Perayaan

Studio Musik milik Jevander Novanda, pukul delapan malam.

Tiga jam setelah acara pertunangan Jevander Novanda dan Adzkiya Judith Hartoni.

Juan duduk seorang diri di studio Jevan, hanya berkawan sebotol minuman beralkohol yang sudah dia tenggak setengahnya. Ruangan itu gelap, sebab Juan dengan sengaja tidak menyalakan satupun lampu. Wajah tampan Juan hanya samar-samar diterangi lampu dari rumah lain yang menelisik masuk melalui jendela kaca yang tidak tertutupi tirai. Deru nafas Juan menjadi satu-satunya lantunan suara di sana. Bahkan suara dari mesin pendingin juga tidak ada.

Sudah sekitar satu jam Juan bertahan seperti itu. Hanya sibuk menuang kembali cairan kenikmatan setelah menenggak habis isi dalam gelasnya.

Siapapun yang melihat keadaan laki-laki itu saat ini akan merasa iba, atau paling tidak, mereka yang melihatnya akan merasa tersentuh. Juan terlihat seperti seseorang dengan seribu masalah di kepalanya. Padahal, perasaan hati Juan berbanding terbalik dengan segala kemurungan yang menyelimuti studio Jevan malam itu.

Hati Juan sedang bungah. Senyum tipis tidak meninggalkan wajahnya sejak tadi. Dadanya lega, beban di pundaknya sudah runtuh. Hidupnya terasa hampir sempurna sekarang ini.

Bagaimana tidak, hari ini, atau lebih tepatnya sore tadi, sudah dilangsungkan acara pertunangan dari sahabat karibnya bersama seorang gadis yang begitu cantik dibalut gaun berwarna biru tua. Dua orang itu, yang telah lama Juan nantikan kebersamaannya, telah merengkuh satu lagi tahap dalam hubungan mereka. Juan masih ingat sekali betapa mata Jevan berbinar kala laki-laki itu berhasil menyematkan cincin di jari manis Adzkiya, disaksikan oleh ayahnya sendiri yang dulu menentang hubungan keduanya.

Kebahagiaan macam apa lagi yang bisa Juan minta pada Tuhan setelah menyaksikan perayaan membahagiakan itu? Rasa-rasanya, segala tangis yang membentur bumi dan doa yang dia langitkan telah terbayar tuntas. Juan tidak pernah sebahagia dan selega ini sebelumnya.

Malam ini, seorang diri di studio yang menjadi saksi banyak hal dalam hidupnya, Juan merayakan segalanya. Dia memang duduk seorang diri, tapi dia tidak merasa kesepian. Dia tetap merasakan kehadiran sahabat-sahabatnya yang kini telah bersanding dengan pasangan hidup mereka masing-masing.

Markio bersama Jelena.

Raechan bersama Kayana.

Jaenandra bersama Klarisa

Dan Jevan, sahabat terdekatnya, sahabat yang dulu dia wakilkan tangisannya, telah berhasil bersanding dengan Adzkiya.

Juan bahagia, untuk mereka semua, dan untuk dirinya sendiri.

Suara dentingan yang terjadi akibat botol yang berbenturan pelan dengan bibir gelas kembali menggema, memecah keheningan dalam studio Jevan. Sekali lagi rasa pahit dan panas menjalari tenggorokan seorang Alexander Parajuan. Kepalanya makin ringan, tubuhnya seperti melayang. Laki-laki itu lantas menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan memejamkan mata.

Tidak lama berselang, terdengar suara pintu terbuka berbarengan dengan suara langkah kaki yang berjalan mendekat. Juan terlalu malas untuk membuka mata sebab dia tahu benar siapa yang datang.

“Calon pengantin harusnya di rumah nemenin calon bini, ngapain malah kesini, sih?” tanya Juan sambil tepat memejamkan kedua matanya.

Sosok yang ditanyai tidak menjawab apapun. Juan merasakan kehadiran sosok itu semakin dekat dan duduk di sebelahnya.

“Kak Kiya dipatok ayam baru tau rasa lo, Jep. Jangan ditinggal-tinggal gitu ah,” ucap Juan lagi.

“Kamu kenapa sendirian di sini, Juan?”

Suara itu...

Berbeda sekali dengan suara seorang Jevander Novanda.

Suara itu...

Suara itu...

“Saya kira kamu pulang ke rumah, ternyata kamu disini. Teman-teman kamu masih bersenang-senang di rumah Jevan.”

Ya, suara itu. Suara yang bak lantunan nada menenangkan. Suara yang akhir-akhir ini Juan jadikan sebagai suara paling dia gemari di seluruh dunia.

