Veins.

Sudah seperti ritual mingguan, tidak pernah sekalipun aku tidak menemui seorang gadis di kota kecil bernama Ayu Laga setiap akhir pekan. Kadang-kadang, sembari mengendarai mobil hitamku menembus panjangnya jalan TOL, aku sering sekali bertanya kepada diriku sendiri, apa ya yang sudah gadis itu lakukan padaku hingga aku rela menembus puluhan kilometer untuk menemuinya di saat aku bisa saja bersantai di apartemenku setelah seharian bekerja? Lalu saat melihat senyumnya dan merasakan kehangatan pekukannya ketika menyambutku di muka pintu, aku seakan disadarkan. Rumah akan tetap menjadi rumah, sejauh apapun jarak yang harus aku tempuh.

Waktu kedatanganku selalu sama, sekitar pukul enam sore hingga tujuh malam. Adzkiya telah menghafal hal itu di luar kepalanya hingga gadis kesayanganku itupun menyesuaikan jam tutup toko bunganya agar ketika aku sampai, dia sudah lebih dulu berada di rumah untuk menyambutku. Oh, tentu jangan lupakan waktu satu jam yang gadis itu habiskan untuk sibuk di dapur memasak makanan apapun yang sedang ingin aku makan- yang telah ditanyakannya pada malam sebelum kedatanganku.

See, jarak bajingan itu setara dengan semua kenikmatan yang aku dapatkan setibanya aku di Ayu Laga, kan? Sekarang aku berharap, aku dan kamu sama-sama mengerti kenapa aku rela membawa diriku melalui jarak yang begitu jauh untuk menjumpai gadis kesayanganku.

“Minum apa, Van?” Aroma wangi sabun dan lotion memanjakan cuping hidungku tatkala Adzkiya membawa dirinya yang segar usai mandi untuk duduk di sebelahku.

Aku menyambutnya dengan senyum dan meletakkan gelasku di meja. Dengan gerakan yang natural, aku meletakkan sebelah lengaku di atas pangkuannya dan Adzkiya langsung mengelus-elus lenganku itu. Gadis kesayanganku ini pernah bilang di suatu malam berbulan-bulan lalu bahwa dia menyukai bagaimana otot-ototku terasa kencang di bawah kulitku yang katanya sehalus sutra. Maka, setiap kali sedang bersamanya, aku selalu berusaha mengenakan kaus ataupun kemeja dengan lengan pendek. Agar gadis kesayanganku itu bisa mengelus lenganku seleluasa mungkin. Meskipun tidak jarang Adzkiya akan mengomel, Van, Ayu Laga tuh dingin, kenapa sih gak mau pake jaket? atau Van, aku gak mau ya harus kerokin kamu kalau kamu masuk angin. Omelan-omelan yang hanya akan berakhir bungkam karena aku mengunci bibirnya dengan milikku.

“Vodka, buat angetin badan.”

Adzkiya hanya mengangguk kemudian meletakkan dagunya di bahuku. “Gimana kantor? Kamu udah jarang marah-marah soal kantor kamu.”

“Semenjak sama kamu, rasanya hidup aku jadi lebih mudah, Ki. Aku udah gak ambil pusing lagi soal kantor, anak-anak juga bingung kenapa sekarang aku keliatan ceria terus di kantor.” Aku berkata jujur namun hanya berakhir membuatnya terkekeh merdu.

Perlahan-lahan namun pasti, alkohol mulai mengambil alih kesadaranaku. Aku merasakan tubuhku seringan kapas, dadaku penuh oleh kebahagiaan, dan bahkan aku merasa bahwa malam ini Ayu Laga terasa lebih tenang dan nyaman. Belaian tangan Adzkiya pada lenganku makin membuatku ke awang-awang.

“Kamu udah minum berapa banyak? Kok udah tipsy gitu?” Adzkiya tampaknya sadar bahwa sekarang aku berada di ambang kesadaran dan tidak.

