Risky Stuff in Public

“Perlu aku bilang gak ke mereka kalau aku lagi sama kamu?”

Jevan tersenyum dengan sebelah sudut bibir lebih tinggi dari yang lain, menatapku yang tengah berada dalam dekapannya dan sedang sibuk membalas pesan Klarisa yang berusaha membujukku untuk bertemu.

Aku memukul dada kekasihku itu dengan gemas. Mungkin sekarang wajahku sudah terlihat jengkel setengah mati, tapi sayangnya hal itu tidak akan mempengaruhi Jevan yang memang senang sekali menggangguku. “Gak usah aneh-aneh deh,” jawabku singkat.

“Kamu bilang apa jadinya ke mantan calon adik ipar kamu itu?” Lihat, kan? Dia bahkan masih bisa mengajukan pertanyaan yang membuat bibirku semakin cemberut.

“Aku iya-in, aku kangen sama dia. Sama temen-temen kamu yang lain juga.”

“Aneh ya,” gumam Jevan pelan, membuat aku menatapnya menuntut penjelasan lebih dari sekadar aneh yanya yang tidak jelas arahnya itu.

“Kamu tuh deket sama temen-temen aku, tapi selalu takut kalau aku kenalin ke mereka sebagai pacar aku,” jelas Jevan pada akhirnya.

“Ketemu sama mereka sebagai Adzkiya mantan calon kakak ipar Klarisa dan ketemu sama mereka sebagai Adzkiya pacar kamu itu dua hal yang berbeda, Jevander.”

“Apanya yang beda? Menurut aku sama aja, kamu sama-sama Adzkiya, gadis cantik dari Ayu Laga. Gak ada bedanya.”

Aku memilih diam. Pembahasan macam ini hanya akan mengantarkan aku dan Jevander pada jurang kekesalan yang biasanya berakhir tidak baik. Dia akan berdiri tegak untuk apa yang diyakininya dan aku akan sekeras kepala itu mempertahankan keyakinanku. Ujungnya, kami berdua akan menatap satu sama lain dengan sejuta kejengkelan di kepala kami masing-masing. Karena itu, aku memilih untuk tidak membahas permasalahan ini, lagi.

“Nanti malem aku gak pulang ke Ayu Laga, ya? Aku tidur disini.” Aku berkata sembari memainkan rambut depannya yang entah kenapa sudah mulai memanjang lagi. Rasanya baru beberapa hari lalu aku menemaninya memangkas rambut hitamnya ini hingga rapi.

Jevan nampaknya sadar aku sedang tidak ingin melanjutkan perdebatan dan memilih untuk membahas hal lain, maka dia menjawab ucapanku barusan dengan, “Disini sampe Jumat aja sekalian mau gak? Nanti hari Jumat, sepulang kerja, aku bisa anter kamu. Kan sekalian Sabtu dan Minggunya aku habisin di Ayu Laga kayak biasanya. Kalau kamu mau, nanti aku bilang ke resepsionis hotel kalau aku extend booking sampai Jumat.”

Won't you get bored spending these days with me? Dari mulai hari ini sampai minggu kamu bakal liat muka aku terus loh? Biasanya kan kamu ketemu aku weekend doang.”

I will never get bored to stare at your face just like you adore these flowers in your shop eventho you see them everyday, Adzkiya.”

Sepercik kebahagian di dalam dadaku menguar hingga aku dapat merasakan kedua pipiku memanas. Aku cukup yakin, saat ini, semburat merah pasti telah samar-samar muncul di kedua pipiku yang menurut Jevan seputih susu yang dia minum tiap pagi. Sial, aku tidak bisa menyembunyikannya.

“Cie, pipinya merah, salting ya?” tanya Jevan sebelum dia berakhir menciumi kedua pipiku bergantian tanpa henti.

Tuhan, kini aku benar-benar faham kenapa seseorang yang sedang mendekap dan menciumiku ini adalah laki-laki yang berhasil menaklukan banyak wanita. Tutur kata dan perlakuannya benar-benar membuat gadis manapun bisa seakan dibawa ke langit ke tujuh olehnya. Semuanya semakin sempurna karena Engkau dengan baiknya memberi Jevan wajah yang bak dipahat oleh seniman nomor satu di khayangan. Aku rasa, tidak akan ada satupun gadis yang mampu menolak semua pesona yang Engkau letakkan pada satu raga itu, Tuhan. Termasuk aku.

“Yaudah aku disini sampai Jumat. Aku kabarin Lucia dulu untuk jaga Kiya Florist selama aku disini,” ucapku setelah Jevan membebaskan aku dari bombardir ciumannya.

**

Restoran yang Klarisa pilih untuk makan malam kali ini adalah sebuah restoran keluarga dengan menu unggulan seafood. Saat aku tiba- yang tentu saja bersama Jevan tapi aku memintanya masuk 15 menit lagi dan menunggu di parkiran terlebih dahulu- aku duduk di sebuah kursi kosong di antara Klarisa dan Juan. Di sebelah kanan Juan adalah Kayana dan Raechan, sementara si kecil Sergio berada di pangkuan ibunya. Lalu di sisi meja satu lagi diisi oleh Jaenandra, Jelena dan Markio, serta satu kursi kosong yang nanti akan diisi oleh Jevan.

