#

Dalam pertemanan Jelena dan kawan-kawannya, hanya empat dari mereka yang sudah memiliki mobil pribadi.

Jaenandra mendapatkan mobil pribadinya tepat seminggu setelah ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Saat itu ayahnya memberikan sebuah mobil Civic hitam kepada anak semata wayangnya itu. Interior yang Jaenandra gunakan di dalam mobilnya juga berwarna hitam.

Berbeda dengan Jaenandra, Raechan mendapatkan mobil pertamanya setelah usianya 18 tahun. Toyota Yaris berwarna putih keluaran terbaru menjadi pilihan Raechan saat itu.

Jevan memilih jenis dan warna mobil yang sama dengan Jaenandra. Bedanya, Jevan memodif sedikit bagian dalamnya sesuai dengan yang dia inginkan. Di antara mobil kawannya yang lain, mobil Jevan adalah yang paling sering Jelena tumpangi.

Sementara itu, Markio menjatuhkan pilihannya pada Hyundai Palisade D Prime berwarna hitam. Menurut ceritanya, mobil ini paling cocok untuk seseorang sepertinya yang selalu membawa banyak barang di dalam mobil. Baju ganti, sepatu, skateboard, pakaian olahraga dan segala jenis kebutuhan yang dia perlukan sebagai mahasiswa kedokteran.

“Maaf, maaf, berantakan banget ya, tadi gue buru-buru.” Markio tampak dengan kikuk membereskan beberapa barang di jok tengah saat dirinya dan Jelena masuk ke mobil.

“Kak Kiyo abis main skateboard ya tadi pagi?” tanya Jelena ketika matanya tidak sengaja menatap sebuah papan dengan empat roda itu di jok tengah mobil Markio.

“Ahh itu... enggak, gue mainnya kemarin sore. Tadi pagi gue buru-buru kelas jadi gak sempet beresin, terus abis kelas langsung buru-buru jemput lo jadi lupa beresin lagi.”

“Padahal gak usah buru-buru tau Kak.”

Jelena masih dengan sabar menunggu Markio selesai dengan urusannya.

“Gue juga maunya gitu... tapi gak tau kenapa otak gue nyuruh gue buru-buru.”

“Hah?” Jelena bingung dengan perkataan Markio.

“HAH?” Dan Markio lebih kebingungan dengan perkataannya sendiri. “Eh... ini kita jadinya kemana dulu?” tanya Markio cepat untuk membelokkan pembicaraan.

“Ke toko buku dulu kali ya Kak? Mau cari notebook yang lucu-lucu.”

“Bukannya lo gak suka ke toko buku bareng orang lain selain Jevan ya El?” Markio bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung.

Setahu Markio, sahabatnya yang satu ini memang gemar pergi ke toko buku seorang diri. Mengahabiskan waktunya berjam-jam di antara rak buku yang tertara rapi. Membaca dan memilah buku mana yang akhirnya nanti akan dia bawa pulang. Setahunya lagi, sekalipun Jelena pergi dengan seseorang, orang itu adalah Jevan. Hanya Jevan. Bahkan ketika Klarisa merengek untuk menemaninya ke toko buku, Jelena akan menolaknya sehalus mungkin.

Jelena diam sebentar sebelum akhirnya berkata, “Toko buku itu tempat umum Kak, gak seharusnya gue menjadikannya tempat spesial.”

Jawaban Jelena menggantung, memberika kesan yang tidak bisa diartikan oleh si penanya.

“Jadi sekarang udah gak papa pergi kesana sama orang lain?”

“Iya, udah gak papa.”

Markio mengangguk kemudian mulai mengemudikan mobil hitamnya keluar dari basement apartemen Jelena. Menuju sebuah toko buku terbesar di kota ini yang membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan kecepatan sedang.

Setibanya disana, Jelena mengajak Markio untuk berkeliling di lantai satu. Menuju satu rak dan rak lainnya, mencari segala hal yang gadis itu butuhkan. Markio menemani dengan sabar, menanggapi Jelena ketika gadis itu butuh saran, tidak sekalipun helaan nafas lelah keluar dari dirinya.

“Udah deh Kak cukup kayaknya.” Setelah kurang lebih satu jam, akhirnya Jelena meletakkan barang terakhirnya ke dalam ranjang yang setia Markio bawa.

“Gak mau ke lantai dua? Liat-liat novel?”

“Emang gak papa? Kak Kiyo gak bosen?”

“Gue malah mau minta lo saranin gue beberapa buku fiksi, gue butuh hiburan nih. Bosen baca buku kedokteran terus.”

Binar mata bersemangat terpancar dari kedua mata cantik Jelena. Lebih dari puluhan judul buku langsung mengerumuni otaknya kala mendengar Markio meminta rekomendasi darinya. Ini perasaan terbaik yang bisa dirasakan oleh seorang pembaca.

“Ke sebelah sini Kak,” ujar Jelena bersemangat, membawa Markio pada sebuah rak dengan keterangan Fiski di atas rak. “Kak Kiyo kayaknya bakal cocok sama buku ini deh, ini tentang orang-orang yang terluka karena cita-citanya gitu Kak.”

“Boleh tuh, yang covernya item ini ya?”

“Iya-iya yang itu... Hmmm... Sama apa lagi ya? Kak Kiyo sukanya genre yang gimana dulu deh?”

“Yang soal demo-demo gitu ada gak El? Sekarang kan lagi rame.”

Mata Jelena berbinar lagi, dia menarik lengan Markio ke rak lain lalu memberikan sebuah buku dengan sampul biru. “Ini Kak, ini latarnya tahun 98 gitu deh pas jaman orde baru. Gue baca buku ini cuma dua hari sangking serunya.”

Markio selalu menyukai bagaimana Jelena berbicara tentang sesuatu yang disukainya. Matanya berbinar semangat, mulutnya sibuk menjelaskan panjang lebar, membuat kecantikan gadis itu menjadi berkali lipat.

Dia bersyukur bahwa akhirnya dia bisa melihat sisi Jelena yang ini. Sisi yang selama ini tidak berani dia jamah karena sudah ada batasan yang tidak bisa dia lewati.

“Nanti tuh ya kak banyak penyiksaannya gitu, terus ceritanya tuh ngalir kereeennn banget sampe perasaan para tokohnya bisa banget kita rasain.”

Jelena masih berbicara dan Markio mendengarkan dengan senang.

“Yaudah gue ambil dua ini dulu ya. Nanti kapan-kapan gue boleh kan minta rekomendasi lagi?”

“Boleh dong!”

Mereka berdua lalu berjalan ke arah kasir, namun sebelum itu, mata Markio tertaut pada beberapa gitar yang dipajang berjajar. Laki-laki itu teringat seseorang...

“El, boleh liat gitar itu dulu gak? Mau beliin buat Jevan.”

Bahkan ketika bersama Jelena pun, Markio masih mengingat Jevan. Terus seperti itu, entah sampai kapan.