Hyacinth.
Lonceng yang terpasang di pintu masuk mengeluarkan bunyi saat bersentuhan dengan pintu yang dibuka dari luar toko. Adzkiya menatap ke arah sana, mendapati seorang pemuda yang berusia empat tahun lebih muda darinya. Pemuda itu datang sendirian, terlihat sayu dengan sebuah kertas lusuh dalam genggaman.
“Loh Jevan, kamu kapan sampe di Ayu Laga?” tanya Adzkiya, merasa terkejut akan kehadiran pemuda itu yang secara tiba-tiba masuk ke toko bunganya.
“Tadi malem Kak,” jawab Jevan pelan.
Lonceng di pintu masuk kembali bergerincing saat pintu kembali ditutup. Jevan melangkah mendekat ke arah counter, berhadap-dapan dengan Adzkiya.
“Kak Adzkiya, saya mau beli satu buket bunga Lily putih, ada?”
“A...da,” jawab Adzkiya canggung. Perasaan heran masih bergelayut di hatinya.
“Tunggu sebentar ya, kamu duduk dulu aja di kursi kayu situ.” Meskipun begitu, Adzkiya tetap mencoba melayani pembelinya dengan profesional. Meskipun ingin sekali dia menanyakan alasan Jevan tiba-tiba datang ke Ayu Laga. Karena setahunya, pemuda itu dan sahabat-sahabatnya yang lain lebih senang untuk datang ke rumah Klarisa di perkebunan teh.
Selama beberapa saat, tidak ads pembicaraan di antara mereka berdua. Adzkiya sibuk dengan bunga-bunganya, sementara Jevan sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesekali Adzkiya melirik Jevan yang sejak tadi menatap sebuah kertas lusuh di tangannya. Dari jarak ini, Adzkiya tidak bisa melihat isi kertas itu. Dia hanya bisa melihat bahwa kertas itu berwarna biru tua dengan tulisan berwarna emas, di sisi kanan bawah kertas terdapat foto yang sepertinya seorang laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian serba putih.
“Waktu Kak Garend ngasih undangan pernikahan ke Kak Adzkiya, perasaan Kak Adzkiya gimana?”
Bunga Lily putih yang tengah Adzkiya rangkai tergelincir dari tangannya. Seakan tersambar petir di siang yang cerah, Adzkiya begitu terkejut mendengar pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Jevan.
“Kak Adzkiya nangis gak waktu itu?” tanya Jevan lagi, meskipun pertanyaannya yang sebelumnya belum terjawab.
Adzkiya masih diam, belum berani menatap ke arah Jevan.
“Kak Adzkiya ngerasa benci gak sama Kak Garend waktu itu?”
“Jev...”
“Elen mau nikah, Kak.”
Lagi, Adzkiya kembali merasa tersambar petir. Saat masih bersama Garend, mantan kekasihnya dulu, Garend pernah bercerita bahwa Jevan, Jelena dan Markio terlibat cinta segitiga yang pelik. Sedikit banyak dia tahu bahwa kabar pernikahan Jelena adalah kabar buruk bagi Jevan.
Dan akhirnya dia jadi tahu, kertas lusuh itu adalah undangan pernikahan.
“Saya kesini sebenernya untuk nyembuhin diri. Kak Garend nyaranin saya untuk ke kaki bukit, waktu saya duduk-duduk disana, tiba-tiba saya inget kalau kaki bukit itu tempat spesialnya Kak Adzkiya sama Kak Garend dulu. Terus saya juga jadi inget kalau Kak Garend ninggalin Kak Adzkiya untuk menikah sama Kak Vivian.”
“Kamu ngerasa kalau takdir kita sama jahatnya makanya kamu dateng ke Kiya Florist?”
“Iya,” aku Jevan jujur, “saya sekalian mau tanya gimana caranya Kak Adziya berdamai sama keadaaan,” tambah Jevan lirih, selirih angin dingin yang menelisik di antara dedauan.
