Pasar Malam

“Studionya mau mulai lo isi kapan Jev?”

“Besok, besok gue ke IKEA sama Elen buat cari sofa, TV, dan lain-lain. Kalau buat alat bandnya nanti paling gue minta tolong Papanya Kak Kiyo buat cariin toko alat musik yang oke.”

Sofa di smoking area Audore Cafe sudah kembali terisi. Paska membaiknya keadaan Jevan, dia mengajak kawan-kawannya untuk berkumpul kembali di cafe langganan ini.

“Nanti bisa lah ya kita pindah dari ni cafe ke studio lo kalau mau nongkrong,” celetuk Raechan lagi.

“Bisa banget, nanti gue beli deh ranjang ukuran kecil buat kalau ada yang mau nginep.”

“Jangan aja tuh ranjang malah lo pake nidurin cewe Jep-Jep.” Juan ikut bersuara.

“Hahahah enggak lah! Janji deh gue gak bakal bawa cewek manapun ke studio, kecuali kalau gue serius ama tuh cewek.” Dua jari Jevan terangkat, hal yang selalu dia lakukan ketika dia serius dengan ucapannya.

Suasananya tidak pernah berubah, masih tetap ramai dan akrab seperti biasanya. Hanya saja, sejak tadi Jelena bisa merasakan tatapan sendu dari Jaenandra dan Klarisa ke arahnya. Tatapan itu membuat hatinya sedikit tidak nyaman karena sebelum datang kesini tadi, gadis itu telah mati-matian memantapkan hati bahwa tidak ada yang boleh berubah dari sikapnya. Hal itu dia lakukan agar perasaan terlukanya akan perbuatan Jevan tidak merusak atmosfer pertemanan ini.

Namun sayang, tatapan sendu dari sepasang kekasih di hadapannya ini seperti menaburi garam pada lukanya yang menganga. Jelena perlahan-perlahan seakan merasakan hatinya diremas hingga hancur. Teringat bahwa laki-laki yang saat ini tengah tertawa bersama Raechan dan Juan itu adalah laki-laki yang sama dengan sosok yang menghabiskan semalam suntuk di apartemen seorang gadis tidak dikenal. Entah apa saja yang mereka berdua lakukan semalaman. Bercinta entah berapa kali banyaknya. Tawa Jevan malam itu bahkan ikut mengacak-acak hati Jelena yang telah hancur.

Tanpa sadar kedua tangan Jelena mengepal kuat, menahan agar air mata sialannya tidak jatuh menuruni pipi. Hembusan nafasnya memberat manakala sesak di dadanya semakin tidak terkendali.

“Gue ke depan bentar ya, Mama gue telepon.”

Jelena tidak menunggu anggukan setuju dari kawan-kawanya. Gadis cantik itu berlalu pergi dengan berpura-pura menempelkan ponsel di telinganya.

Setibanya di area parkir Cafe, Jelena menengadah. Berusaha sekuat mugkin agar air mata yang menumpuk di pelupuk matanya tidak tumpah.

Dia akhirnya paham, bahwa berusaha terlihat baik-baik saja tidaklah mudah. Bahkan jauh dari kata mudah.

“Mau pake tisu atau pake kaos gue aja?”

Suara itu muncul bersamaan dengan aroma tubuh seorang pria yang Jelena kenali. Aroma tubuh seorang pria yang benar-benar berasal dari tubuhnya, bukan karena semprotan parfume atapun lotion.

“Kalau pake tisu lo bisa lap sendiri air matanya, tapi kalau pake kaos gue, biar gue yang elapin.”

“Kak Kiyo...” Di detik yang sama dengan keluarnya suara itu dari mulut Jelena, setetes air mata berhasil lolos. Disusul tetes demi tetes yang lainnya. “Kak Kiyo,” lirih Jelena lagi, di sela isak tangisnya yang akhirnya tidak terbendung lagi.

“Kayaknya tisu gak cukup, pakai kaos gue aja ya?”

Markio mendekat, merengkuh tubuh Jelena ke dalam dekapannya. Membiarkan air mata Jelena akan Jevan ikut membasahi kaus hitamnya.

“Nangis aja, yang banyak. Di sini gelap kok, gak bakal ada yang liat.”

Tubuh Jelena bergetar dalam dekapan Markio. Erangannya tertahan dalam dada Markio karena gadis itu membenamkan keseluruhan wajahnya di sana.

Rain, rain, go away, but don't come again another day. Rain, rain, go away, don't come again another day.” Markio menyanyikan lirik itu, diiringi elusan lembut pada punggung Jelena. Membuat tangis Jelena berangsur mereda.

“Kak Kiyo,” panggil Jelena kala gadis itu merenggangkan pelukannya.

“Hm?”

“Bajunya basah.”

“Gak papa, nanti juga kering sendiri.” Markio mengusap sisa-sisa air mata di pipi Jelena. “Udah nangisnya? Mau ke pasar malam gak? Ada loh di deket sini.”

“Nanti kalau yang lain nyariin gimana?”

“Tadi gue udah bilang mau ngajak lo ke sana sebentar.”

Jelena mengangguk seraya memaksakan senyum.

Mereka berdua akhirnya pergi ke pasar malam hanya dengan berjalan kaki. Karena benar kata Markio, pasar malam itu begitu dekat dengan Audore Cafe. Hanya butuh sekitar lima menit dengan berjalan kaki untuk tiba di sana.

“Katanya ngelukis tuh bisa dipake buat ilangin rasa sedih, mau coba gak?” tawar Markio.

Si gadis yang ditawari mengangguk senang.

“Lo mau yang gambar apa? Bunga teratai itu mau?”

Lagi-lagi Jelena mengangguk.

“Pak mau yang gambar teratai itu satu, sama yang gambar spongebob itu satu ya Pak tolong.”

Setelah mendapatkan kanvas bergambar dan alat lukisnya masing-masing, mereka berdua duduk bersebelahan dan mulai tenggelam pada kegiatan mereka sendiri.

Gemerlap lampu dan ramainya pengunjung yang datang menjadi latar mereka berdua. Suara mesin permainan dan tawa anak-anak melipur kesedihan Jelena. Semakin banyak warna yang dia torehkan pada kanvas, seperti terapi jiwa yang menenangkan. Membuatnya lupa akan lukanya yang tadi menganga.

Markio benar, kegiatan ini seperti penghapus kesedihan. Karena saat akhirnya lukisannya selesai, relung hati Jelena penuh dengan kebahagiaan.

“Kak, kok spongebob lo warna ijo sih? Kan harusnya kuning!” Jelena protes kala melihat hasil lukisan Markio.

“Ini spongebobnya masih mentah, nanti kalau udah mateng dia baru berubah jadi kuning,” jawab Markio jenaka.

“IH DIKIRA PISANG KALI!”

Tawa Jelena lepas. Berbaur dengan makin nyaringnya suara orang yang lalu lalang.

Dan Markio, laki-laki itu diam-diam bersyukur namun juga merasa bersalah. Dia merasa bahwa tindakannya seperti sebuah bentuk pencurian.

Jelena, bukan hanya Jevan yang mencintai gadis itu, tapi juga dirinya.

Dirinya yang selama ini diam. Dirinya yang selama ini hanya mengamati dari jauh tanpa berani mendekat. Dirinya yang menyayangkan sikap Jevan terhadap Jelena. Serta dirinya, yang malam ini harus menenangkan Jelena atas rasa sakitnya terhadap Jevan, sahabatnya sendiri.