Bad Dream

Gaun hitam selutut dan heels dengan warna senada akan jauh lebih cantik digunakan untuk makan malam di sebuah restoran ternama daripada digunakan untuk berlari-larian di lorong rumah sakit semalam ini. Namun Jelena tidak perduli, dia bahkan mengabaikan kakinya yang terluka karena dipaksa untuk terus berlari dengan heels setinggi tujuh centimeter. Dipikirannya hanya ada Jevan dan pesan paling mengerikan yang dia terima satu jam lalu. Bunyi hentakan heels yang bertabrakan dengan lantai marmer rumah sakit memekakkan telinga Jelena yang sejak tadi tidak berfungsi dengan baik. Telinganya berdengung. Kepalanya pusing. Pikirannya kacau. Dia mengutuk alam semesta dan seisinya atas semua ini. Derai air mata membanjiri wajah Jelena dan merusak make up yang telah dipoles dengan elok. Sungguh, siapapun yang melihat gadis itu akan merasa iba.

Kaki jenjang Jelena berhenti di sebuah ruangan serba putih. Dari balik kaca yang terpasang di pintu, gadis cantik dalam balutan dress hitam itu dapat melihat potrait paling menakutkan seumur hidupnya. Kain putih menutupi tubuh yang telah kaku, tubuh yang terlalu familar bagi Jelena-bahkan tanpa membuka kain itu saja, Jelena tahu siapa yang terbaring di sana. Getaran pada kedua tangan Jelena makin parah, lututnya lemas. Seluruh engsel pada tubuhnya seakan rontok hingga gadis itu tidak dapat menopang tubuhnya lagi.

Seorang suster keluar dari ruangan itu, menatap Jelena yang tampak kacau. Dengan hati-hati, suster itu mendekat, membimbing Jelena untuk masuk ke ruangan. Jelena tidak pernah menyukai rumah sakit, sama seperti ayahnya. Dan mulai hari ini, gadis itu akan lebih membenci tempat ini.

“Mbak mau lihat keadaan korban?”

Korban. Bahkan suster ini tidak mengatakan kata pasien. Kata yang mungkin sedikit lebih bisa menenangkan perasaan Jelena yang nyaris hancur.

Dalam gerakan samar, Jelena mengangguk, maka suster itu membuka kain putih yang menutupi tubuh kaku itu. Tepat saat kain terbuka, Jelena jatuh terduduk. Kakinya tidak lagi mampu menopang tubuhnya yang lemas. Air mata makin deras membanjiri pipinya. Erangannya tertahan telapak tangan yang dia gunakan untuk membungkam mulutnya sendiri. Jelena hancur. Jelena lebur bersama tertutupnya kedua mata Jevan yang tidak akan pernah mampu terbuka lagi.

Laki-laki itu, laki-laki yang akan Jelena cintai sampai mati justru mati membawa cintanya yang belum sempat dia utarakan. Laki-laki itu, laki-laki yang selama ini mengisi hari-harinya telah dirampas paksa oleh kejamnya garis hidup. Sebelah tangan Jelena yang bebas memukul-mukul dadanya yang sesak. Hancur, dunia Jelena hancur.

“Jevan....” Rintihan itu baru terdengar setelah lebih dari 30 menit Jelena terpuruk dalam kepedihannya. Dengan sisa tenaga yang tidak begitu banyak, gadis itu merangkak mendekat pada ranjang. Di atas kedua lututnya yang seakan tidak bertulang, Jelena berlutut di sisi ranjang. Tangannya menyentuh wajah Jevan yang penuh luka. Jelena menyentuh mata yang selama ini menatapnya dengan tatapan memuja. Jelena menyentuh hidung tinggi Jevan yang selama ini selalu laki-laki itu gesekkan pada pipi kanannya dengan gurauan. Jelena menyentuh bibir Jevan yang selama ini selalu mengeluarkan kalimat-kalimat rayuan. Tapi semuanya kini tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

“Jevan...” Jelena buru-buru menyatukan kedua tangannya, matanya menutup rapat. Dia pernah dengar, rumah sakit lebih banyak mendengar doa tulus dari pada rumah ibadah manapun. Dia ingin mencobanya juga, barangkali Tuhan akan berbaik hati padanya kali ini. “Tuhan, aku mohon, kembalikan dia Tuhan. Aku tau engkau lebih menyayanginya, tapi aku butuh dia, Tuhan.”

Jelena mengulang kalimat itu ribuan kali, tanpa henti, membuat suster yang sejak tadi berdiri di belakangnya merasa begitu iba dan memutuskan keluar dari ruangan karena tidak sanggup lagi menyaksikan adegan menyedihkan itu.