Aku tidak menjawab, aku hanya membawanya ke pelukanku yang hangat. Kami berakhir berbaring di atas sofanya yang lembut, tentu saja sambil berpelukan. Hal yang tidak pernah bisa aku lakukan ketika kami sudah pindah ke kamarnya untuk tidur. Sudah setahun, tapi Adzkiya sama sekali belum mengizinkan aku untuk tidur sambil memeluknya. Ketika aku merengek kedinginan, dia hanya akan mengeluarkan selimut tebal lain dari dalam lemari dan berkata, tuh pake selimut aja.

“Bulan depan aku ulang tahun, aku boleh minta kado gak?”

Adzkiya tidak menjawab, tapi aku bisa merasakan anggukannya dalam pelukanku.

“Temenin aku ngerayain ulang tahun di makam Mama, ya?”

Adzkiya mendongak untuk menatapku ketika dia mendengar kalimat itu keluar dengan lancar dari mulutku. Tatapannya seperti.... ketakutan. Tatapan yang selalu dia berikan padaku ketika aku mengajaknya untuk datang ke apartemenku atau menghadiri acara kantor. Adzkiya selalu ketakutan. Adzkiya takut kawan-kawanku akan tahu hubungan kami dan tidak mengetujuinya. Adzkiya takut akan respon ayahku. Adzkiya takut akan banyak hal tentang aku dan dia.

“Tenang aja, gak ada anak-anak kok. Just you and me,” ucapku menenangkan tatapannya yang seakan meminta pertolongan itu.

Setelah yakin dengan apa yang aku ucapakan dan menemukan keseriusan dalam pupil mataku yang tengah menatapnya, Adzkiya mengangguk mengiyakan permintaanku. Membuatku lega. Ini sudah sebuah langkah besar bagi hubungan kami.

“Selain itu, kamu mau kado apa?”

“Lemari.”

“Lemari? Lemari baju? Atau buku?”

“Baju, untuk nyimpen baju-baju aku biar gak usah numpang di lemari baju kamu lagi.”

Adzkiya terkekeh lagi ketika dia akhirnya paham permintaanku. Ya, karena seringnya frekuensi kedatanganku, aku sering meninggalkan pakaianku di rumah Adzkiya. Kaus, kemeja, hoodie, celana santai hingga setelan kerjaku pun tergantung rapi di salah satu ruang di lemari Adzkiya.

“Oke, nanti kita beli lemari buat baju-baju kamu yang udah makan setengah dari lemari aku itu ya,” ucapnya sembari menggesek hidungnya dan hidungku. Membuatku gemas setengah mati.

Cukup basa-basinya, aku tidak tahan lagi. Bibir Adzkiya dan tawanya yang renyah seakan mengundang bibirku untuk mendekat. Maka aku melakukannya, aku satukan bibir berbau alkoholku dengan miliknya yang selalu semanis buah-buahan. Posisi kami saat ini sangat menguntungkan karena Adzkiya tidak akan sanggup menjauh dariku. Membuatku bisa seleluasa mungkin menjelajah bibirnya untuk diriku sendiri. Bibir yang tiap kali aku cecap selalu merespon dengan kelembutan yang sama. Bibir yang membuatku menginginkannya secara tiba-tiba di hari-hariku yang panjang di kantor Ibu Kota.

Lenguhan Adzkiya terdengar kala aku memperdalam ciuman kami hingga dia hampir kehabisan nafas. Jari-jarinya yang lentik memukul-mukul dadaku memberi isyarat agar aku menjauh. Aku menurutinya, memberi sedikit jarak untuknya meraup udara sebanyak yang dia bisa. Sebelum kemudian kembali meraup bibirnya. Semakin lelap Ayu Laga tertidur dalam buaian kabut, semakin dalam pula ciumanku dan Adzkiya.

Adzkiya, Adzkiyaku.

Gadis yang akhirnya membuatku mencintai diriku sendiri.

Gadis yang ketika bersamanya bisa membuatku sadar nilaiku sendiri.

Aku mungkin pernah mencintai Jelena sebegitu dalamnya, tapi ketika bersamanya, aku hanya mencintainya hingga lupa mencintai diriku sendiri.

Namun saat bertemu Adzkiya, aku seperti melihat sosokku dalam dirinya. Hingga ketika aku mencintainya, aku merasa begitu mencintai diriku sendiri.

Dan cinta ini membuatku lebih hidup.