.

Jelena tahu betul apa yang terjadi di dalam kamar itu beberapa menit lalu. Dia hanya bisa menghembuskan nafas lelah.

“Jaenandra udah jalan jemput gue kesini, gue nunggu dia di lobby aja. Gue balik, Jev.” Sangking lelahnya dengan kelakuan Jevan, Jelena hanya mengatakan itu. Dia tidak mau berlama-lama ada di sana. Tugasnya sudah selesai.

Jelena sebenarnya memaki dirinya sendiri karena menjadi sebodoh ini.

Mendengar perkataan Jelena, Jevan buru-buru turun dari kasur. Mematikan rokoknya yang masih sisa setengah batang dan berjalan keluar kamar tepat sebelum Jelena bangkit berdiri.

“Gue laper,” kata Jevan pelan.

Jelena tertawa pelan sebelum berkata, “Gue bukan beneran ibu lo. Bukan tanggung jawab gue untuk bikin lo kenyang.”

“Biar Jaenandra naik aja kesini, lo tunggu disini aja,” kata Jevan lagi.

Kali ini, tawa Jelena terdengar sinis. “Tapi gue gak mau.”

“El...”

“Mending lo tidur, capek kan?”

Jelena mematikan TV dan meraih tasnya. Dia berjalan ke arah pintu. Sementara Jevan mengepalkan kedua tangannya yang terkulai di sisi tubuh. Dia menahan diri, dia ingin sekali menahan Jelena untuk tetap berada di sini. Tapi kelihatannya gadis itu tidak sudi untuk berlama-lama bersamanya, dalam keadaan ini.

Sepeninggal Jelena, decihan kesal meluncur dari bibir Jevan. Hatinya tergelitik, sisinya yang marah seakan berteriak pada dirinya, “Lihat kan? Pada akhirnya semua orang juga bakal ninggalin lo.”

Pertama Mama.

Lalu kasih sayang Papa.

Dan sekarang? Jelena?

Gadis yang mengaku akan selalu di sisinya itu akhirnya jengah juga.

Jevan teringat sesuatu, sesuatu yang rusak memang tidak pantas dicintai.

Kepergian Jelena menegaskan hal itu.

Gadis baik mana yang betah dengan laki-laki rusak sepertinya? Tidak ada kan?

Pemikirannya itu mengantarkan Jevan pada gerbang kebencian, kebenciannya pada semua hal.

Pada kawan-kawannya yang selalu menuduhnya menyakiti Jelena,

terutama pada Markio, yang Jevan rasa telah mencuri apa yang seharusnya menjadi miliknya.