Utuh
Pagi hari di kota kecil bernama Ayu Laga selalu terasa sama. Kicau burung, embun yang menumpuk hingga membuat daun merunduk, dan tentu saja jangan lupakan hembusan angin basah yang membuat setiap penghuni kota kecil itu ingin meringkuk saja di atas ranjang berselimut tebal. Setiap pagi, selalu sama, seperti sudah menjadi template kehidupan masyarakatnya. Kegiatan di Ayu Laga biasanya baru dimulai pukul delapan pagi, menunggu kabut menipis hingga sinar matahari menyapa dengan hangat. Saat itu lah, perlahan-lahan Ayu Laga baru mulai terasa hidup. Beberapa orang dewasa pergi ke kebun ataupun ke toko-toko milik mereka, lalu anak-anak berbondong-bondong menuju sekolah. Di Ayu Laga, sekolah baru dimulai pukul sembilan pagi.
Suara alarm yang berbunyi nyaring membuat senyum Vivian melebar. Dia membayangkan anak kembarnya pasti sedang menggeliat malas sambil merutuki pagi yang terlalu cepat datang-setidaknya menurut mereka. Selang beberapa menit, suara keras alarm kedua menyusul. Kali ini Vivian berharap bunyi-bunyian yang memekakkan telinga itu bisa merampas rasa kantuk kedua anaknya hingga bisa membuat mereka segera membuka mata dan turun untuk sarapan.
Vivian tengah sibuk menata tiga piring nasi goreng dan tiga gelas susu putih hangat saat akhirnya perempuan berusia 40 tahun itu mendengar suara langkah kaki dari lantai dua. Anaknya yang lebih dulu dikeluarkan dokter dari rahimnya-Cakrawala-berjalan mendekat dengan sebelah mata masih tertutup. Cakrawala memberi pelukan kepada ibunya dan memberi kecupan di pipi kanan wanita paling dicintainya itu. Selang semenit, saudara kembar Cakrawala, Amartha, muncul dengan keadaan lebih rapi. Anak laki-laki yang gemar mengenakan hoodie berwarna hijau mint itu tampak sudah membasuh wajahnya dan menyisir rambutnya dengan tangan.
“Pagi Bunda,” sapa Amartha seraya mencium pelipis ibunya. Dia lalu duduk di sebelah Cakrawala dan menyikut lengan kembarannya itu, mengirimkan signal.
Cakrawala mendelik, dia kesal dengan kembarannya karena tidak sabaran.
“Bunda, katanya Caka mau ngomong sesuatu sama Bunda.”
Mata Cakrawala semakin mendelik tatkala kalimat itu keluar dari bibir Amartha. Jika boleh, dia ingin sekali menendang Amartha hingga terjungkal dari kursi.
“Ngomong apa, Nak?” Sang ibu bertanya lembut, menatap ke arah anaknya yang bergerak-gerak gelisah.
“Itu... anu...” Cakrawala gelagapan, tenggorokannya seakan kering hingga dia dengan tergesa-gesa meminum susu yang telah disiapkan ibunya.
Vivian hanya menatap anakya itu dengan tatapan teduh. Menunggu dengan sabar. Bahkan sendok dan garpunya sudah dia letakkan kembali di atas piring. Ruangan menjadi senyap seketika, Cakrawala melirik Amartha dengan tatapan yang bisa diartikan awas lo abis ini. Yang ditatap hanya mengangkat bahu acuh, dia tidak takut dengan ancaman yang diberikan oleh Cakrawla, sudah biasa batinnya.
Cakrawala menarik nafas panjang lalu berkata, “Bundabolehgakkalaukitagakmasukkedokteran?”
Amartha bengong, Vivian bingung. Kalimat yang diucapkan Cakrawala barusan hanya terdengar seperti suara nyamuk yang tidak jelas. Tidak tertangkap dengan baik oleh pendengaran mereka.
“Nak, kamu ngomong apa?” Sebelah tangan Vivian berusaha menggapai jemari Cakrawala yang ketika sudah tersentuh terasa sangat dingin. Dia heran, apa kiranya yang mengganggu anaknya ini? Biasanya, kedua anaknya selalu bisa mengekspresikan diri atau berdiskusi dengannya dengan begitu santai, karena sejak kecil Vivian dan suaminya telah menerapkan kegiatan bercakap-cakap di sore hari hingga kedua anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang terbuka dengan ayah dan ibunya. Lalu ada hal apa hingga membuat Cakrawala segugup ini?
“Lo gugup banget kayak mau nembak cewek aja sih, Ka,” komentar Amartha.
“Berisik,” desis Cakrawala.
“Arthaaaa,” tegur Vivian begitu pelan, membuat si tampan Amartha cengengesan.
“Maaf, Bunda.”
“Ayo sekarang Caka mau ngomong apa, Nak?” Fokus Vivian kembali pada putranya yang terlihat mulai tenang setelah mendapat usapan tangan dari sang ibu. Bahu tegang Cakrawala mengendur. Tangannya tidak lagi sedingin tadi. Detakan jangtungnya juga sudah terasa normal. Bahkan senyuman mulai bisa terlihat di wajah Cakrawala yang tadi pucat pasi.
“Bunda, boleh gak kalau aku sama Artha gak ambil kuliah kedokteran?”
Vivian terkekeh, tangannya yang tadi memegang jemari Cakrawala kini beralih ke rambutnya, mengacaknya lembut. “Caka, Ayah sama Bunda gak pernah kan maksa kalian untuk jadi dokter seperti Ayah dan Bunda?”
