Catur

Di dunia ini, mungkin ada ratusan bahkan ribuan manusia bernama Alex. Baik perempuan maupun laki-laki. Dan dari ribuan kemungkinan itu, aku tidak menyangka bahwa yang berdiri berhadapan denganku saat ini adalah Alex yang ini, Alexander Novanda, ayah Jevander Novanda- kekasihku. Aku menatapnya dengan pandangan ketidakmengertian akan banyak hal. Aku tidak mengerti kenapa dia memilih Florist kecil di pinggiran kota dari banyaknya Florist besar di Ibu Kota sana? Aku tidak mengerti kenapa dia memilih mengambil bunganya sendiri daripada menggunakan jasa pengiriman yang tidak akan membuatnya repot menempuh jarak puluhan kilometer? Aku tidak mengerti kenapa dia sejak tadi menatapku dengan senyum yang tidak bisa aku artikan apa maksudnya? Segala ketidakmengertianku itu membuatku kepalaku pusing dan perutku mual.

“Bunga saya sudah siap?” Pak Alex bertanya padaku dengan nada suaranya yang rendah. Itu adalah kalimat yang keluar dari mulutnya setelah sekian detik kami bertatapan tanpa suara.

“Oh...” Aku terperanjat, buru-buru mengambil bunga yang sudah aku rangkai sedemikian cantiknya. Bunga Sweat Pea berwarna ungu dan putih yang memiliki makna perpisahan- sesuai pesanan. Aku mengayunkan bunga itu pada Pak Alex dan menunggunya untuk menyambut bunga itu. Namun yang terjadi, pria berusia sekitar 40 tahunan itu tidak kunjung menyambut bunga yang dipesannya.

“Untuk kamu saja,” katanya masih dengan suara rendahnya yang khas.

“Maaf, maksudnya gimana ya, Pak?”

“Bunga itu untuk kamu, karena sebentar lagi kamu akan berpisah dengan anak saya.”

Seakan tersambar petir di siang bolong, hatiku mencelos. Luka-luka di dalam sana yang belum sepenuhnya sembuh seakan ditaburi ratusan bulir garam hingga membuatnya begitu perih. Tapi luka-luka itu juga seakan sebagai pengingat untukku bahwa aku tidak akan membiarkan pria di depanku ini untuk menabur lebih banyak garam dan membuatku hatiku semakin terluka. Lalu dengan senyum yang mengembang tenang, aku meletakkan bunga itu di atas counter, begitu dekat dengan Pak Alex.

“Maaf, saya gak suka Sweat Pea, Pak. Saya lebih suka bunga Peony. Bapak tau apa arti bunganya?”

“Penghilang rasa sakit. Atau bisa juga diartikan sebagai kebahagiaan,” sambarku cepat pada pertanyaanku sendiri, tanpa menunggu anggukan atau gelengan kepala Pak Alex. “Saya dan Jevan adalah dua orang yang saling menyembuhkan dan sumber kebahagiaan bagi masing-masing dari kami.”

Jawabanku membuat senyum Pak Alex luntur. Wajah tegasnya kian kentara saat senyum itu tidak lagi menunggangi wajahnya. Meskipun Pak Alex tetap nampak tenang, tapi aku yakin sekali bahwa dia gusar. Dia pasti menganggap aku wanita lemah yang bisa dia intimidasi dengan power yang dia miliki itu. Tapi aku adalah Adzkiya, luka-lukaku di masa lalu menjadikan aku pribadi yang tidak akan gentar dengan gertakan macam ini. Apa lagi, sejak pertama kali aku mengiyakan ajakan Jevan untuk memulai hubungan kami, aku sudah mengira-ngira respon macam apa yang akah ayahnya berikan. Dan apa yang terjadi hari ini adalah apa yang sudah aku bayangkan sejak setahun lalu.

“Adzkiya Judith Hartoni, tinggal dan dibesarkan di sebuah panti asuhan kumuh di kota kecil bernama Ayu Laga. Tumbuh tanpa bimbingan seorang ayah dan kasih sayang seorang ibu. Pendidikan hanya sampai tingkat menengah atas karena tidak sanggup berkuliah. Membuka toko bunga kecil ini dengan pinjaman bank. Ditinggalkan oleh dokter Garend karena dirasa tidak mengumpuni untuk menjadi istri seorang dokter, dan sekarang kamu bermimpi untuk mendampingi anak saya? Jevander Novanda pewaris tunggal Novanda Group? Kembali ke kenyataan, Nona Adzkiya.” Rentetan kalimat itu bak anak panah yang menghujam dadaku ribuan kali. Kedua tanganku yang terkulai di sisi tubuh mengepal kuat. Aku juga bisa merasakan telapak kakiku berkeringat karena terlalu marah. Tapi otakku berkali-kali memaksaku untuk tersenyum, agar setidaknya orang yang sedang aku hadapi ini tidak merasa menang.

“Setidaknya saya tahu, panti asuhan kumuh tempat saya tumbuh yang anda sebutkan tadi adalah sebuah tempat yang jauh lebih hangat dari pada rumah mewah yang Jevan tinggali.” Aku menjawab mantap, tanpa keraguan sama sekali dalam suaraku.

