Airport
Sira's Pov
“Padahal lo gak perlu repot-repot untuk anterin gue, gue bisa naik travel atau kereta.”
“You better be grateful dari pada ngomel gitu.”
“Ya gue kan gak mau hutang budi aja.”
Siang ini, Sagata tampil lebih santai dari biasanya. Tidak ada kemeja fit to body beserta dasi dan jas seperti yang selalu dia kenakan ketika mengantar sarapan untukku di pagi hari. Hari ini, dia hanya mengenakan kaus berwarna hitam yang dimasukkan kedalam celana jeans yang juga berwarna senada. Dari pada mengantarku ke Bandara, pemilik AIM HOTEL ini terlihat lebih cocok untuk mengantarkan aku ke pemakaman.
Sebenarnya aku juga tidak mengerti kenapa secara tiba-tiba, laki-laki judes ini menyambutku di lobby hotel dan menawarkan diri untuk mengantarkanku ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
“Barang lo gak ada yang ketinggalan kan?”
“Mudah-mudahan.”
“I won't tell you tho kalaupun ada.”
“Dasar, owner gila,” jawabku malas karena tidak habis fikir dengan sikapnya yang terkadang menyebalkan itu.
Di depan Terminal Keberangkatan, aku berdiri berhadap-hadapan dengan Sagata. Dia tampak ingin kembali mengatakan sesuatu tapi berusaha menahannya. Lalu karena dia tidak kunjung mengatakan apapun selama beberapa detik, aku memutuskan untuk mengeluarkan sebuah kotak yang sejak tadi berada di tas ransel yang kugendong.
“Buat lo.” Tanganku terulur untuk menyerahkan kotak itu pada Sagata. Sayangnya, laki-laki dengan pakaian serba hitam itu hanya menatap kotak yang kuulurkan dalam diam. Hingga aku harus bersuara lagi agar dia segera menyambut hadiah kecil itu. “Ambil, ini buat lo.”
Perlahan, Sagata meraih kotak berwarna biru muda itu lalu membukanya. Di dalamnya berisi sebuah buku dengan judul The Courage To Be Disliked dan sebuah gelang bertuliskan Be Brave di salah satu sisi luarnya.
Dia menatapku yang jika boleh kuterjemahkan artinya dengan, ini apaan?
“Buku itu harus lo baca setelah lo selesaiin Loving the Wounded Soul, isinya bagus, gue udah baca. Kalau gelang itu.... sesuai dengan tulisan disitunya, be brave. Gue harap, lo mulai berani, berani dalam hal apa aja yang menurut lo baik. Contohnya... lo harus mulai berani untuk bilang enggak, ke siapa pun, termasuk ke Mama lo.” Dia masih diam, membiarkan aku menyelesaikan kalimatku yang sudah terdengar seperti motivator ini. “Berani untuk bilang enggak, gak akan bikin lo jadi orang jahat kok.”
Aku tidak akan pernah melupakan tatapan mata Sagata di siang yang panas itu. Tatapan mata yang mampu mengalahkan teriknya matahari yang seakan membakar kulitku meskipun kami berdiri di tempat yang dinaungi atap. Tatapan mata yang membuat Sagata tampak seperti manusia yang baru saja diberi nyawa tambahan untuk melangsungkan hidupnya.
“Makasih, gue gak nyangka ternyata lo sebaik ini. Karena jujur aja, awalnya gue kira...” jawabnya polos dan membuatku tertawa mendengarnya.
“Lo kira gue brengsek banget, kan? Gak papa, a good friend will always start by I thought she was such a bad bitch, kan?” potongku cepat di sela sisa tawa yang masih tersisa.
Sagata ikut terkekeh mengiyakan.
“Yaudah, gue berangkat ya. Lo ati-ati baliknya, jangan ngebut. Makasih udah nyetirin gue dari Bandung sampe sini. Good bye, Sagata.”
“See you again, Sira.”
Dua kata perpisahan yang memiliki makna yang jauh berbeda. Aku mengucapkan kata selamat tinggal dengan harapan aku tidak akan pernah bertemu dengan Sagata lagi. Sementara laki-laki itu mengucapkan sampai bertemu lagi, mungkin dengan harapan suatu saat semesta akan membantunya untuk bertatap muka denganku lagi.
Masih di depan Terminal Keberangkatan di siang yang panas itu, aku bisa melihat Sagata mengangguk sembari tersenyum dan aku memutuskan untuk menjadikan senyuman itu sebagai pemandangan terakhir yang aku lihat sebelum benar-benar masuk ke dalam Terminal Keberangkatan.
Selesai melakukan check in, aku langsung menuju terminal sesuai yang tertera pada boarding pass yang aku genggam di tangan kanan. Saat tanpa sengaja aku melewati sebuah rumah makan cepat saji yang bertuliskan Marugame Udon di atasnya, ingatanku kembali pada saat dimana aku dan Sagata duduk berhadap-hadapan dan menyantap makanan kami di Paris Van Java.
Saat tidak sengaja melintasi toko buku bertuliskan Periplus, aku teringat pada Sagata yang masih ingin membaca lebih banyak buku dan mendiskusiknnya denganku.
Dan saat akhirnya aku tiba di boarding lounge, aku seperti disadarkan bahwa setelah ini aku akan kembali ke kehidupan normalku dimana hanya ada diriku sendiri, sesekali Keycia masuk ke dalamnya. Aku disadarkan pada kenyataan bahwa Sagata hanyalah salah satu orang yang kukenal tanpa sengaja dan akan segera terlupakan seiring berjalannya waktu.
Lagi, keheningan itu merampas kesadaranku dengan paksa. Ramainnya Bandara Soekarno-Hatta siang itu bahkan tidak mampu menarikku kembali dari kesepian yang sudah bertahun-tahun terpatri di jiwaku ini.
Lagi, aku akan menjadikan alam Indonesia sebagai penghiburan yang sebetulnya tidak benar-benar menghibur.
Lagi, aku akan menjadikan kegiatan menulis blog sebagai senjata untuk membunuh waktu.
Lagi, aku akan menggunakan pekerjaan sebagai dalih pengalihan kesendirian.
Dan sebaliknya, aku berharap kado kecil yang aku persiapkan untuk Sagata sejak tadi malam itu dapat sedikit mengubah hidupnya. Aku sangat berharap dia tidak lagi menjadi anak yang bodoh dan selalu mengiyakan apapun keinginan orang tuanya. Aku berharap, laki-laki dengan tingkat kepekaan sangat minim itu setidaknya bisa peka dengan luka batinnya sendiri. Karena sungguh, aku benar-benar melihat diriku yang dulu pada dirinya. Dan aku mengasihaninya.
Karena hidup dengan cara seperti itu, menyakitkan.
Jadi semoga saja, meskipun dia tidak bisa seberani aku untuk membebaskan diri dan pergi rumah, setidaknya dia bisa cukup berani untuk membebaskan diri dari belenggu orang tuanya.