Brothers
Semilir angin menabrak lembut rambut depan Jevan yang dalam beberapa minggu ini dibiarakan memanjang. Semburat oranye menghiasi langit di ujung barat. Burung-buru nampak berterbangan dalam jumlah banyak menuju sarang. Jalanan di bawah sana terlihat padat, disesaki ratusan kendaraan yang berjejal menjemput rehat.
Jevan duduk bersebelahan dengan Juan, di bagian paling atas gedung apartemennya. Ditemani sebotol wine yang tersisa setengahnya.
“Lo sebenernya ngapain ngajak duduk gue di sini Wan?”
“Ya gak papa, udah lama enggak,” jawab Juan berusaha setenang mungkin agar tidak menimbulkan curiga.
Jevan baru akan bertanya lagi saat pintu menuju rooftop terdengar terbuka. Tiga orang muncul dari sana, yang salah satunya sedang tidak ingin Jevan temui. Mereka bertiga berjalan mendekat, membuat Jevan ingin segera lari dari sana.
“Gue cabut, males.”
Jevan hendak berdiri dari duduknya namun suara dingin Jaenandra membuatnya urung.
“Selesaiin masalah lo, jangan lari kayak pecundang.”
Jaenandra adalah kawan Jevan yang paling tenang sikapnya, akan tetapi ketenangan itu sesekali berubah menjadi sesuatu yang tidak dapat dibantah bahkan oleh siapapun. Termasuk Markio yang terpaut satu tahun lebih tua darinya.
Jevan menurut, membiarkan Markio berjalan mendekat ke arahnya meskipun dia merasa muak sekali. Ketika Markio duduk di sebelah Jevan, Juan langsung berdiri dan menjauh, memberi mereka berdua waktu untuk berbicara.
“Kita pernah bilang kalau kita gak akan berantem karena cewek, kan? But here we are.” Markio memulai, meskipun Jevan tampak mau tidak mau mendengar ucapannya. “Lo pasti ngerasa gue ngambil Elen dari lo ya Jev?”
Jevan masih diam.
“If only, if only you treat her better. I will never take a step to get closer to her,” ucap Markio pelan yang kali ini berhasil membuat Jevan memberi atensi padanya.
Namun atensi yang diberikan Jevan jauh dari yang Markio perkirakan.
Bugh
Satu hantaman keras melayang cepat mengenai pipi kiri Markio.
“Lo gak berhak ya Kak ngomentarin perlakuan gue ke Elen! Tau apa sih lo?”
Melihat adegan itu, Raechan hendak melerai keduanya, namun Juan menahan seraya berkata, “Biarin aja, pertemanan cowok gak afdol kalau gak tonjok-tonjokan.”
Markio mendecih, mengusap pipinya yang terasa kebas. “Lo ngerasa udah memperlakukan Elen dengan baik, Jev?”
Jevan lagi-lagi tidak menjawab, dadanya naik turun menahan amarah.
“Jawab gue Jev! Jawab gue kalau lo emang ngerasa udah memperlakukan Elen dengan baik!”
Satu pukulan hampir mengenai pipi Markio lagi namun laki-laki itu menghindar dengan cepat. Saat Jevan limbun, Markio membalasnya dengan satu pukulan yang sama kerasnya.
Setelah itu yang terjadi adalah adegan saling pukul, kejar-mengejar dan tindih-menindih. Ketiga laki-laki lain hanya menonton mereka karena mereka merasa yakin bahwa ada pertemenan yang kental di antara keduanya hingga mereka tidak akan menyebabkan bahaya untuk satu sama lain.
Benar saja, setelah sekian menit terlewat, Jevan dan Markio akhirnya berhenti. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan luka di wajah dan tubuh masing-masing.
“Lo bener, gue jahat banget ke Elen, Kak.”
Markio memandangi Jevan yang menunduk.
“A perfect girl like her... dia emang lebih cocok sama cowok kayak lo daripada cowok rusak kayak gue. Dunia....”
“Gak pernah sekalipun Elen ngerasa lo cowok rusak Jev,” potong Markio cepat. “Elen selalu paham kalau lo punya alasan di setiap hal yang lo lakuin. Lo gak pernah bisa nemuin kebahagiaan di rumah makanya lo berusaha nyari kebahagiaan lo di luar, sama cewek-cewek itu, Elen paham itu Jev. Tapi ada satu hal yang Elen gak bisa pahamin, kenapa lo gak pernah berusaha buat berhenti? Dia selalu bertanya-tanya, apa kehadirannya gak pernah cukup buat lo sampai lo gak pernah bisa lepasin kebiasaan lo buat main cewek?”