“Tuhan, aku mohon, kembalikan dia Tuhan. Aku tau engkau lebih menyayanginya, tapi...”

Ucapan Jelena terhenti sesaat ketika seseorang nenarik tubuhnya dan membawanya dalam rengkuhan orang itu.

“El, udah,” bisik orang itu begitu pelan.

“Tuhan, aku mohon, kembalikan dia Tuhan. Aku tau engkau lebih menyayanginya, tapi aku butuh dia, Tuhan.” Jelena mengacuhkan suara itu, dia kembali merapalkan permohonan pada Tuhannya yang belum mendengar doa-doa itu.

“ELEN UDAH!” Jaenandra-seseorang yang merengkuh Jelena terpaksa berteriak, berusaha membuat sahabatnya sadar. “UDAH EL, GUE MOHON!”

“Gue mau ikut Jevan, Jaen. Gue.....” Tubuh Jelena luruh dalam dekapan Jaenandra. Gadis itu jatuh pingsan dan tidak pernah menyelesaikan kalimatnya.


Gaun hitam yang sama.

Sepatu heels yang sama.

Bahkan dengan riasan wajah yang sama.

Jelena melangkah lunglai di koridor sebuah apartemen mewah di tengah kota. Tangannya menggenggam tulip putih segar. Berbanding terbalik dengan keadaan gadis itu yang tampak layu. Saat Jelena membuka pintu apartemen, hanya ruangan gelap yang menyapa. Apartemen ini selalu tampak kosong, tapi hari ini, kekosongannya terasa begitu berbeda.

“Hai, Jev.” Jelena berkata lirih, meletakkan bunga tulip yang dia bawa di atas meja.

Sorry gue baru dateng sekarang,” ucapnya lagi entah pada siapa.

Jelena menyalakan lampu, membuat seisi ruangan tampak jelas dalam pandangannya. Di sofa, Jelena bisa melihat beberapa kaus Jevan yang tergeletak sembarangan. Kaus-kaus itu adalah kaus kotor yang sepertinya belum sempat laki-laki itu bereskan sebelum pergi. Jelena berusaha mengabaikan semua kaus itu, karena Jelena tahu jika dia mendekat, dia akan mencium aroma parfum laki-laki yang dirindukannya dari kaus-kaus itu.

Gadis itu memilih untuk membuka pintu kamar Jevan dan menyalakan lampu. Ruangan ini jauh lebih kacau, ada begitu banyak barang di atas ranjang. Jas, dasi, kemeja hitam, beberapa kaus yang tampak masih terlipat rapi juga beberapa jaket yang laki-laki itu miliki. Semuanya terhampar di atas ranjang bersprei abu-abu tua kesayangan Jevan. Jelena memilih duduk di sisi ranjang, tidak tahan untuk tidak meraih salah satu jaket Jevan yang paling sering laki-laki itu gunakan. Jaket berwarna hitam itu berada pada dekapan Jelena dalam sekejap. Diciumnya jaket itu lamat-lamat. Air mata kembali menuruni pipi gadis cantik itu.

“Jev... Gue kangen.”

Tidak ada jawaban.

“Jev, gue kangen.”

Masih belum ada jawaban.

“Gue harus...” Jelena menghentikan kalimatnya karena dia merasa kerongkongannya tercekat. “Gue harus gimana kalau gak ada lo, Jev?” ucap Jelena dengan susah payah.

Namun tetap saja, tidak akan pernah ada yang menjawab pertanyaan itu. Karena satu-satunya yang bisa menjawabnya telah terkubur bersama harapan-harapan yang Jelena dan Jevan miliki tentang masa depan mereka.

Kalung yang melingkari leher Jelena terasa begitu sadis menyayat-nyayat gadis malang itu. Kalung cantik yang seharusnya Jevan pakaikan pada leher jenjang Jelena jusru diserahkan oleh seorang polisi yang menangani kasus kecelakaan itu. Kalung yang harusnya menjadi awal dari hubungan keduanya justru menjadi kado perpisahan yang menyakitkan.

Jelena merintih, mengadu entah pada siapa. Kepergian Jevan yang begitu tiba-tiba membuat jiwanya seakan pergi bersama laki-laki itu. Jelena butuh penguat, tapi bahkan jika seluruh alam semesta bergotong royong membantunya pun, tidak akan memberikan pengaruh apapun. Karena hanya Jevan yang dia mau. Hanya Jevander Novanda dalam keadaan utuh yang dia mau.

Pada malam ketujuh itu, pada malam dimana seluruh sahabatnya tengah memanjatkan doa di makam Jevan, Jelena terlelap dalam kamar Jevan dengan memeluk jaketnya. Berharap bahwa malam ini, laki-laki itu akan muncul dalam mimpinya.