Good Bye
Selain kemacetan, udara pengap dan keramaiannya yang seakan sulit diurai, ada banyak hal lagi yang bisa aku sebutkan untuk membuatmu ikut bersamaku membenci kota ini. Kota yang konon katanya menjadi sumber kehidupan ini justru menjadi kota yang membunuh jiwaku bertahun-tahun lalu. Kematian yang tidak disadari banyak orang- karena kata mereka, tidak ada darah dalam kematian itu. Kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak ingin menginjakan kakiku di sini lagi, seberapapun Papi ataupun keluarga besarnya memintaku pulang. Tapi peringatakan kematian nenekku adalah perkara lain. Nenekku, kesayanganku, satu-satunya rumahku yang sudah dirampas Tuhan empat tahun lalu. Bagaimana bisa aku mengabaikan kabar Mbak Diana, personal assistant papiku, mengenai kabar itu? Bagaimana bisa aku tetap berkeras kepala bahkan setelah tiga tahun tidak ikut merayakan peringatan kematian nenekku?
Maka disini lah aku, berdiri menatap sibuknya Ibu Kota dari lantai lima hotel tempatku menginap. Tunggu, aku bahkan tidak perlu menjelaskan, kan, kenapa aku lebih memilih menginap di hotel dari pada pulang ke rumahku sendiri?
Acara peringatan nenek akan dimulai pukul enam sore, di rumahku yang berjarak 45 menit dari hotel ini. Jika sekarang pukul lima sore, maka aku memiliki waktu bersiap-siap sebentar sebelum berangkat. Aku berpindah dari pinggir jendela menuju meja rias, menatap diriku pada cermin yang menampakkan wajahku yang lesu. Wajah yang harus kupoles sedikit agar tidak terlihat begitu buruk, juga sedikit sentuhan pemerah bibir agar tidak terlihat pucat. Selesai dengan urusanku, aku memutuskan untuk turun ke lobby hotel dan meminta seorang staff hotel untuk mencarikanku taksi.
Aku tiba di rumah Papi, yang sebetulnya juga rumahku, pada pukul enam kurang dua menit. Aku menatap rumah itu dengan pandangan aneh, mungkin sekarang kedua alisku telah bertemu di tengah pangkal hidung karena dahiku mengerut. Kenapa rumah ini sepi sekali? batinku dalam hati. Berusaha mengabaikan keanehan itu, aku melangkah masuk dan mendengar percapakan beberapa orang dari arah ruang makan. Kok cuma segini yang dateng? batinku lagi.
“Oh, itu anakku sudah datang. Halo, Nak!” Papi menyapaku dengan ramah saat dia akhirnya menyadari kedatanganku. Wajahku pasti sangat tidak ramah sekarang ketika akhirnya aku bisa melihat dengan kepalaku sendiri bahwa di rumah ini, rumah yang katanya akan menjadi lokasi peringatan kematian nenekku, justru hanya diisi oleh Papi dan dua orang lain yang duduk bersebrangan dengannya. Aku tidak bisa melihat wajah mereka berdua karena posisi mereka memunggungiku.
“Sira, sini,” panggil Papi lagi saat aku tidak kunjung mendekat. Entah perasaanku saja atau bagaimana, tapi sosok laki-laki yang duduk memunggungiku itu tiba-tiba langsung tegang, aku bisa melihat perubahan pada gesture tubuhnya.
“Oh ini ya yang namanya Sira? Cantik sekali, mari, Nak, duduk.” Wanita yang duduk di sebelah laki-laki yang tegang tadi menoleh padaku dan tersenyum manis. Ternyata, wanita itu seusia dengan Papi. “Tante mau kenalkan kamu ke anak Tante, Sagata namanya.”
Dari jauh, aku merasa seperti mendengar suara guntur. Seingatku, di luar sedang tidak hujan, tapi mengapa aku merasakan hawa dingin yang seakan menusuk-nusuk kulitku hingga aku menggigil? Perlu beberapa detik bagiku untuk menenangkan jatungku yang berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Butuh detik yang lebih lama bagi otakku untuk mengolah informasi yang baru aku dengar itu.
Sagata? Apakah dia Sagata yang sama dengan yang aku kenal?
Ketika otakku berkerja keras untuk memahami keadaan, tanpa sengaja aku justru menemukan puzzle tentang pesan dari Sagata semalam yang berbunyi, “Gue juga ada urusan di Jakarta, tapi gak bisa nemuin lo soalnya gue sama Mama”. Jadi ini? Ini urusan yang Sagata maksud?
“Sira, kok malah bengong? Sini, duduk.” Suara Papi menarikku ke kenyataan, membuatku perlahan berjalan mendekat dan duduk di samping Papi, tepat di depan Sagata. Laki-laki itu tampak berusaha tidak menatapku, dia justru sibuk memandangi piringnya yang kosong.
