Dana Kenakalan.
Dentingan gelas menjadi penanda pesta malam itu dimulai. Beberapa botol berjajar rapih di atas meja, lengkap dengan cemilan dan kotak rokok yang tersisa beberapa batang di dalamnya. Gelak tawa terdengar memenuhi ruangan, beradu dengan suara musik kencang di lantai dansa.
Ruangan kelas atas yang dipesan Jevan cukup memuaskan kawan-kawannya. Tak perlu lagi mereka berbagi meja dengan orang asing yang tidak dikenal. Juga wanita-wanita malam yang bisa saja mengguncang kesetiaan. Disana hanya ada mereka dan tentu saja persahabatan mereka.
“Jaen, lo gak usah banyak-banyak minumnya. Ntar kalau mabuk repot,” komentar Juan terhadap Jaenandra yang kembali menuangkan cairan bening ke dalam gelas yang telah kosong.
Si pria yang dikomentari hanya menyeringai geli. “Iye Wan. Kaya Papap gue aja lo.”
“Dia lebih kaya Mommy lo gak sih Jaen? Ngomel-ngomelnya itu loh emak-emak banget.”
Gurauan Raechan dihadiahi toyoran keras pada kepalanya.
“Gue ngomel juga buat kebaikan lo-lo pada, kalian tuh ya kadang kalau otaknya lagi gesrek tingkahnya di luar nalar. Untung aja sekarang udah pada punya cewek, jadi beban gue berkurang.” Juan memberi pembelaan panjang lebar tidak terima atas tuduhan Raechan yang menganggap seperti ibu-ibu.
Jika sudah begitu, Raechan hanya akan tertawa sebagai jawaban. Tidak bisa disanggahnya lagi perkataan sahabatnya itu. Semuanya memang benar.
Sejak awal, Juan memang selalu berperan sebagai pelurus jalan semua sahabat-sahabatnya. Dia selalu menjadi orang dengan pemikiran paling logis dan tidak neko-neko.
“Lo sendiri kenapa sih Wan gak mau pacaran? Atau seenggaknya deket sama cewek deh.”
Juan mengisi gelasnya sebelum menjawab. Bunyi musik di lantai dansa semakin menggedor-gedor dinding yang memisahkan ruangan ini dengan kehidupan gemerlap di luar sana. Menenggelamkan Juan pada pikirannya sendiri.
“Kalau lo gak mau jawab gak usah dijawab Wan,” sela Markio menengahi. “kita cuma penasaran aja, selama bertahun-tahun kita temenan, lo gak pernah sekalipun deket sama cewek. Padahal yang naksir lo banyak.”
“Tujuan gue ngerantau buat sekolah, cari ilmu, cari pengalaman, gue masih ngerasa kalau pacaran cuma bakal ganggu konsentrasi gue aja.”
Jevan manggut-manggut. “Tapi lo pernah naksir cewek gak Wan? Atau tipe cewek lo yang gimanasih emang? Yang kaya Elen? Kak Kayana? Atau Ica? Atau cewek-cewek gue?”
Juan terkekeh atas pertanyaan tiba-tiba Jevan. Opsi yang terakhir benar-benar jauh dari tipikal perempuan yang dia idam-idamkan. Namun kalau harus memilih dari ketiga pacar sahabatnya itu, maka....
“Gabungan Elen, Ica dan Kak Kayana.”
plak
Untuk pertama kalinya Juan yang menjadi korban dari suara itu.
Dan pelakunya adalah Jaenandra yang sejak tadi sibuk dengan minumannya.
“Sempurna banget dong itu anjing. Gue juga mau kalau ada mah.”
“Ya makanya kan hahahahha,”
“tapi kalau harus milih satu, tipe gue yang kaya Elen sih. Dia tuh ya... ada di sebelah dia aja udah bikin kita tenang. Kayak gak usah khawatirin apa-apa lagi. Dan itu yang gue cari dari cewek yang pengen gue pacarin,” tambah Juan
“Setuju.” Raechan angkat bicara. “Makanya dulu gue gak heran Jevan sama Kak Kiyo bisa diem-diem ngerebutin Elen.”
Tiba-tiba suara Jaenandra terdengar, membuat keempat sahabatnya menatapnya dengan tanya.
“Sialan, gue kira gue doang yang mikir gitu. Kalau dulu Elen mau sama gue, gue gak akan nolak sih,” ujar Jaenandra pelan. Alkohol mulai mengambil alih kesadarannya.
“Jadi ternyata, cewek gue bikin satu geng naksir sama dia ya.”
Malam itu, dengan sedikit pengaruh alkohol, fakta baru muncul ke permukaan. Fakta yang membuat mereka terkekeh geli pada pertemanan mereka sendiri. Namun justru mengeratkan pertemanan mereka yang memang sudah kuat.
