#
Ayu Laga. Ayu Laga. Selamat Datang di Ayu Laga.
Pernah merasa penasaran akan sebuah tempat yang selama ini hanya bisa dibayangkan lewat rangkaian kata yang terlahir dari kemahiran seorang penulis? Pernah menerka-nerka apakah benar ada sebuah tempat yang digambarkan keelokannya bak negeri dongeng? Pernah ingin mengunjungi sebuah tempat yang kemahsyurannya hanya diketahui oleh segelintir orang?
Jika pernah, aku, kamu dan kita semua, pasti lah bisa membayangkan perasaan seorang Gentala Harold Hastanta saat ini. Rasa penasarannya sudah sampai ke ubun-ubun. Menggelitik egonya untuk mendobrak saja sebuah tembok imajinasi seorang penulis yang karyanya berada di rak “Sepuluh Besar Buku Terlaris” di seluruh toko buku di negara ini.
Gentala selalu bertanya-tanya, bagaimana bisa hanya melalui rangkaian abjad yang dirajut menjadi kata, seorang penulis bisa membawa kita ke sebuah wilayah antah brantah melalui isi kepala kita sendiri? Bagimana bisa seorang penulis selalu berhasil membuat kita membayangkan sebuah lokasi dimana mata kita sendiri pun belum pernah menangkap rupanya?
Betapa ajaibnya serangkaian kata yang lahir dari lapangnya hati seorang penulis, sehingga kita, orang-orang yang menikmati karyanya, seakan bisa diajak masuk ke dalam skenario yang mereka tulis.
Memiliki pekerjaan sebagai seorang aktor, menjadikan Gentala seseorang yang harus merasuki setiap tokoh yang harus diperankan olehnya. Menjadikan dia seseorang yang harus piawai menata raut muka sesuai dengan perasaan tokoh yang dituliskan dalam naskah, agar pesan dalam cerita dapat sampai pada penikmatnya. Agar tokoh yang dimainkannya terasa hiduo. Ada kalanya, Gentala bahkan lupa mana dirinya yang asli. Perasaan tokoh-tokoh yang diperankannya sedikit banyak mempengaruhi emosinya di dunia nyata.
Karenanya, Gentala selalu merasa takjub pada setiap penulis yang berhasil menghidupkan seorang tokoh dan menggambarkan sebuah imajiner tanpa perlu membawa rupa pada selembar kertas putih tanpa dosa. Hanya lewat kata-kata, seseorang bisa dianggap hidup. Dicintai. Dicaci. Dimengerti. Dibenci. Hanya lewat kata-kata. Hanya lewat kata-kata.
Ayu Laga. Selama ini, Gentala hanya mampu membayangkannya di dalam salah satu ruang di kepalanya. Tidak pernah disangka olehnya, bahwa Ayu Laga, yang dalam angan-angannya, adalah sebuah tempat yang elok, memang benar begitu adanya. Ayu Laga, sebuah desa kecil di mana bukit menjadi pagarnya dari dunia luar. Sungai kecil menggeliat di bawah jembatan kayu yang cantik. Ribuan hektar kebun teh berbatasan langsung dengan birunya awan. Ayu Laga adalah sebenar-benarnya peradaban dimana keindahan alam dijunjung tinggi oleh warganya.
Tidak pernah sekali pun Gentala berani membayangkan bahwa suatu hari kedua kakinya akan benar-benar berpijak di atas tanah Ayu Laga. Hidungnya akan benar-benar menghirup udara Ayu Laga. Matanya akan benar-benar menyaksikan sendiri keelokan Ayu Laga.
Hari ini seperti mimpi. Dimana Gentala seakan tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Pria itu berani mengutuk siapa pun yang berani membangunkannya dari mimpi indah ini. Gentala ingin di Ayu Laga. Selama yang dia bisa. Selama-lamanya, jika boleh.
“Kamu mau berdiri disitu aja? Atau mau ikut saya jalan-jalan?”
Suara itu memecah kekaguman Gentala akan Ayu Laga. Diseretnya kedua bola matanya dengan sedikit enggan ke arah gadis yang membawanya datang ke tempat ini. Tatapan gadis itu teduh dan tenang. Begitu sabar menunggui Gentala yang belum juga habis rasa takjubnya akan desa kecil ini.