“Ya gak pernah sih, Bun. Tapi aneh gak sih kalau Ayah, Bunda, Om Uwu, Tante Valen, semuanya kerja di rumah sakit, tapi aku sama Artha malah milih jurusan yang gak ada hubungannya sama dunia kesehatan sama sekali?” Setelah hilang rasa gugupnya, jiwa Cakrawala yang gemar berdiskusi dengan kedua orang tua dan kembarannya telah kembali. Anak yang sedang beranjak dewasa itu sibuk berbicara sampai lupa menyentuh nasi gorengnya. “Nanti apa kata orang-orang di John Medical pas tau kalau anak Ayah sama Bunda malah gak nerusin jejak orang tuanya?”
“Apa pentingnya ngurusin omongan orang, Anakku?” Vivian tersenyum lembut sekali lagi. “Yang penting buat Ayah dan Bunda adalah kebahagiaan dan kenyamanan kalian. Kalian mau sekolah dokter, Ayah sama Bunda akan dukung sepenuhnya, tapi kalau kalian mau ambil jurusan yang lain, Ayah dan Bunda juga akan tetep dukung. Yang penting kalian bisa tanggung jawab sama pilihan kalian sendiri.”
Hati Cakrawala dan Amartha menghangat. Selaras dengan kabut di luar sana yang menipis. Cahaya matahari yang tadi terhalang kini telah menapakkan kegagahannya. Mengetuk pintu rumah-rumah penduduk, memberi tahu bahwa Ayu Laga harus mulai bergerak.
“Jadi gak papa ya, Bun, kalau aku sama Artha gak masuk kedokteran?”
“Gak papa, Nak. Pilih jurusan yang kalian mau, supaya kalian juga gak terbebani waktu menjalaninya.”
Cakrawala melirik Amartha yang sudah lebih dulu menatapnya. Tawa keduanya keluar bersamaaan. Kebahagiaan memenuhi ruang makan keluarga kecil milik Garend Abumi Adetama itu. Vivian tersenyum lebih lebar saat kini dia bisa melihat kedua anaknya tidak lagi segugup tadi. Cakrawala dan Amartha mulai menyantap nasi goreng yang sudah dingin, tapi tak apa, bagi mereka nasi goreng pagi itu justru terasa berkali-kali lipat lebih nikmat.
Cakrawala dan Amartha tahu benar, kelonggaran dan dukungan yang ayah dan ibunya berikan adalah berkah yang tidak semua anak bisa mendapatkannya. Cakrawala pernah dengar bahwa 80% anak-anak yang masuk kedokteran adalah paksaan dari orang tua mereka yang memang memiliki profesi tersebut, sementara Amartha pernah melihat banyak anak di kampung kakeknya yang harus putus sekolah karena orang tuanya belum mampu mebiayai mereka. Jadi, apa yang ayah dan ibunya berikan pada mereka amat sangat patut disyukuri. Dukungan moral dan finansial, nikmat Tuhan mana lagi yang mereka dustakan?
“Emang Caka sama Artha mau ambil jurusan apa?”
Cakrawala meletakkan sendoknya untuk kembali menatap ibunya. “Aku mau ambil Hubungan Internasional, boleh kan, Bun?”
Vivian mengangguk semangat, dua jempolnya terangkat. “Keren anak Bunda, boleh dong.” Wanita itu lalu mengalihkan tatapannya pada Amartha. “Kalau Artha?”
“Aku... Kalau boleh, aku mau ambil istirahat satu tahun dulu, Bunda.”
“Dih, mau ngapain lo?” Cakrawala menyahut lebih dulu. Penasaran karena selama ini Amartha tidak pernah mengatakan apapun mengenai hal itu padanya.
“Boleh Bunda tau alasannya, Nak?”
“Aku mau bantu anak-anak di desa Kakek, Bun. Aku mau ikut kegiatan volunteer Indonesia Mengajar, jai tenaga pengajar, boleh?”
Vivian berdiri dan berjalan mendekati Amartha yang menatap ibunya bingung. Lalu wanita yang tampak anggun dalam balutan gaun rumahan berwarna putih tulang itu menarik anaknya untuk dia rengkuh ke dalam pelukannya yang hangat. Kedua tangan Vivian melingkari tubuh Amartha dengan begitu erat, seolah enggan melepaskan. Air matanya luruh, membasahi hoodie kesayangan Amartha.
“Bunda, Bunda kenapa?” Cakrawala ikut berdiri saat menyadari ibunya banjir air mata.
Vivian menggeleng, perlahan melepas pelukannya akan Amartha. Saat mata mereka bertatapan, Vivian mencium kening Amartha dengan sayang.
“Bunda senang sekali mendengar keinginan kamu, Nak. Mulia, mulia sekali hati kamu. Ayah pasti senang sekali kalau dengar ini.”
Mendengar itu, Amartha menabrakkan tubuhnya ke dalam dekapan wanita yang telah melahirkannya itu. Pelukan ibunya selalu hangat, selalu bisa mengalahkan udara dingin Ayu Laga yang terkadang kejam.
“Bunda juga bangga dengan jurusan kuliah yang Caka ambil, HI itu sulit, kita lewati sama-sama ya, Nak. Ayah sama Bunda janji akan selalu ada untuk temani perjuangan kamu.”
Cakrawala tersenyum, dia ikut memeluk ibunya meskipun harus menumpuk tubuh Amartha yang lebih dulu mendekap ibu mereka.
Pagi itu, sekali lagi, Cakrawala dan Amartha bersyukur lahir dari rahim seorang Vivian Sayu Adipura. Dalam hati mereka, mereka juga berterimakasih pada Vivian karena telah memilih Garend Abumi Adetama sebagai ayah mereka hingga keluarga ini terasa utuh dan penuh kasih. Pelukan mereka makin erat, seerat Ayu Laga memeluk jiwa mereka.