Gema tawa kembali menguasai ruangan seiring malam semakin pekat. Botol-botol mulai kosong. Suara musik di lantai dansa telah berpacu dengan teriakan euphoria. Nampaknya di luar sana pesta juga makin menggila.
“Tapi gue bersyukur sih Elen sama Kak Kiyo dan gue lebih bersyukur sekarang Ica sama gue.”
Ucapan itu adalah yang terakhir Jaenandra ucapkan sebelum di memejamkan mata. Tertidur di bahu Juan yang duduk di sebelahnya.
“Yeeee si Jaenan, udah KO aja,” komentar Juan yang juga sudah mulai tidak sadar.
“Mau tambah lagi gak?” tawar Jevan sebagai sang penanggung jawab acara malam ini. Meskipun dengan pandangan kabur, dilihatnya sahabat-sahabatnya sudah mulai teler dengan mata setengah terbuka.
Ternyata kondisi mereka sama.
Namun diujung sana, Raechan, sebagai manusia dengan tingkat toleransi kadar alkohol paling tinggi masih terlihat sadar dibandingkan yang lainnya.
“Rae, mambah gak?”
“Gak usah,” tolak Raechan. “abi..sin ini aja.”
“Oke.”
“Ini kita gimana cara bawa pulangnya nih Kak?”
Dama menatap miris pada lima orang yang sudah saling tindih terkapar tidak berdaya di atas sofa.
Lalu tatapannya teralih pada tiga orang wanita yang selama ini dekat dengan kakak kandungnya itu. Ketiga wanita itu juga nampak tidak habis pikir dengan apa yang mereka sedang lihat.
“Dama bisa nyetir kan?” tanya Kayana.
“Bisa Kak.”
“Gini aja... Dama bawa mobil Bang Jevan, nanti anter Bang Jevan sama Bang Juan ke studionya. Biar mereka tidur di sana.”
“Terus Bang Raechan gimana Kak?”
“Nanti Kak Kayana yang bawa mobil Abang, ngikutin di belakang kamu. Abis itu baru kita ke rumah. Gimana?”
Dama mengangguk menyetujui. Lalu dia kembali menatap dua teman kakaknya yang lain. “Kalau Bang Kiyo sama Bang Jaenan gimana?”
“Gue gak mau pulang!” Tiba-tiba Jaenandra bersuara nyaring, bangun dari posisi berbaringnya dengan mata yang masih terpejam. “Gue mau ke apartemen cewek gue aja! Namanya Ica! Lo tau gak Ica? Anaknya Om Tama!”
Klarisa memutar bola matanya malas, namun tetap saja dia membantu kekasihnya itu untuk bangun. “Iya, kita pulang ke apartemen cewek lo yuk yuk.”
“EMANG LO KENAL CEWEK GUE? DIH SOK KENAL!” ucap Jaenandra lagi, kali ini sambil berusaha melepaskan diri dari rangkulan Klarisa.
“Lo jangan gangguin temen gue gitu dong! Ceweknya galak tau!” Kali ini Markio yang meracau. “Ica tuh bisa nyakar! Kukunya panjang-panjang!”
“Kak Kiyo, jangan gitu ah. Ayo kita pulang juga.” Dengan sabar Jelena membantu Markio duduk, membenahi pakaian laki-laki itu bahkan mengusap wajah Markio yang basah oleh alkohol dengan tisu.
“Untung cowok lo mabuk ya El, kalau enggak, dia yang gue cakar,” ucap Klarisa gemas.
Jelena hanya terkekeh, dia membimbing Markio untuk berdiri. “Gue duluan ya. Pak Abdul udah di depan. Dama nanti hati-hati ya nyetirnya, terus nanti minta tolong pak satpam aja sekalian ambil kunci. Kamu gak akan kuat bawa mereka masuk sendirian ke dalem studio.”
“Iya Kak, siap.”
Jelena berlalu, disusul Klarisa dan Jaenandra.
Sekarang tersisa Dama, Kayana dan tiga laki-laki dengan tubuh berbau alkohol pekat.
“Rae, pulang yuk...”
“Ih jangan pegang gue! Gue udah punya cewek!”
“Rae, ini aku Kayana. Kita pulang ya?”
Raechan membuka matanya perlahan dan tersenyum senang. “Kayana? Kayana pacar aku? Cium dulu dong kalau gi...”
plak
Telapak tangan Kayana mendarat mulus di bibir Raechan. Membuat laki-laki itu meringis kesakitan.
“Dama maaf ya abang kamu jadi kena pukul.”
“Hahahah gak papa Kak. Biar gak kurang ajar.”
Lalu dengan susah payah mereka membawa ketiga pria mabuk itu untuk pulang.
Mereka bersyukur, setidaknya, sebelum benar-benar tidak sadar, Raechan sempat menghubungi Dama dan memberitahukan lokasi dan kondisinya.
Jika tidak, mereka akan membuat bingung delapan keluarga malam ini.