“Kalau kamu masih mau di sini, silakan. Nanti kamu bisa—”
“Saya ikut kamu, Sabitha. Kita kemana?”
“Kaki bukit. Mau lihat tempat favorite Garend dan Adzkiya, kan?”
Satu anggukan dari Gentala membuat Sabitha melangkahkan kakinya lebih dulu. Membelah jalanan Ayu Laga yang berbatu. Menyapa satu-dua warga desa yang sedang sibuk mengisi keranjang rotan di gendongan mereka masing-masing. Mengajari Gentala bagaimana caranya hidup di Ayu Laga, sebagai warga desa yang menjunjung tinggi ramah-tamah.
Gentala mengekori Sabitha. Ikut menunduk sopan saat melihat penulis itu menyapa warga. Ikut tersenyum lebar saat beberapa ibu-ibu membalas sapaan dengan lambaian tangan.
Lama mereka berjalan. Dari ujung selatan desa menuju ke barat. Gentala tidak menghitung detiknya, yang pasti, jarak itu cukup untuk membuat betisnya pegal— hampir kebas bahkan. Namun tampaknya, gadis yang dia ekori sama sekali tidak merasakan hal yang sama dengannya. Langkah kaki gadis itu masih seringan bulu. Memimpin jalan tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
“Kalau capek, kita bisa istirahat dulu,” ucap Sabitha tanpa berbalik.
Gentala sedikit terperanjat. Menatap punggung Sabitha dengan ekspresi kok dia bisa tahu? tergambar jelas di wajah pria itu. “Enggak, kok. Saya baik-baik aja,” bohongnya. “Tempatnya masih jauh?”
“Katanya kamu pembaca buku saya, seharusnya kamu bisa mengira-ngira seberapa jauh jaraknya, Tuan Gentala.”
“Garend dan Adzkiya selalu mengendarai mobil Garend ketika mereka pergi ke sana, Sabitha. Tidak berjalan kaki seperti ini. Jadi saya tidak bisa mengira-ngira.”
“Benar juga,” jawab Sabitha pendek. Diiringi kekehan pelan. “Sebentar lagi kita sampai, saya sengaja lewat jalanan ini agar lebih cepat sampai dengan berjalan kaki,” lanjutnya.
Gentala tidak menjawab. Memilih untuk memperhatikan langkah kakinya saja. Jalan yang mereka lalui semakin berbatu. Cukup terjal bahkan. Dan menurun. Membuat siapa pun yang melewati jalanan ini harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir dan berakhir terkilir.
Setelah habis jalan berbatu terjal yang dilewati Gentala dengan susah payah, terpampang jelas di depan matanya, sebuah lahan menghijau yang sedap dipandang mata. Habis lelah yang Gentala rasakan. Digantikan euforia yang merambat naik dari dadanya hingga menimbulak lengkung senyum pada bibirnya. Seorang pujangga pernah berkata, akan ada pelangi setelah lebatnya hujan. Sebuah perumpamaan paling realistis untuk apa yang Gentala rayakan setelah memakasa kakinya untuk terus melangkah.
Persis. Semuanya persis yang digambarkan Sabitha. Ladang dandelion di kaki bukit Ayu Laga, sama persis seperti apa yang selama ini terbayang di dalam kepala Gentala melalui rangkaian kata yang Sabitha tuliskan dalam novelnya.
“Ini tempatnya. Nikmati sesuka kamu. Barang kali kamu bisa memanggil jiwa Garend untuk hidup di dalam diri kamu.” Entah sejak kapan, Gentala tidak menyadarinya, Sabitha sudah duduk di atas sebuah kain dengan corak kotak-kotak, yang dibentangkan di atas rerumputan. Gadis itu juga sudah mengeluarkan kotak bekal dan meletakkannya di atas pangkuannya. “Sebentar lagi matahari terbenam, Garend sangat suka duduk-duduk di sini menjelang petang. Coba saja kamu panggil jiwanya.”
“Kamu lebih terdengar seperti seorang sutradara dari pada seorang penulis novel, Sabitha.” Gentala kembali menolehkan kepalanya dan menatap semburat oranye di balik bukit.