“Kak...” Jevan mendesis.
“Gue naksir Elen udah dari lama Jev, lama banget. Tapi gue tau, bahkan tanpa kalian perjelaspun, kalian saling sayang. Makanya gue gak pernah berusaha nunjukin perasaan gue ke Elen. Gue diem, gue pendem semuanya sendirian. If she is happy with you, I'll accept that with all of my heart.”
Pernyataan itu tidak hanya membuat Jevan tertegun, tapi juga ketiga sahabatnya yang lain. Mereka semua benar-benar baru mengetahui perasaan Markio yang sesungguhnya. Selama ini, tidak pernah sekalipun Markio menunjukkan gelagat kecemburuan atau keberatan atas sikap Jevan dan Jelena yang tidak jarang membuat hatinya mencelos.
“Tapi waktu liat dia sedih karena sikap lo, gue gak bisa diem aja Jev. Hati gue sakit. Hati gue sakit tiap liat sorot matanya yang langsung redup tiap liat lo pergi buat jemput cewek lain, hati gue sakit tiap liat dia nungguin lo di Audore padahal dia tau lo lagi makan sama cewek baru lo, hati gue sakit tiap liat lo seakan gak peka sama perasaannya.”
Setetes air mata meluncur tanpa ancang-ancang, menuruni pipi Jevan dan melewati salah satu lukanya. Membuatnya sedikit perih, namun tidak seperih hatinya saat ini.
“Asal lo tau aja, sampai hari ini gue gak pernah ungkapin perasaan gue ke Elen. Semua hal yang gue lakuin sama dia beberapa hari ini, pure untuk hibur dia aja. Mungkin lo menafsirkannya beda, makanya lo semarah ini sama gue.” Ada senyum tulus tersungging di bibir Markio. “Tenang aja, gue gak akan deketin Elen tanpa izin dari lo.”
Air mata Jevan semakin deras. Air mata kebencian. Dia membenci dirinya sendiri karena berfikir sepicik itu mengenai Markio, seseorang yang telah memperlakukannya sebaik ini. Dia membenci perlakuannya pada Jelena yang tentu saja bukan hanya menyakiti gadis itu, tapi mungkin saja meremukkan hatinya. Dia juga semakin membenci kelakuannya ketika dia ingat bahwa dia juga sempat kesal dengan kawan-kawannya yang mencoba membawa kembali kewarasannya.
Kini Jevan telah sadar akan kesalahannya, dia bangkit dan menerjang Markio dengan sebuah pelukan. Menenggelamkan kepalanya pada bahu Markio, seorang kawan yang sudah mengaggapnya sebagai adik.
“Kak, maafin gue, maaf.”
“Gue juga minta maaf, maaf karena gue jatuh cinta sama Elen. Kalau perasaan bisa diatur, gue bakal lebih milih jatuh cinta sama cewek lain Jev.”
Tepuk tangan tiba-tiba terdengar dari pinggir arena pertarungan. Juan tampak tersenyum puas seraya berkata, “Such a great show, sekarang kita harus mabuk dimana?”
“Studion Jevan dong, let's go.” Raechan berseru semangat diikuti tawa renyah si empunya studio.
“Are we good now?” tanya Markio sebelum mereka benar-benar turun dari rooftop.
“Yes we are, lo bisa deketin Elen mulai sekarang Kak. Yang gue tau, ada banyak cara untuk mencintai. Melepas dia pergi untuk menemukan seseorang yang bisa lebih membahagiakannya juga salah satu caranya.”
Mereka berdua turun dari rooftop dengan saling merangkul.
Perasaan marah Jevan hilang sudah. Berganti dengan perasaan lega yang sulit diurai dengan kata. Dia masih mencintai Jelena, amat dalam. Namun dia juga sadar, kalau Tuhan menakdirkan mereka bersama, kesalahpahaman ini tidak akan pernah ada.
Jevan mulai memahami bahwa apa yang terjadi pada dirinya dan Jelena adalah cara Tuhan untuk memberitahunya bahwa Jelena ada hanya untuk mengisi hatinya, bukan mengisi hari-harinya.
Jevan tidak akan menyalahkan siapapun lagi. Jevan hanya akan menerima semuanya dengan lapang dada. Walaupun dia sadar, bahwa melihat Jelena bersanding dengan laki-laki tidak akan pernah menjadi kemudahan baginya.
Kepedihan dan sayatan tajam nampak jelas di pelupuk mata. Seolah siap menyambut dirinya yang akan memasuki babak sebagai penikmat, bukan lagi pemikat.
Mulai hari ini, dia hanya akan mencintai Jelena dari jauh.