“Kenari....” Juan berucap lirih, kedua mata laki-laki itu akhirnya terbuka sempurna. Menyambut tatapan mata Kenari yang lebih dulu tertaut pada sosoknya. “Kamu kok kesini?”

“Tadi saya heran kenapa kamu tiba-tiba menghilang setelah acaranya selesai, jadi saya tanya teman-teman kamu apakah kamu pulang lebih dulu karena ada sesuatu yang mendesak. Tapi Jevan bilang bahwa kamu pasti ke studio ini, jadi saya berfikiran untuk menyusul kamu. Maaf kalau saya lancang datang kesini.”

“Oh enggak...” Juan menggeleng cepat, dia juga menyentuh kedua tangan Kenari dan mengelusnya pelan. “Saya yang harusnya minta maaf karena sudah meninggalkan kamu di sana. Seharusnya saya antar kamu pulang, maafkan saya, Kenari. Tadi saya terlalu terbawa suasana dan...”

“Sssttt.” Satu tangan Kenari lolos dari genggaman Juan dan salah satu jarinya mendarat di atas bibir Juan. Memberhentikan segala apapun penjelasan yang coba diberikan.

Kenari mengerti, tanpa perlu penjelasan lebih lanjut lagi. Memang belum lama baginya mengenal Juan, tapi intensitas pertemuan dan berbobotnya obrolan mereka membuat Kenari begitu cepat memahami apa yang tengah Juan rasakan. Kenari faham, bahwa laki-laki yang sedang ada di hadapannya ini tengah terbawa euforia dan rasa syukur yang mendalam hingga dia sendiripun bingung bagaimana cara melampiaskannya selain duduk seorang diri di ruangan gelap ini, sementara kawan-kawannya yang lain tengah berpesta.

Hati Juan begitu lembut dan hangat. Menjadikan dia laki-laki yang perasaannya lebih dalam. Maka, tidak mengherankan kalau kebahagian Juan menyaksikan Jevan bertunangan dengan kekasihnya justru lebih besar dari kebahagiaan Jevan sendiri.

“Saya boleh lihat-lihat studio ini, Juan?” Kenari bertanya untuk mencairkan suasana.

Satu anggukan Juan membuat senyum Kenari mengembang. Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke saklar lampu. Saat bunyi tik terdengar, ruangan seketika terang benderang. Kenari bisa melihat keseluruhan studio Jevan secara keseluruhan.

Ruangan itu luas dan terbagi menjadi dua sisi. Sisi yang sedang diisi olehnya dan Juan ini mirip dengan ruang keluarga yang nyaman, sementara sisi yang satu lagi adalah sebuah ruangan berisi berbagai perlatan musik. Kenari mendekat ke arah sebuah meja panjang yang berisi berbagai souvenir. Mengambil salah satu miniatur mainan di sana dan memainkannya di telapak tangannya yang cantik.

“Itu oleh-oleh yang dibawa Jepan saat dia solo traveling ke Korea dua tahun lalu.” Juan menjelaskan tanpa diminta, ikut mendekat ke tempat Kenari berdiri.

“Saya selalu penasaran dengan isi studio yang selalu kamu ceritakan ini, Juan.”

“Tidak ada yang istimewa,” jawab Juan pelan. Menyembunyikan degub jantungnya sendiri. Kesadarannya tinggal delapan puluh persen, dan berada di ruangan tertutup seperti ini berdua saja dengan Kenari membuatnya sedikit gugup.

“Ada,” balas Kenari dengan lugasnya.

Juan menyerngit, “Apa?”

Kenari tidak langsung menjawab, gadis itu terkekeh ringan sembari meletakkan kembali miniatur mainan yang diambilnya tadi. Gadis itu lalu berbalik, menghadap Juan dan menyandarkan bagian belakang tubuhnya pada sisi meja. “Kamu, Juan, kamu yang istimewa.”

Mendengar apa yang dikatakan Kenari, Juan hampir tersedak air liurnya sendiri. Wajahnya memerah, perpaduan alkohol yang menyerang kesadarannya dan rasa tersipu atas perkataan Kenari. Sementara gadis itu terlihat tenang-tenang saja.

“Saya?” tanya Juan berlagak bingung. Tangan kanannya menggaruk bagian belakang kepalanya yang sebetulnya sama sekali tidak gatal.

“Kamu gak merasa diri kamu istimewa, ya?”

“Saya...”