“Bagus, karena sebentar lagi saya memang akan menjadi asisten sutradara.”
“Untuk film ini?”
“Kalau bukan untuk film yang diangkat dari novel saya sendiri, lalu film mana lagi, Tuan Gentala?” Raut wajah Sabitha tidak berubah, meskipun nada suaranya mulai tidak sabaran.
Gentala memilih untuk tidak menjawab. Kedua matanya masih menatap lurus ke arah hamparan dandelion yang bergoyang-goyang menikmati angin sore. Di kejauhan, dari balik pepohonan di lereng bukit, burung-burung terbang rendah. Hendak kembali ke sarang. Sayup-sayup pria itu mendengar suara penggembala yang menggiring ternaknya pulang. Desa ini tampaknya sedang bersiap untuk menyambut malam, beristirahat.
“Desa ini sepi kalau malam, yang ramai hanya di deretan pertokoan di pinggir jalan utama yang kita lewati tadi,” gumam Sabitha.
“Sesuai yang kamu tulis di novel kamu, ya?” Gentala merespon. Walaupun sebetulnya Sabitha lebih terdengar seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Gumamannya terlampau pelan, hampir tidak terdengar.
Satu anggukan samar Sabitha tertangkap melalui ekor mata Gentala. “Desa kecil ini adalah penggambaran jiwa Adzkiya yang sesungguhnya.”
“Sepi, tenang, tetapi membawa ketenangan. Begitu, kan, maksud kamu?”
Sabitha menolehkan wajahnya pada Gentala. Sedikit mendongak sebab pria itu berdiri beberapa langkah dari tempatnya duduk. “Setidaknya begitu yang coba saya gambarkan dalam novel. Saya berterimakasih kalau ternyata hal itu sampai kepada pembaca, termasuk kamu juga menyadarinya.”
Semburat oranye lenyap. Digantikan petang yang menaungi langit Ayu Laga. Bulan mengintip malu-malu dari balik segerombolan awan hitam. Tidak nampak satu pun bintang yang menjadi kawannya. Malam ini, sama seperti malam-malam biasanya, nampaknya hujan akan kembali memanjakan jiwa-jiwa yang ada di Ayu Laga. Rintik hujannya akan menjadi lagu pengantar tidur yang syahdu.
Kedua insan itu masih bertahan pada posisi masing-masing. Tidak memperdulikan keheningan yang membungkus kaki bukit. Penerangan hanya berasal dari rumah warga. Mereka hanya mampu samar-samar mengenali sekitar.
Mereka menghabiskan waktu sedikit lebih lama lagi, lantas Sabitha yang lebih dulu beranjak. Memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam tas, tidak lupa melipat alas duduk. “Kalau kamu masih mau disini, silakan saja. Saya akan mengurus penginapan.”
“Terimakasih. Satu jam lagi saya kembali.” Gentala menjawab tanpa menatap Sabitha. Sejak tadi, pria itu sibuk dengan imajanisnya sendiri. Memanggil sosok Garend agar masuk ke dalam dirinya— sesuai yang Sabitha sarankan.
“Iya.”
Sabitha melangkahkan kakinya menjauh dari Gentala. Berbekal cahaya senter yang berasal dari ponselnya, gadis itu memilih jalan yang cukup aman untuk dilewati. Satu-dua ilalang yang tumbuh terlalu tinggi harus disibak dengan sebelah tangannya bebas. Sabitha tidak memilih jalanan yang sama dengan yang dilewati ketika sore tadi, terlalu berbahaya melewati jalanan berbatu itu di malam hari. Toh, penginapan yang dia tuju ada di bagian selatan Ayu Laga. Jadi tidak perlu lagi melewati jalan yang menuju arah barat.
Belum jauh langkah yang dia ambil, Sabitha teringat sesuatu— Gentala baru pertama kali datang ke desa kecil ini. Terlalu beresiko meninggalkan pria kota itu sendirian malam-malam begini. Bisa jadi Gentala akan jatuh terjerembab sebab memilih jalan yang salah. Lebih buruknya lagi, pria itu bisa saja salah mengambil jalan. Mengingat Sabitha belum memberi tahu penginapan mana yang akan menjadi tempat istirahat mereka malam ini. Mobil Gentala juga jauh terparkir di salah satu area restoran di pinggir jalan utama.