Kami berbincang sebentar dan saling menanyakan kabar. Jelena memberi kabar yang begitu membahagiakan karena ternyata wanita cantik itu telah berbadan dua. Kandungnnya berumur enam minggu dan dia terlihat begitu sehat, tidak seperti Vivian yang harus mengalami morning sickness sampai usia kehamilannya menginjak 10 minggu. Aku bersyukur dan mendoakan kesehatannya dalam hati. Jevan muncul saat obrolan kami telah berubah memabahas si kecil Sergio.

“Oy, Jev, telat lo. Dari mana aja?” Jaenandra yang paling dulu menyapa Jevan.

Sorry tadi balik ke rumah dulu ganti baju, males gue masa mau makan-makan harus pake jas. Kayak lagi business dinner aja.” Jawaban Jevan yang terdengar meyakinkan itu membuatku terkekeh. Bagaimana bisa dia berkata bohong seperti itu dengan wajah datar dan tanpa senyum mencurigakan sama sekali? Padahal seharian ini dia bersamaku, mulai dari menjemputku di terminal bus hingga menemaniku menjalani pemeriksaan gigi bersama dokter yang dimaksudkan Markio. Lalu apa katanya tadi? Pulang dari kantor? Cih, dia bahkan tidak menginjak lantai kantornya sedikitpun seharian ini.

“Wan, gantian dong duduk disitunya, gue mau main sama Gio.”

Tanpa argumen tidak penting, Juan langsung berdiri dari duduknya dan menyilakan Jevan untuk duduk. Si laki-laki yang merampas kursi itu langsung meletakkan bokongnya dan menyapa si kecil Sergio. Mereka bermain dan tertawa sebentar sebelum akhirnya pesanan kami tiba. Semua orang langsung sibuk dengan piring masing-masing, terutama Kayana yang harus membagi fokusnya pada Sergio. Di antara kesibukan kawan-kawannya itulah Jevan meletakkan tangan kirinya di atas pahaku-katanya itu adalah sebuah bentuk kepemilikan. Suasana menjadi hening karena masing-masing dari kami fokus pada menu di atas meja. Mungkin sekitar 20 menit hingga akhirnya kami selesai makan dan mulai berbincang lagi. Kali ini, lengan Jevan tidak lagi diletakkan di atas pahaku. Tangan kirinya telah terselip di antara jari jemariku dan dia menggenggamnya dengan hangat- tentu saja kami melakukannya di balik meja.

“Bentar lagi kan ultah lo, mau dirayain dimana? Kita udah gak di umur saling surprise, kan?” Juan bertanya sembari menatap Jevan.

“Makan-makan aja, tapi jangan di tanggal 23nya ya? Di tanggal 24 atau 25 aja.”

“Kenapa?” Klarisa bertanya menyelidik.

I want to celebrate my birthday with someone special di tanggal 23nya, just both of us, gak papa, kan?” Jevan menjawab dengan begitu tenang sementara hatiku sudah berdegup tidak karuan. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang aneh, kan?

“Siapa emang?” Klarisa makin penasaran.

“Hmm...” Jevan hanya bergumam dan aku meliriknya yang tersenyum jahil, sungguh hatiku seakan ingin meledak. “Sama... A...”

Genggaman tanganku pada Jevan semakin erat, memberi kode padanya agar tidak mengatakan sesuatu di luar nalar, apa lagi sampai menyebut namaku.

“A.....aahhhh, pada penasaran ya?”

Jawaban Jevan membuat kawan-kawannya kesal, bahkan Jaenandra sampai melemparinya dengan tisu.

“Gue mau ke makam Mama, mau rayain berdua sama Mama.”

Perasaan gugupku berubah menjadi kekesalan. Sungguh, laki-laki ini benar-benar gemar sekali membuatku jengkel. Tapi setidaknya aku lega, dia tidak mengatakan apapun mengenai aku yang akan pergi bersamanya ke makam ibunya.

“Kalau soal dokter Ketty gimana Jev? Kapan lo mau ketemu dia?”

Aku merasakan elusan di di punggung tanganku yang Jevan lakukan dengan ibu jarinya sebelum dia menjawab, “Gak jadi deh, Kak, gue masih pengen begini aja.”

“Lo yakin? Coba aja dulu Jev, kali aja cocok,” sambar Jaenandra.

“Yakin, nanti aja kalau gue udah nemu cewek yang pas dan cewek itu udah siap, gue bakal kenalin dia ke kalian.” Jevan menjawab mantap, sementara aku hanya diam mendengarkan.

“Yaudah, kapanpun itu, kalau lo udah nemu cewek yang mau lo ajak serius bawa aja ke studio. Kita pasti welcome ke dia kok.”

Malam itu, entah kenapa, aku merasakan sedikit keberanian untuk muncul di depan mereka sebagai kekasih Jevan. Tapi aku masih butuh lebih banyak keberanian lagi.