Acceptance
Hembusan nafas terdengar sekali lagi sebelum Juan mematikan mesin mobilnya. Matanya lurus menatap ke arah studio Jevan dengan gugup. Seorang gadis di sebelahnya mencoba untuk meraih tangannya guna membuat tenang laki-laki itu.
“Kalau kamu belum siap kenalin aku ke mereka gak papa kok Ju. Lain kali aja aku ikut nongkrongnya, waktu kamu udah yakin kalau mereka bisa nerima aku.” Wanita itu berkata lirih, tanpa rasa kesal sama sekali. Wanita itu paham bahwa laki-laki yang kini menjabat sebagai kekasih hatinya itu telah bertahun-tahun hidup seorang diri. Dia paham bahwa pasti sulit bagi Juan untuk tiba-tiba mengenalkannya kepada para sahabat laki-laki itu.
“Bukan mereka gak bisa nerima kamu yang aku takutin Na, justru aku lebih takut kamu yang gak bisa nerima mereka.”
“Kenapa emangnya?” tanya Sienna heran.
“Kita masuk aja, nanti kamu liat sendiri.”
Sienna menurut, tanpa banyak bertanya lagi wanita itu mengikuti langkah Juan yang berjalan di sampingnya. Sayup-sayup telinganya menangkap suara ribut yang berasal dari dalam studio.
Semakin dekat langkahnya dengan pintu masuk, makin keras pula suara-suara itu bisa Sienna dengar.
“LO CURANG GUE TABOK YA RAE! LO TUH UDAH JADI BAPAK! JANGAN CURANG BEGINI DONG!”
“NGOMEL MULU LO YA GUE DENGER-DENGER DARI TADI! BUKAN GUENYA YANG CURANG, LONYA AJA YANG GAK TAU CARA MAINNYA.”
Suara-suara itu membuat Juan menggigit bibir, perasaan gugupnya makin menggila. Perlahan dia membuka pintu masuk, membimbing Sienna untuk berjalan lebih dulu.
“JEVAN IH TOLOL ITU HARUSNYA LO LOMPAT! KENAPA DIEM AJA SIH! BENER KATA RAECHAN YA, LO EMANG TOLOL!”
Sahabat-sahabat Juan sama sekali belum menyadari kehadiran mereka berdua. Mata mereka masih terpatri pada layar berukuran besar di depan mereka.
“Guys...” Juan memanggil, belum memdapat sahutan.
“JEV SINI DEH GUE YANG MAIN, GAK GUNA TAU GAK LO!”
“Guys,” panggil Juan sekali lagi, masih diabaikan.
“Awas ya lo sampe mati juga Jaen, lo yang gue tabok.”
“Iye, kalau gue bisa ampe finish, lo yang isi kulkas bulan ini ya?”
“Gampang, kalau lo mati...”
Juan kehabisan kesabaran, dia menarik lepas kabel yang terhubung pada layar TV hingga layar lebar itu mati seketika. Kebetulan, stop kontak tersebut tepat berada di sebelahnya berdiri.
“Anj....” Ucapan Jaenandra tidak selesai, dia mendapati Juan dan seorang wanita cantik tengah berdiri menatap mereka semua. “U....udah dari tadi Wan?” sambungnya kikuk.
“Kok gak kedengeran ya ada orang dateng hehehehe.” Jevan terkekeh canggung.
“Mukanya serem amat Wan... kaya Pak Wishnu waktu marahin anak LPP.” Raechan ikut berkomentar.
“Du...duk Wan. Berdiri aja kayak lagi dihukum gak ngerjain PR.” Markio menggeser duduknya dan memberi ruang pada Juan.
Sekali lagi, Juan menarik nafas. Lebih dalam dari sebelumnya. Dia benar-benar tidak habis fikir bahwa pemandangan pertama yang Sienna lihat ketika masuk ke studio Jevan adalah empat orang laki-laki menjelang akhir usia dua puluhan sedang saling memaki karena suatu permainan anak-anak, Mario Bros.
Dia sudah siap dengan kemungkinan terburuk, tapi ini tetap terasa buruk. Memang, rasa gugupnya beralasan.
“Firasat gue udah gak enak waktu mau turun tadi, taunya bener” Juan geleng-geleng, “duduk Na, aku ambilin minum.”
“AKU??!” Jevan memekik, membuat Sienna yang hendak duduk kembali berdiri tegap. Terkejut.
“Eh lo denger gak Kak, Rae, Jaen, tadi si Wawan bilang AKU? Bener gak sih? Apa kuping gue yang congek?!”
“Iya dia bilang gitu, jangan norak dong Jeeeevvv.” Jaenandra mencubit paha Jevan pelan.
“Eh duduk aja Na, Na.. Siapa ya ngomong-ngomong namanya? Nabila? Nayla? Atau... Nada dan dakwah?”
Pertanyaan Raechan membuat Sienna menyengir canggung. Matanya sibuk mengikuti Juan yang sedang sibuk mengambil minuman. Sungguh, Sienna butuh pertolongan sekarang.