“Gentala!” panggilnya berusaha sekencang mungkin.
Yang dipanggilnya hanya menoleh tanpa menjawab apa-apa.
“Besok lagi saja saya antar ke sini lagi! Malam ini lebih baik kamu ikut saya ke penginapan!”
“Kenapa?” Gentala balas berteriak.
“Kamu belum tahu jalan! Nanti tersesat!”
“Ah!” Gentala menepuk dahi. Baru tersadar akan hal itu. Buru-buru pria itu melangkah ke arah Sabitha. Langkahnya lebar-lebar, meskipun beberapa kali hampir tergelincir karena tidak memperhatikan apa yang menjadi pijakannya. “Saya terlalu terbawa suasana, merasa menjadi Dokter Garend yang sudah hapal betul dengan desa ini,” ucapnya setelah tiba di hadapan Sabitha.
“Garend bahkan tidak akan mau di sana sendirian malam-malam.”
“Kenapa? Ada hantunya?” terka Gentala.
“Bukan. Menurutnya pasti akan lebih baik ada di rumah Adzkiya, tidur di pangkuannya, dari pada berdiri seorang diri di tempat segelap itu.”
“Ah.... Saya lupa sedang berbicara dengan seorang penulis novel romantis, bukan penulis kisah horor.”
Gentala dan Sabitha berjalan bersisihan di sepanjang jalan setapak yang menghubungkan kaki bukit dengan desa. Suara jangkrik dan katak terdengar dari semak-semak yang berada di kiri dan kanan jalan. Gemericik air terdengar samar dari kejauhan. Suasana yang amat jauh berbeda dengan yang biasanya mereka nikmati di kota besar. Di area gemerlap tengah kota itu, lebih mudah mendapati bisingnya suara klakson mobil dari pada suara hewan malam macam begini.
“Kamu kenapa memilih karir sebagai seorang penulis, Sabitha?” Gentala bertanya setelah lepas beberapa saat keduanya hanya diam.
“Untuk membantu orang-orang kabur.”
“Hah?” Gentala tidak terlalu mempercayai apa yang baru didengarnya dari gadis itu. “Maksudnya? Kabur bagaimana?”
“Kabur, kabur dari dunia nyata.” Suara Sabitha terdengar lirih, tetapi tetap berhasil ditangkap oleh rungu Gentala.
Entahlah, seharian ini nampaknya indera pendengaran Gentala mulai terbiasa dengan Sabitha yang sering kali berbicara dengannya dengan suara lirih. Seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Untuk beberapa orang, dunia ini jahat. Dunia ini terlalu dingin untuk dihuni. Jadi saya ingin menulis dan menciptakan sebuah ruang imajiner di kepala mereka, agar setidaknya, mereka memiliki tempat untuk lari. Kabur selama sementara waktu dari dunia nyata.”
Gentala mengangguk-angguk mengerti. Mencerna dengan baik setiap kata yang dituturkan gadis di sebelahnya itu. Sabitha benar, cerita fiksi sering kali menjadi obat untuk luka yang tercipta pada sebuah dunia yang berisi kita di dalamnya. Ruang imajiner yang diciptakan seorang penulis adalah sebuah ruang yang selalu berhasil menarik pembacanya untuk tinggal selama beberapa saat dan melupakan segala keluh dan kesah pada sebuah dunia yang harus dijalani, meskipun sambil tertatih.
“Kalau kamu, kenapa kamu ingin menjadi seorang aktor, Gentala?” Sabitha balik bertanya setelah pria di sebelahnya ini hanya diam dalam waktu yang cukup lama.
“Ah.... Kalau saya...” Gentala menyeret bola matanya ke bawah, mengamati tiap langkah yang dia ambil sambil berpikir. Dulu, jika ditanya hal seperti ini, maka dia akan menjawab, “Suka acting aja”, dengan entengnya. Kini, setelah mendengar jawaban dari seorang penulis berbakat macam Sabitha, Gentala berpikir dua kali untuk menjawab seenteng itu.
