Replace.
Lobi apartemen itu luas, luas sekali. Lengkap dengan penerangan maha dahsyat, membuat segala hal yang ada di sana tampak berkilauan. Lantai marmer memantulkan bayangan chandelier megah yang menggantung di tengah ruangan. Ruangan itu lengang, tidak ada siapapun selain mereka berdua.
Pintu kaca setinggi dua kali tubuhku menjadi penghalang aku dan mereka. Dari tempatku berdiri, aku hanya bisa secara samar mendengar lantunan suara mereka yang saling bersahutan. Sosokku yang tersembunyi di balik tiang penyangga di dekat pintu kaca memungkinkan mereka untuk sama sekali tidak menyadari kebedaraanku. Belum lagi, percakapan mereka yang terlampau penting, menggerus sepenuhnya eksistensiku di sini.
“Jangan pergi, Jev, kita masuk ke unit lo aja, ya?” Suara itu rendah dan lembut, makin sulit terdengar oleh runguku.
Aku menajamkan pandangan, berusaha menangkap ekspresi sosok pria yang dipanggil “Jev” oleh gadis cantik dalam balutan gaun hitam selutut itu.
“Gue mau aja masuk ke unit gue sama lo, tapi cewek gue nungguin gue, El.”
Salah satu sudut bibirku terangkat. Entah karena merasa geli atau tersinggung. Yang pasti, aku sama sekali tidak merasa senang meskipun bibirku menyunggingkan senyum.
“Lo bisa telfon Kak Kiya dan bilang tiba-tiba lo ada meeting.” Jelena, gadis bergaun hitam itu meraih sebelah tangan Jevan— yang tidak lain adalah kekasihku.
Jevan sama sekali tidak berekasi, yang artinya tidak juga berusaha menepis sentuhan itu.
“Nanti kalau Kak Kiyo cari lo gimana, El?”
Negosiasi itu masih berlanjut. Mata mereka masih saling bertaut. Dan eksistensiku masih belum dirasa.
Aku mulai berfikir, apakah sebaiknya aku masuk saja ke dalam sana? Menyadarkan mereka bahwa sejak tadi aku ada? Tapi untuk apa? Untuk menunjukkan pada Jelena bahwa laki-laki yang sedang diajak bicara olehnya, sebetulnya sedang dalam perjalanan untuk menemuiku? Atau untuk menyadarkan gadis itu bahwa laki-laki yang ada di hadapannya ini bukanlah lagi laki-laki yang dulu bertekuk lutut padanya?
Tapi aku rasa tidak ada gunanya aku melakukan itu semua. Bukan aku, bukan aku yang punya kuasa untuk itu. Jevan lah yang seharusnya menegaskan semua hal itu pada gadis yang dulu, atau bahkan hingga sekarang, ada di hatinya itu... bahwa sekarang dia adalah milikku.
Seharusnya Jevan menepis genggaman itu dan bilang bahwa dia harus buru-buru, sebab aku, kekasihnya, tengah menunggunya di terminal bus.
“Gue gak perduli, malem ini gue butuh lo, Jev.” Getaran dalam suara Jelena mengiris hatiku.
Tidak, aku tidak sedang menaruh empati pada gadis itu. Hatiku seakan terisis sebab aku tahu, getaran dalam suara itu hanya akan membuat Jevan lupa pada keterburu-buruannya. Tatapan mata yang sendu itu juga hanya akan membuat kaki-kaki Jevan seakan dibubuhi magnet hingga dia sulit beranjak.
Eksistensiku yang tadi tak terlihat, kini hangus sepenuhnya. Hilang. Terlupakan. Tergerus tatapan memohon dan haus pelukan yang Jelena tampakkan.
Aku memaki diriku sendiri. Seharusnya aku diam saja di kursi tunggu terminal bus seperti beberapa saat lalu. Setidaknya, jika aku tetap ada di sana, aku tidak akan menyaksikan ini semua. Setidaknya, jika aku tetap ada di sana, aku hanya akan membaca pesan dari Jevan yang berisi informasi bahwa dia tidak bisa menjemputku sebab dia ada keperluan yang jauh lebih penting.
“Gue mohon, Jev, jangan pergi. Gue butuh lo, gue butuh lo malam ini.”
Jevan menghapus jarak antara dirinya dan Jelena. Membawa gadis cantik itu masuk dalam dekapannya yang hangat. Sedetik kemudian, lengan putih Jelena juga merambat naik. Mengunci tubuh Jevan agar tidak menjauh.
Setetes air mata mengalir dari sudut mataku, bergulir menuruni pipi lalu jatuh membentur lantai. Bunyinya jauh lebih nyaring dari pada bisikan Jevan untuk Jelena malam itu.
“Yaudah, kita masuk ke apartemen gue, ya? Jangan nangis lagi.”
Tubuhku kaku. Udara malam itu berhembus melewati juntaian rambutku dan terasa menggelitik kuduk. Bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Bulir air mata pertama yang jatuh dengan segera mengundang kawan-kawannya yang lain. Pandangaku kabur. Kepalaku nyeri.
Rasanya tidak ada lagi tulang yang menopang kedua kakiku. Lututku keropos. Aku jatuh terduduk di lantai dingin. Menggigil sendirian.
Sementara di sana, kekasihku, yang dengan bibirnya sendiri berkata bahwa dia mencintaiku, justru membimbing gadis lain untuk masuk ke dalam unit apartemennya. Melupakan janjinya kepadaku, sepenuhnya.
Bodoh, aku memaki diriku sekali lagi.
Hanya orang bodoh macam aku yang mau mempercayai ucapan cinta dari seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya, macam Jevander Novanda.
Dungu.
Aku terlalu dungu untuk mengerti peringatan dari sahabatku yang bilang bahwa laki-laki hanya bisa jatuh cinta satu kali semasa hidupnya dan cintanya akan habis di sana.
Jevan hanya mencintai Jelena. Hanya Jelena. Sampai kapanpun.
Tidak perduli bahwa aku telah memberikan diriku sepenuhnya untuknya. Tidak perlu bahwa aku juga mati-matian menaklukan semua ketakutanku untuk memulai hal yang baru lagi dengannya.
Jevan tidak akan perduli. Yang dia perdulikan hanyalah Jelena Ayunanda Iskandar.
Seperti malam ini.
Jevan tidak akan perduli bahwa aku menunggunya di terminal bus. Yang dia perdulikan hanya Jelena membutuhkan pelukannya malam ini.