Akhir paling baik yang bisa diberikan semesta.

Apa yang diharapkan dari jalanan Kota Bandung ketika akhir pekan selain kemacetan mengular dan bunyi klakson yang memekakkan telinga?

Namun anehnya, kota ini seakan memiliki kekuatan magnet tersendiri dimana orang-orang bahkan mengabaikan hal menyebalkan tersebut demi menghabiskan hari libur mereka di sini.

Tak berbeda dengan Baeron dan Ziena yang juga menjadi satu dari banyaknya orang yang rela berdesak-desakan di antara puluhan bahkan ratusan mobil yang berjejal di jalanan.

Mereka telah selesai membeli semua buku yang ingin Ziena beli. Gadis itu menghabiskan waktu selama hampir dua jam di toko buku bernama Togamas kemudian menghabiskan hampir tiga jam di sebuah pameran buku yang diadakan oleh Patjarmerah.

“Abis ini gantian kamu yang nemenin aku ya?”

Ziena mengangguk antusias atas perkataan Baeron. Dia melirik tumpukan buku yang diletakkan di bangku belakang sebelum kembali menatap kekasihnya.

“Makasih ya udah sabar nemenin aku milih buku hehehe. Sekarang aku ikut kemanapun kamu pergi!” ujarnya bersemangat.

Baeron hanya tersenyum tipis. Dari jalan Supratman dia kembali menembus kemacetan hingga tiba di jalan Ir. H. Juanda. Dibelokkannya mobil putih yang baru dibelinya itu ke salah satu gedung yang tampak begitu klasik.

Mereka berdua turun, Ziena mengikuti Baeron tanpa banyak bertanya. Gadis itu terlalu takjub dengan dekorasi gedung yang terlihat klasik namun memiliki kesan mewah yang kentara.

Awalnya, Ziena kira gedung ini adalah sebuah restoran yang mengusung gaya klasik modern. Namun ketika akhirnya kakinya menapaki bagian dalam gedung, dia baru mengetahui kalau gedung ini hanya dihiasi empat lukisan cantik di dindingnya. Tanpa satupun kursi dan meja selayaknya restoran pada umumnya.

“Ini tempat apa Ron? Itu lukisan siapa?”

“Liat aja,” jawab Baeron pelan.

Ziena menurut. Dia berjalan mendekat pada lukisan yang paling dekat dengannya.

Lukisan itu berukuran 60 x 90 cm. Goresan warnanya tampak abstrak, namun Ziena bisa melihat potret seorang gadis yang tengah duduk sambil membaca buku. Lalu jauh di belakang gadis itu nampak seorang pria yang sedang mengamati sang gadis dari jauh.

Di sisi lukisan, terdapat pigura kecil berisi kata-kata yang tampaknya menjelaskan arti lukisan.

Dari jauh aku tatap Dari jauh aku ratap

Inginku juga duduk disana Membahas buku yang sedang kau baca

Namun aku takut Aku takut kau takut padaku

Maka disinilah aku Mengagumi dari jauh Hingga luruh

Lalu Ziena beralih pada lukisan di sebelahnya. Lukisan itu terlihat lebih jelas dari yang sebelumnya. Namun masih dengan potret yang sama. Bedanya, pria tadi berjarak lebih dekat pada sang gadis.

Kumaki takutku Kukatai pecundangku Kupacu langkahku Mendekat Mendekat Dan mendekat

Dari lukisan itu, Ziena kembali melanjutkan pada lukisan berikutnya. Kali ini sang pria telah duduk di samping sang gadis.

Aku disini Menanti Hingga nanti Kau membuka hati Hanya untuk diri ini

Ziena mendekat pada lukisan terakhir. Sebuah lukisan yang paling besar. Terletak di tengah ruangan.

Berisi potret sang pria yang sedang berlutut di depan gadisnya.

Di sisi lukisan itu tidak lagi ada kata-kata.

Ziena berbalik, hendak bertanya pada Baeron kenapa tidak ada puisi yang menemani lukisan itu. Namun yang dilihatnya justru Baeron tengah berlutut di depannya. Dengan sebuah cincin yang mengkilap ditimpa cahaya lampu.

“Di kota ini, di kota yang menyimpan banyak kenangan tentang kita, aku ingin mengukir lebih banyak lagi kenangan dengan kamu,”

“di kota ini, di kota yang menjadikan kita satu, aku ingin memintamu untuk selamanya dengan aku,”

“di kota ini, di kota tempat pertama kali bibir kita bertemu, aku ingin memintamu menjadi pendamping hidupku.”

Ada jeda yang cukup lama sampai Baeron kembali membuka bibirnya.

“Ziena Raquel Adiguna, will you marry me?”

Ziena kehabisan kata-kata. Semuanya berjalan terlalu cepat. Potongan-potongan ingatannya tentang Baeron selama tiga tahun terkahir berputar di kepalanya seperti sebuah film romansa yang menyenangkan.

Semua potret lukisan dan kata-kata yang baru dilihatnya juga ikut berputar di sana. Semua itu... Semua itu adalah proses Baeron memasuki kehidupannya.

Ziena sudah punya jawaban di kepalanya. Namun bibirnya bergetar karena menahan air mata. Ziena tidak bisa mengucapkannya.

Maka gadis itu hanya mengangguk. Membuat perasaan cemas Baeron luruh seketika. Mengusir segala gundah dari pundaknya.

Ziena mengulurkan tangan, meminta Baeron memasukkan cincin cantik itu di jari manisnya.

Dan laki-laki itu mengerti. Diturutinya gadisnya hingga cincin itu bersemayam di jari manis gadis kecintaannya.

Mereka berpelukan. Melepaskan kebahagiaan yang meluap-luap.

Penantian panjang itu akhirnya berakhir. Dengan akhir paling bahagia yang bisa diberikan oleh semesta.