Satu hari yang menjelma menjadi selamanya.
Ayu Laga tidak pernah berubah, sedikitpun. Bahkan ketika tahun terlewat, dunia berkembang, gedung-gedung mencakar langit, Ayu Laga tetap sama. Pinggiran kota itu tetap pada keasrian dan kesantunannya. Berkiblat pada dinginnya bukit-bukit yang juga tetap berdiri kokoh tak terusik.
Lalu bagaimana mungkin Adzkiya berubah ketika kota kecil yang ditinggalinya itu tidak juga berbenah? Bagaimana mungkin Adzkiya berubah ketika kota yang menyimpan segalanya tetap secara utuh memeluk segala hal itu?
Maka disinilah Adzkiya, di sisi Ayu Laga yang paling dia cintai. Beratap awan, beralas rerumputan, dihibur kicau burung dan ditemani ribuan dandelion. Bahkan untuk seribu tahunpun, Adzkiya ingin tetap berada di sini.
“Maaf gue telat, operasinya lebih lama dari yang gue kira.”
Suara itu datang bersamaan dengan sosok yang terlihat segar usai mandi. Pakaian dinasnya telah laki-laki itu ganti dengan kemeja berwarna biru tua dan celana jeans berwarna lebih terang. Dari tempatnya duduk, Adzkiya bisa mencium aroma familiar yang sangat dikenali indera penciumannya.
“Makasih udah mau dateng kesini Rend,” ucapnya lirih.
Garend mengangguk seraya tersenyum. Kemudian ikut duduk di samping Adzkiya. Matanya menatap lurus ke arah ladang dandelion yang tidak ternilai luasnya.
“Sesuai janji gue, untuk hari ini lo boleh nanya apapun yang pengen lo tau Ki. Segala hal, gue akan jawab sejujur yang gue bisa. Tanpa nyembunyiin apapun lagi.”
Ada jeda yang cukup panjang. Adzkiya menimbang-nimbang pertanyaan apa yang harus pertama kali dia tanyakan. Gadis itu tidak ingin salah langkah dalam kesempatan baik ini. Gadis itu tidak ingin mengacaukan kesempatan yang didapatnya dengan susah payah ini.
“Kalau yang lo temuin di tempat volunteer bukan Vivian, apa lo juga bakal jatuh cinta sama perempuan itu?”
Angin berhembus melewati keduanya. Menerbangkan beberapa biji dandelion dengan sayap tipisnya. Menari bersama helai rambut Adzkiya dan Garend. Membawa aroma basah dari perbukitan.
Memberi Garend waktu untuk berpikir.
“Enggak, kalau perempuan itu bukan Vivian, gue gak akan jatuh cinta sama dia. Meskipun gue ketemu dia di tempat yang sama, waktu yang sama dan keadaan hati yang sama.”
Adzkiya tersenyum.
Garend menepati janjinya.
Garend menjawab sejujur yang dia bisa.
Tanpa menutupi apapun lagi.
Meskipun itu menyakiti hati Adzkiya.
“Lo nyesel gak, pernah ketemu gue?”
Ada tawa yang terdengar samar kala pertanyaan itu terlempar dari Adzkiya.
“Gue nyesel karena waktu pertemuan kita gak tepat Ki.”
Garend menjatuhkan pandangannya pada manik mata Adzkiya.
“Gue gak nyesel ketemu lo, tapi gue nyesel ketemu sama lo di saat semuanya terlalu berantakan buat kita.”
Adzkiya diam. Matanya menjelajah wajah yang kini berada di hadapannya.
Kening.
Hidung.
Bibir.
Dagu.
Dulu, semua itu miliknya.
Dulu, dia bisa dengan berani menyentuh mereka dengan tangannya. Bahkan bibirnya.
Tapi kini, menatapnya saja membuat Adzkiya merasa berdosa.
Maka dia memalingkan wajah. Kemabali menatap dandelion yang bergoyang-goyang seirama.
“Lo hancur banget ya Rend waktu pergi dari Ayu Laga? Apa itu artinya saat itu lo sayang banget sama gue?”