“Namanya Sienna. Jangan lo jahilin anak orang, nanti kapok dibawa kesini gimana?” Dan untungnya pertolongan itu datang tepat waktu. Juan kembali dengan dua botol minum dingin di tangannya.
“Hehehe maaf, jangan kapok ya Sienna. Nanti kalau lo kapok kesini Juannya sedih, kalau sedih dia suka gigitin jempol kaki temennya soalnya. Kan kita yang repot hehehe.”
Coba tebak siapa yang berkata seperti itu?
Ya benar.
Raechan.
Sienna benar-benar tidak tahu harus berekasi seperti apa.
“Tuh yang ngomongnya ngaco banget itu yang namanya Raechan, sesuai kan sama yang aku ceritain?” Juan memilih mengabaikan celotehan Raechan dan mulai mengenalkan sahabatnya pada wanitanya.
“Kalau yang tadi dimaki-maki waktu main game itu yang namanya Jevander,” jelas Juan merujuk pada Jevan.
“Nah yang dua duduk di karpet itu namanya Markio sama Jaenandra, panggil aja Kak Kiyo sama Kak Jaenan. Kak Kiyo tuh yang dokter, inget kan aku pernah cerita kalau temen aku ada yang dokter?”
“Iya, inget.”
Sienna mendengarkan dengan baik dan berusaha mengingat.
“Salam kenal ya Kak, saya Sienna.”
“Ceilah sayaaa.... Kayak mau pidato aja, santai aja Sienna. Mau lo-gue juga boleh,” sahut Raechan asal.
“Sienna kok mau sih sama Juan? Emang gak takut?”
“Emangnya takut kenapa Kak Kiyo?”
“Ya Juan kan... galak. Mulutnya pedes, mie gacoan level delapan juga kalah.” Bukan Markio yang menjawab, tapi Jaenandra.
“Eh... Enggak kok Kak, selama ini dia manis.”
“Pantes stok gula di studio gue abis mulu, dicemilin si Wawan sebelum ketemu sama Sienna ternyata.”
Sungguh, Juan ingin mengeplak kepala sahabat-sahabatnya saat ini juga.
Sementara Sienna menahan tawanya mati-matian. Sejak tadi, hampir semua yang keluar dari mulut sahabat kekasihnya itu benar-benar perkataan ngawur.
“Yang lain pada kemana, Nyet? Kayanya cewek gue bakal lebih aman kalau ada mereka.”
“Ceilah cewek gue... Iya sih yang punya cewek... Sebut teroooossss...” Bukannya menjawab, Raechan justru meledek.
PLAK
Dan tentu saja, ledekan itu ada konsekuensinya.
“Ih sakit anjing!”
“Jawab yang bener makanya,” jawab Juan santai.
“Bini gue lagi jemput Gio les, bininya Kak Kiyo sama Jaenan ngikut. Tau deh ngapain juga ikut, heraaan, cewek demen bener pergi gerombolan.”
PLAK
Kali ini suara itu datang dari tangan Jaenandra.
Namun korbannya tetaplah Raechan.
“Sakiiittt tolollll.”
“Bini gue nemenin Kak Kayana karena lakinya malah lebih milih ngegame dari pada jemput anaknya ya, Njing.”
“Hehehe, bener juga.”
Tawa Sienna tak terbendung lagi, tawanya menggema memenuhi studio Jevan. Pertengkaran kekanak-kanakan yang ada di hadapannya sekarang sungguh menghibur.
Juan sering kali bilang bahwa sahabat-sahabatnya gila. Namun melihat kegilaan itu secara langsung seperti ini terasa lebih menyenangkan.
Sienna jadi tahu dari mana sikap menyenangkan Juan berasal.
“Sekarang udah tau kan kenapa aku lebih takut kamu yang gak bisa nerima mereka?”
Masih dalam sisa-sisa tawanya, Sienna mengangguk. “Tapi mereka menyenangkan kok Ju, aku seneng ada disini.”
“Yakin? Gak mau pulang aja?”
“Iya yakin, kita tunggu sahabat-sahabat kamu yang lain pulang ya. Aku juga mau kenalan sama Sergio.”
“Oke kalau gitu.”
“Yeee bisik-bisik aja kayak lagi di perpus.” Raechan kembali bersuara. “Cewek lo sukanya makan apa Wan? Biar kita pesenin makan. Pesta penyambutan.”
Di sudut ruangan, Juan bisa melihat Markio tengah menghubungi seseorang melalui sambungan telepon.
“Iya kamu langsung ke studio Jevan aja lagi ya Sayang. Juan mau ngenalin seseorang yang spesial nih, bilangin ke yang lain ya.”
Senyum Juan melebar. Dia senang.
Dia senang Sienna memahami sahabat-sahabatnya dengan cepat.
Dan dia senang, sahabat-sahabatnya menerima Sienna dengan riang.
“Kayak yang biasa kita pesen aja, Rae.”
“Oke.”