Plot Twist

Jalanan Ayu Laga selalu sepi di sore hari. Sebagain besar kegiatan warganya hanyalah minum teh di beranda rumah usai lelah bekerja seharian. Beberapa dari mereka yang memiliki pemasukan lebih dari cukup, memilih mengeluarkan sedikit ungnya untuk memesan satu gelas kopi atau cokelat panas di kafe-kafe yang berjajar memenuhi jalanan utama ayu laga.

Tak ayal, sore itu Garend harus berdiri dalam antrian cukup panjang untuk memesan kopi yang Vivian titipkan. Masih ada enam atau tujuh antrian lagi di depannya. Dia memilih untuk menikmati keadaan kafe dari pada menggerutu tentang antrian itu.

Tatapan matanya jatuh pada seorang anak laki-laki yang duduk di high chair, berhadap-hadapan dengan seorang wanita yang sibuk menyuapi anak itu. Mata bulat si anak laki-laki tidak lepas menatap Garend meskipun dia sedang sibuk dengan potongan kue keju yang disuapkan ke mulutnya.

Antrian mulai menipis, tersisa dua orang di depan Garend. Namun kontak mata mereka masih tertaut. Bahkan semakin dalam. Garend seperti melihat potret masa kecilnya dalam diri anak itu. Dengan mata yang sama, bentuk bibir yang sama dan hidung tinggi yang sama.

“Silahkan,”

Garend sedikit terperanjat saat tanpa dia sadari, sudah tiba gilirannya untuk memesan. Laki-laki itu memotong kontak matanya dengan si anak dan fokus pada seorang kasir di hadapannya yang sedang menunggunya memesan.

“Tiga ice americano sama satu ice cafe latte less sugar ya Mbak.”

“Ada lagi Pak?”

“Hmm... Strawberry crumble muffinnya boleh satu deh Mbak.”

“Baik Pak, totalnya Rp. 250.000, pembayaran dengan apa? Dan maaf, atas anam siapa?” tanya kasir itu sopan.

“Ini, cash aja,” ucap Garend sembari mengulurkan uang senilai yang harus dia bayarkan. “Atas nama Garend ya Mbak.” Lalu setelah mendapatkan struk bukti transaksi, dia duduk di salah satu kursi untuk menunggu pesanannya.

Kali ini, Garend tidak lagi menjatuhkan tatapannya pada si anak laki-laki. Dia sibuk memeriksa ponsel karena baru saja mendapatkan informasi tentang keadaan beberapa pasien yang baru saja dikirimkan pihak rumah tempatnya bekerja.

“Tiga ice americano, satu ice cafe latte dan strawberry crumble muffin atas nama Garend.”

Suara panggilan itu terdengar ke penjuru cafe, membuat si empunya nama langsung berdiri dari duduknya. Tanpa dia sadari, seorang wanita juga menoleh atas panggilan itu.

“Garend,” lirih wanita itu, selirih mungkin, namun hebatnya Garend masih bisa mendengar.

Manik mereka bertemu, saling mengait. Ada senyum di wajah Garend, namun jauh berbeda dengan wanita itu. Wajahnya pucat pasi, dia terlihat gugup. Buru-buru membereskan beberapa barang di atas meja, memasukkanya sekaligus ke dalam tas. Namun ada hal yang membuat senyum Garend perlahan turun, wanita itu menggendong si anak laki-laki yang tadi menjadi pusat perhatiannya. Mereka berdua berlalu secepat angin, bahkan sebelum sempat Garend memanggil namanya.


Lorong John Medical sebetulnya tidak terlalu panjang, namun entah kenapa rasanya sore itu langkah kaki yang sudah Garend ambil lebar-lebar belum juga mampu membawanya cepat sampai ke ruang istirahat dokter. Rasanya lorong itu tak berujung.

Kepalanya penuh. Memikirkan kepergian wanita yang ditemuinya tadi. Memikirkan kepergian wanita itu yang terburu-buru. Memikirkan anak laki-laki yang wanita itu bawa pergi bersamanya.

“Rend, kenapa lo?” Tendra menjadi orang pertama yang menyadari kehadiran Garend sesaat setelah laki-laki itu masuk ke ruang istirahat.

“Adzkiya...”

“Adzkiya?” tanya Tendra bingung.

“Gue ketemu Adzkiya Ndra...” Garend berucap lirih, “Adzkiya... Udah nikah? Itu anaknya sama Sagara? Kenapa dia kabur pas liat gue?”

Tendra terkesiap. Kedatangan Garend kembali ke Ayu Laga memang sepaket dengan akan bertemunya dia kembali dengan wanita itu. Tapi Tendra tidak menyangka akan secepat ini.

“Adzkiya...”

“Anaknya lucu Ndra. Tapi kenapa mirip gue, ya?”

“Rend, duduk dulu.”

Ruangan menjadi lengang selama beberapa saat. Tendra berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan pada Garend tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sementara Garend setia menunggu tiap kata yang akan keluar dari bibir Tendra. Bahkan dia tidak menyadari bahwa di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Tanpa Vivian dan Juwan.

“Adzkiya gak pernah balik ke Sagara, Rend.” Tendra memulai, “setelah Sagara sembuh, mereka hidup sendiri-sendiri. Adzkiya nunggu lo pulang.”

Belum ada tanggapan apapun dari Garend, laki-laki itu masih terdiam. Tubuhnya kaku, bibirnya kelu.

“Anak itu... anak lo, Rend.”

Jelas sudah. Terlampau jelas. Sudah jelas kenapa dia melihat potret masa kecilnya dalam diri anak kecil tadi.

Telinga Garend berdengung nyaring. Kepalanya pusing. Dia merasa seperti dihantam bebatuan besar. Kebenaran yang baru diterimanya benar-benar membuatnya linglung.

“Lo ngerasa dia mirip lo kan?” tanya Tendra, “ya karena itu memang anak lo, Garend.”

“Terus kenapa Adzkiya pergi pas liat gue Ndra?”

Hanya itu, hanya itu yang mampu Garend tanyakan.

Dari banyaknya pertanyaan yang menggelayut di bibirnya, hanya itu yang lolos keluar.

“Adzkiya tau lo dateng kesini sama Vivian, dia gak mau ganggu hubungan kalian.”

Sekarang, kepala Garend bukan hanya pusing, namun juga terasa mau pecah.

Selama dia pergi, Adzkiya mengandung anaknya seorang diri. Setelah anak itu lahir, Adzkiya membesarkannya seorang diri. Anak itu tumbuh dengan begitu baik, dengan artian lain, Adzkiya membesarkannya dengan baik pula. Sebagai ibu tunggal.

Sementara dirinya justru pergi ke tempat yang tak terjamah. Menjauh dari semua tanggung jawab yang seharusnya dia pikul.

Garend mengutuk dirinya sendiri karena merasa paling terluka hingga berhak melarikan diri. Tanpa dia tahu, Adzkiya terluka lebih dalam dari pada dirinya.

Namun di sisi lain, dia juga benar-benar tidak tahu bahwa saat dia pergi, Adzkiya tengah mengandung anaknya. Dia benar-benar tidak tahu apa-apa.

Semua pikiran itu hanya mampu membuatnya terdiam. Menatap lantai marmer di bawah kakinya.

Sementara itu, di balik pintu ruang istirahat yang tertutup rapat, Vivian menyandarkan punggungnya dengan lemas. Kedua lengannya terkulai di sisi tubuh. Dia runtuh. Perasannya ikut hancur.