Garend mengangguk meskipun Adzkiya tidak melihatnya.
“Waktu itu, lo satu-satunya perempuan yang ada di hati dan otak gue Ki. Waktu itu, gue udah punya berbagai rencana yang gue susun untuk masa depan kita. Ayah, Bunda, Ica bahkan Uwu ada di pihak kita. Rasanya saat itu, dunia bener-bener kasih tunjuk kalau lo emang satu-satunya wanita yang Tuhan takdirkan untuk gue. Perasaan yang gue punya untuk lo jauh dari kata sayang...”
“dan ya, gue hancur Ki. Jelas aja gue hancur waktu lo lebih memilih buat pergi sama Sagara tanpa bilang apa-apa sama gue. Gue juga ngerasa hancur karena ternyata Sagara gak seperti yang kita pikir. Segalanya terjadi terlalu cepat sampai gue gak bisa mikirin hal lain selain hati gue yang hancur.”
Adzkiya membiarkan jawaban-jawaban Garend memenuhi telinga dan otaknya.
“Saat itu yang gue mau cuma pergi dari Ayu Laga secepatnya. Sebelum lo kembali. Karena gue tau, ketika lo ada di depan gue lagi, gue gak akan bisa nahan diri untuk berusaha bikin lo jadi milik gue lagi. Gue sekacau dan sesayang itu sama lo saat itu Ki.”
Garend mengakhiri kalimatnya dengan hembusan nafas panjang.
“Saat lo kasih gue waktu tiga bulan untuk bikin lo jatuh cinta sama gue lagi, apa saat itu lo juga berharap kalau perasaan itu masih bisa ada lagi?”
“Iya,” jawab Garend cepat. “saat itu gue juga berharap kalau gue bisa cinta sama lo lagi Ki. Seperti dulu. Karena sejujurnya lo juga masih ada di salah satu sudut hati gue. Bahkan Vivian tau itu, makanya dia juga kasih kita waktu.”
“Tapi ternyata gagal ya Rend? Perasaan itu ternyata cuma perasaan bersalah karena ternyata gue nungguin lo ya selama ini?”
Garend diam. Karena jawabannya adalah ya. Dan dia terlalu takut untuk menjawab. Dia tau jawaban itu akan melukai Adzkiya, lagi.
Namun Adzkiya juga tidak bodoh. Diamnya Garend adalah jawaban. Dia tau itu.
“Menurut lo, kalau waktu itu gue gak pergi nemenin Sagara, apa kita bakal masih sama-sama?”
Garend menggeleng cepat.
“Enggak, gue rasa hasil akhirnya akan tetap sama Ki. Meskipun saat itu lo gak nemenin Sagara, meskipun saat itu gue gak pergi dari Ayu Laga, gue yakin Tuhan punya cara lain untuk nunjukin kalau kita emang bukan untuk satu sama lain.”
Semburat oranye mulai menyapa. Menghantarkan burung-burung ke peraduan. Mengundang bulan untuk datang.
“Apa lo ngomong ini supaya gue lebih mudah nerima keadaan Rend?”
“Enggak, Vivian pernah bilang kalau penerimaan itu gak bisa dari luar, harus dari dalam. Jadi itu semua tergantung sama lo Ki.”
Matahari makin tergelincir dari tahtanya. Semburat oranye perlahan memudar, terganti temaramnya cahaya bulan. Adzkiya bangkit lebih dulu, merasa diusir waktu.
“Thanks for today, makasih udah jawab semua pertanyaan, sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya.”
“Are we good now?“
Garend ikut bangkit, membersihkan bagian belakang tubuhnya dari rumput yang menempel.
“Yes we are.“
Mereka saling melempar senyum sebelum akhirnya berpisah di tepi jalan. Garend berjalan ke arah mobilnya dan Adzkiya berjalan ke arah sepedanya.
Petang itu, mereka yang sempat menjadi rumah bagi masing-masing kini menuju rumah mereka masing-masing.
Garend pulang ke pelukan Vivian.
Dan Adzkiya pulang ke pelukan kesepian.