Rasanya, aku dan Pak Alex seperti dua orang yang sedang bermain catur. Aku tidak akan membiarkan dia mengambil semua bidak caturku satu-persatu. Sebaliknya, aku akan berusaha membuatnya pulang dengan malu setelah menyaksikan bidak terakhir pada sisi papan caturnya tumbang.

“Saya memang tumbuh tanpa tahu kasih sayang kedua orang tua saya, tapi saya tau cara mengasihi dengan benar. Mungkin itu juga yang membuat Jevan ingin saya berada di sisinya.” Lima bidak catur Pak Alex aku ambil sekaligus.

“Pak, jika Bapak melakukan ini pada saya karena rasa sayang Pak Alex pada Jevan, boleh saya beritahu kalau cara ini salah?” Lima bidak lainnya jatuh ke tanganku tanpa perlawanan.

“Jevan ingin dengan saya, Pak. Seribu kalipun saya coba menghindar dari dia, dia selalu kembali pada saya. Sejak awal, saya tahu kalau Pak Alex gak akan pernah merestui hubungan saya dan Jevan, itu juga yang menjadi alasan kenapa saya selalu menolak ajakan Jevan yang ribuan kali itu juga untuk bertemu dengan Bapak.” Tidak banyak bidak yang tersisa pada sisi papan catur Pak Alex dan dia hanya menatapnya pasrah.

“Jadi, jika Bapak ingin saya berpisah dengan Jevan, temui dia dan bukan saya. Mungkin Bapak bisa dengar dari mulut anak Bapak sendiri bagaimana keputusan yang akan dia ambil. Jika dia ingin berpisah dengan saya, saya tidak akan keberatan. Namun jika dia ingin bersama saya, saya akan tetap bersamanya, Pak. Dan saya meminta maaf untuk itu.”

Checkmate

Aku memenangkan pertandingan catur itu.

**

Aku di apartemen, Sayang, kenapa?

Jawaban Jevan dari sambungan telepon itu cukup untuk membuatku memberi tahu pada supir taksi, yang baru saja aku naiki dari terminal bus, kemana aku harus pergi. Hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit sampai aku tiba di depan pintu apartemen Jevan yang terletak di pusat Ibu Kota itu.

Jevan menatapku bingung saat mendapati diriku berdiri di depan pintu apartemennya. Dia langsung menarikku masuk dan menanyakan aku dari mana dan bersama siapa.

“Aku sendirian, tadi abis ngecek bahan-bahan buat florist di toko deket sini. Jadi aku mampir,” bohongku.

“Kenapa gak ngabarin aku? Aku bisa nemenin kamu.”

“Kamu kan kerja. Peluk aku dong, Van, aku capek banget.”

Aku bisa menangkap raut wajah heran Jevan yang langsung dia usir itu ketika menarikku ke dalam dekapannya. Wajar saja dia heran, aku tidak pernah bersikap semanja ini padanya. Selain itu, kedatanganku ke apartemennya saja sudah pasti cukup untuk membuatnya heran- karena aku selalu menolak ketika dia mengajakku kesini.

“Aku nginep di sini boleh, ya? Mau pulang ke Ayu Laga capek banget. Aku nginep semalem aja.” Aku berucap sedikit tidak jelas karena aku membenamkan wajahku pada dadanya yang hangat. Aku berusaha mencari kenyamanan yang selalu bisa aku temukan di dada Jevan yang bidang ini. Perasaanku saat ini sedang kacau, asal kamu tahu saja. Segala keberanianku melawan Pak Alex tadi menguras seluruh energiku hingga aku harus datang jauh-jauh untuk menemui Jevan dan merecharge energiku seperti ini.

“Boleh, dong, Sayang. Aku seneng banget malah kalau kamu mau nginep disini. Jangankan semalem, selamanya juga boleh,” balas Jevan yang diberi tambahan dengan sebuah kecupan sayang di pucuk kepalaku.

Aku melonggarkan pelukan dan mendongak untuk menatap wajah kekasihku itu. “Van, tidur yuk? Tapi peluk aku, ya?”

Raut wajah heran yang tadi sudah diusir Jevan datang kembali. Dia menatapku dengan kedua alis yang menyatu.

“Ki, ini beneran kamu?”

“Iya, ini aku.”

Jevan diam. Matanya mengamatiku dengan lamat.

“Ini aku, Van.”

“Tapi Adzkiya yang aku kenal gak pernah izinin aku untuk meluk dia waktu tidur loh?”

“Adzkiya yang itu udah pergi, yang sekarang ada di depan kamu ini Adzkiya versi baru.”

Jevan tidak menjawab lagi karena aku membungkamnya dengan kelembutan bibirku. Membuatnya dengan begitu ringan membawaku ke kamarnya dan merebahkan tubuhku di atas ranjangnya yang nyaman. Adegan selanjutnya akan aku serahkan saja pada kalian bagaimana kalian akan melanjutkannya.

Aku hanya ingin meberitahu bahwa Adzkiya yang dulu, yang takut untuk menunjukkan hubungannya dan Jevan pada dunia, telah mati. Kini, yang ada hanyalah Adzkiya yang akan memamerkan dengan bangga bahwa Jevander Novanda adalah miliknya.