Adzkiya tidak langsung menjawab, dia memungut bunganya yang jatuh lalu membuangnya ke kotak sampah. Setelah itu dia lanjutkan lagi kegiatan merangkai bunganya hingga selesai.
“Gak akan pernah ada cara untuk berdamai sama keadaan kalau kamunya belum ikhlas, Jev.”
Jevan menegakkan kepalanya, menatap Adzkiya yang berdiri di balik counter.
“Jangan maksa diri kamu untuk langsung bisa berdamai sama keadaan. Terima aja takdirnya, jalanin, semuanya bakal baik-baik aja seiring berjalannya waktu. Bukan karena waktu sembuhin kamu, tapi karena waktu ngajarin kamu untuk terbiasa sama luka yang terlanjur ada di hati kamu.”
“Kalau saya tetep gak bisa lupain Elen, saya harus gimana Kak?”
“Ikhlas Jevan. Bilang ke diri kamu sendiri kalau dari awal kamu emang gak pernah ditakdirin buat dia. Dan bilang ke diri kamu sendiri kalau kamu juga harus bahagia, walaupun gak sama dia.”
“Susah Kak...”
Adzkiya tertawa kecil. Mentertawakan jawaban Jevan. Mentertawakan dirinya yang juga pernah berada di posisi Jevan.
“Kalau ikhlas ngelepasin seseorang itu gampang, gak akan ada namanya patah hati Jevan.” Ada sisa tawa dalam suara Adzkiya. “Ini bunganya udah selesai.”
Jevan menghembuskan nafas lalu bangkit berdiri dan berjalan ke arah counter.
“Berapa Kak?”
“Gak usah, bawa aja.”
Adzkiya mengulurkan bunga itu yang diterima secara ragu-ragu oleh Jevan.
“Nikmatin aja prosesnya. Kalau kata Vivian, nikmati rasa sakitnya sampai kamu sendiri muak sama rasa sakit itu. Dengan begitu, pelan-pelan, bahkan tanpa kamu sadari, kamu akan sembuh.”
Aroma bunga Lily tercium, membawa ketenangan yang aneh pada diri Jevan. Ketenangan yang mungkin juga dihasilkan oleh tiap kata yang keluar dari bibir ranum Adzkiya.
“Makasih ya, Kak. Untuk bunganya, juga untuk semua nasehatnya.”
“Kamu gak keliatan kayak Jevan yang selama ini Kak Adzkiya kenal,” gurau Adzkiya berusaha mengusir atmosfer sedih yang sejak tadi menaungi Kiya Florist.
“Tiap kali kita ketemu, kamu selalu banyak senyum, your eye smile looks so pretty. Kak Adzkiya mau liat senyumnya dong.”
Jevan tersipu, mata dan bibirnya membentuk lengkung senyum yang mendamaikan. Menarik jiwa Adzkiya untuk ikut tersenyum bersamanya.
“Nah, ini baru Jevan.” Tangan Adzkiya mengacak lembut surai Jevan. “Kamu nginep di rumah dinas Garend?”
“Enggak, saya nginep di Laga homestay.
“Oh yaudah, gih balik ke homestay, istirahat.”
Jevan mengangguk kemudian mengangguk sopan sebagai tanda berpamitan.
Namun sesaat sebelum tangan Jevan meraih pintu, Adzkiya kembali bersuara. Memanggil namanya. Disusul langkah kaki cepat menyusul Jevan.
“Kak Adzkiya gak tau bunga Lily itu buat siapa. Tapi Kak Adzkiya mau kasih bunga buat kamu.”
“Bunga apa Kak?”
Adzkiya membuka telapak tangan Jevan dan meletakkan setangkai bunga disana.
“Ini bunga Hyacinth. Maknanya I'll pray for you. Kak Adzkiya berdoa semoga keadaan hati kamu cepet membaik.”
Senyum Adzkiya malam itu menjadi penyebab nyenyaknya tidur Jevan pada malam keduanya di Ayu Laga.