“Mana peringatan kematian Oma? Kenapa sepi?”
“Tidak ada acara itu, Sira, hari ini....”
“Ini makan malam untuk kamu dan Sagata, Nak Sira.” Wanita di sebelah Sagata menyambar ucapan Papi. Sungguh, impresiku terhadap ibu Sagata itu semakin tidak baik.
Guntur di kejauhan makin terdengar di telingaku. Aku tidak tahu, itu benar-benar guntur atau justru kemarahan yang coba aku pendam. Kedua tanganku sudah mengepal kuat, rasanya aku bisa meruntuhkan rumah ini sekarang juga- tentu saja jika tidak memikirkan harga diriku sendiri.
“Saya mau datang ke sini karena Mbak Dina bilang ini acara peringatan kematian Oma, kalau ternyata hanya sekedar makan malam tidak jelas, saya permisi.” Aku bangkit berdiri, tidak lagi mau terlibat dalam skenario norak yang dibuat oleh Papi. Amarahku sudah tinggal mencuat menjadi tindakan kasar yang akan sangat mungkin aku sesali di kemudian hari dan sebelum itu semua terjadi, aku memilih untuk pergi sejauh-jauhnya dari ruang makan sialan itu. Aku mendengar Papi memanggilku beberapa kali kemudian disusul suara nyaring sepatu pantofel yang bertabrakan dengan lantai marmer ruang tamuku yang lengang.
“Sira, hey, wait.” Itu suara Sagata. “Sebentar dulu, Sira, tunggu.”
Aku tak mengindahkan panggilan itu dan terus melaju hingga hampir sampai di pintu gerbang rumah saat akhirnya Sagata berhasil mengejar langkahku dan meraih sebelah tanganku. Dia menarikku pelan agar berbalik dan tepat saat wajah kami bertatapan, sebelah tanganku yang bebas menampar wajah tampannya. “Satu, dont you dare to touch me. Dua, gak usah ikut campur urusan gue dengan sok mengejar gue seperti ini, Sagata. You are not a hero and I don't want to be saved by you!” Lihat, sudah kubilang, kan, kemarahanku hanya akan mencuat menjadi perbuatan kasar seperti ini?
Sagata terkesiap mendengar bentakanku, tapi laki-laki itu tidak juga melepaskan lenganku dari genggamannya. “Lo mau kemana? Gue anter,” katanya pelan.
“Bukan urusan lo, lepas!” Aku membentaknya lagi, meskipun tidak menghasilkan apa-apa. Kami bertatap-tatapan cukup lama setelah itu. Mengabaikan tatapan dari satpam rumahku yang sepertinya bingung harus berekasi seperti apa.
“Sagata, gue mohon lepasin gue,” rintihku pada akhirnya. Saat kemarahanku mereda, kesedihan dan rasa malu mengambil alih diriku. Aku sedih karena Papi menjadikan alasan sebesar peringatan kematian nenekku demi makan malam tidak penting ini. Dan aku malu, aku malu pada Sagata yang melihat betapa bodohnya aku datang ke tempat ini dengan iming-iming dari Papiku yang sialan itu. Sungguh, yang aku inginkan saat ini hanya menenggelamkan diriku di lautan lepas jika bisa.
“Gue anter ya, Sira.”
“Lo tau gak, Ga, siapa orang yang paling gue benci di dunia ini?”
Sagata menggeleng.
“Gue benci Papi dan orang-orang seperti Papi. Mama lo, keluarga Satrio yang ngajak lo makan malem, dan semua keluarga terkutuk di dunia ini yang menggabungkan urusan bisnis dan perjodohan menjijikkan macam ini demi harta. Dan sekarang, ngeliat lo disini, lo keliatan seperti bagian mereka. So please, let me go, gue gak mau liat lo lagi.” Ucapanku membuat genggamannya pada lenganku mengendur. “Gue kira setelah semua obrolan kita, setelah buku dan gelang itu, lo punya keberanian buat keluar dari semua belenggu ini. Tapi ternyata enggak, lo masih sama aja, dan itu bikin gue geli.”
Mataku menatap lurus ke arah mata Sagata. Mungkin dia bisa melihat kebencian dalam kedua mataku yang menatapnya nyalang karena sekarang aku bisa merasakan lenganku telah terbebas sepenuhnya dari genggamannya.
“Good bye, Sagata.” Itu adalah ucapan terakhirku sebelum aku menghilang menaiki sebuah taksi dan meninggalkan Sagata yang mematung di halaman rumahku selama beberapa saat.
Kali ini, aku benar-benar berharap bahwa aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.