“Padahal orang-orang di sekitar kamu merasa kamu sangat istimewa.” Senyuman menghiasi tiap kata yang keluar dari bibir Kenari. “

“Di rumah Jevan tadi, teman-teman kamu gak berhenti memuji bagaimana kamu selalu ada untuk mereka. Mereka membicarakan kamu yang menggantikan tangis Jevan, kamu yang berlutut untuk memohon ke ayahnya Jevan, kamu yang hampir dipecat sebab mengambil cuti terlalu lama untuk menjaga Jevan di rumah saki. Tentang kamu yang menenangkan Kak Markio saat dia merasa bersalah soal Jevan dan Jelena, kamu yang bilang pada Jelena bahwa keputusan yang dia ambil adalah benar, dan kamu... yang selalu ada di antara Jaenandra dan Klarisa tiap kali mereka bertengkar. Kamu istimewa Juan, lebih dari siapapun untuk teman-teman kamu, terutama untuk Jevan.”

“Saya melakukannya karena saya menyayangi mereka dan saya ingin mereka bahagia.”

“Bagaimana dengan kebahagiaan kamu sendiri?” potong Kenari cepat.

“Saya bahagia melihat mereka bahagia, Kenari.”

Sebelah tangan Kenari terangkat, menyentuh sisi wajah Juan yang tepat berada di hadapannya. “Kamu bisa menambah kebahagiaan kamu itu dengan mencari kebahagiaan kamu sendiri, Juan.”

“Kamu boleh bahagia dengan melihat mereka bahagia, tapi jangan lupakan kebahagiaan kamu sendiri.” Ibu jari Kenari mengelus pelan pipi Juan. “Kamu juga sangat berhak bahagia.”

Mata Juan terpejam, menikmati bagaimana sentuhan Kenari membawa kehangatan dalam dirinya. Bagaimana halusnya telapak tangan Kenari bersentuhan dengan sisi wajahnya. Tanpa sadar, Juan memajukan tubuhnya, mengikis jarak yang ada di antara mereka.

Sentuhan itu semakin terasa. Dalam ingatannya, Juan memutar memori kebersamaannya dengan gadis yang ada di hadapannya ini. Momen mereka bertemu, momen mereka bercanda, momen ketika mereka tertawa bersama dalam perjalanan pulang... Momen-momen itu, kebersamaan itu, Juan ternyata sudah menemukan kebahagiaan lain selain kebahagiannya karena sahabat-sahabatnya.

“Aneh... Sekarang saya bahagia, saya bahagia untuk diri saya sendiri.” Juan berucap masih dengan mata tertutup, tapi sebelah tangannya sudah menangkup telapak tangan Kenari yang masih setia berada di sisi wajahnya.

“Juan, lihat saya.”

Sekali lagi, mata mereka bertautan.

“Kamu bilang apa tadi?”

“Saya bahagia, Kenari. Saya bahagia untuk diri saya sendiri, saat bersama kamu.”

Juan membawa jemari Kenari turun dari sisi wajahnya sementara satu tangannya yang lain menyentuh sisi belakang kepala Kenari. Laki-laki itu mendaratkan satu kecupan di kening Kenari, menahannya cukup lama hingga tanpa sadar sebutir air matanya turun. Juan bahagia, untuk dirinya sendiri malam ini.

Kecupan itu turun, menelusuri tiap inci wajah Kenari dan mendarat pada bibirnya yang ranum. Bibir Kenari yang terbuka perlahan menjadi jawaban dari pernyataan Juan. Tidak perlu kata-kata, mereka telah saling memahami lewat gerak tubuh masing-masing.

Juan mengangkat tubuh Kenari untuk duduk di meja, membuat beberapa souvenir berjatuhan ke atas karpet di bawah kaki Juan. Tidak mengapa, itu urusan nanti. Ada kebutuhan lain yang saat ini sedang mendesak.

Suhu ruangan tiba-tiba meningkat saat kecupan itu berubah menjadi lumatan panjang. Jas yang dikenakan Juan telah menyusul souvenir yang berjatuhan. Dasinya juga sudah entah terlepas kemana. Sementara Kenari, rambutnya yang ditata rapi, kini telah rusak.

Entah berapa lama mereka saling mencecap hingga akhirnya melepaskan ciuman itu dan tersenyum sambil saling pandang. Nafas mereka beradu, bibir mereka sedikit bengkak kemerahan, sementara mata mereka dipenuhi hasrat saling mendamba.

“Ingin mencoba sofa di studio ini?” Juan bertanya dengan sebelah alis terangkat.

“Ranjang di ujung sana sepertinya akan membuat kita lebih leluasa,” jawab Kenari sembari melingkarkan lengannya pada leher Juan.

Tawa Juan menggema dan dalam sekali hentakan, laki-laki itu membawa tubuh Kenari dengan kedua lengannya dan membawa gadis itu ke tempat yang diinginkan.

Hari itu, ada perayaan kecil di studio Jevander Novanda.