Detik terlewat, tanpa sedikitpun selaan dari Sabitha. Gadis itu membiarkan hening mengisi ruang sebelum jawaban Gentala terdengar. “Saya memilih menjadi aktor karena saya bisa terlahir berkali-kali. Menjalani hidup yang berbeda berkali-kali. Dan...”
“Leluasa memilih peran dan takdir yang kamu mau. Sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan di dunia nyata, Gentala. Itu keuntungan seorang aktor menurut saya,” potong Sabitha lirih.
Mereka berdua tiba di penginapan setelah satu-dua percakapan lagi. Seorang wanita muda menyambut keduanya dengan senyum ramah, buru-buru keluar dari meja resepsionis dan langsung menjabat tangan Sabitha sembari berucap, “Mbak Sabitha, homestaynya sudah siap. Di tempat yang biasa ya. Perapiannya juga sudah disiapkan Pak Abu.”
“Terimakasih, Rona. Sekarang Pak Abunya dimana?” Sabitha menengok ke kanan dan ke kiri, mencari sosok yang dipanggil sebagai Pak Abu.
“Ada, Mbak, di beranda belakang. Kunci mobilnya dikasih ke saya aja, nanti biar saya bilang Pak Abu untuk bawa mobilnya kesini. Diparkir di tempat biasa?” Si wanita muda menjawab dengan tangkas. Terlihat mahir melayani.
“Iya, eh, sebentar,” Sabitha menoleh pada Gentala. Memberi kode pria itu agar memberikan kunci mobilnya pada Rona. “Mobil kamu plat nomornya berapa?”
Gentala menjawab usai memberikan kunci mobil. “NC 127 T.”
“Ah, baik, Mbak. Nanti saya sampaikan ke Pak Abu. Mbak Sabitha dan Masnya silakan langsung ke homestay saja.”
“Terima kasih, Rona.”
Wanita muda itu melenggang pergi. Menuju beranda belakang lewat pintu samping yang berada di dekat meja resepsionis.
“Merasa aneh dipanggil masnya padahal kamu aktor besar ibu kota?” Sabitha bertanya setelah Rona hilang ditelan pintu.
Gentala mengerjap, merasa tertangkap basah. Memang sejak tadi pria itu merasa aneh karena wanita muda yang menyambut mereka tidak bereaksi histeris padahal seorang Gentala Harold Hastanta berdiri di hadapannya. Juga warga desa yang ditemuinya tadi, mereka justru lebih antusias melihat kedatangan Sabitha dari pada dirinya.
“Warga di sini jarang menonton TV. Mereka lebih gemar mendengarkan radio.” Sabitha menjelaskan tanpa Gentala minta. “Itu, kamu bisa lihat di meja resepsionis hanya ada radio.”
“Tapi di novel kamu, Adzkiya dan Garend sering menghabiskan waktunya dengan menonton film?”
“Tidak semua yang saya tulis sesuai dengan apa yang terjadi di kenyataan, Tuan Gentala. Seperti yang saya bilang, saya menulis justru untuk memberi ruang pada jiwa-jiwa yang mencari pelarian.”
**
Penginapan yang Sabitha pilih adalah sebuah rumah yang dijadikan sebagai tempat peristirhatan bagi pelancong yang mengunjungi Ayu Laga. Terdapat dua kamar tidur dengan kamar mandi dalam. Sebuah ruang tamu sederhana dengan dua sofa tunggal dan satu sofa panjang. Juga sebuah ruang keluarga yang terhubung langsung dengan dapur.
Perapian yang memiliki cerobong panjang berada di salah satu dinding yang dekat dengan dapur. Menyebarkan kehangatan ke seluruh bangunan. Suara gemertak kayu yang dilahap api membuat suasana semakin terasa tenang. Hujan di luar mulai turun. Rintiknya membentur atap dan kaca jendela. Angin dingin berhembus ringan melalui ventilasi di atas pintu.
“Kamu bisa pakai kamar yang di sebelah kanan,” ucap Sabitha sembari menunjuk ke salah satu pintu kamar. “Kamar itu menghadap ke timur. Kalau kamu mau bangun lebih pagi, kamu bisa menikmati pertunjukan matahari pagi yang terbit dari jendela kamar. Lebih lengkap jika sambil menyesap kopi.”
Mata Gentala mengekor ke arah telunjuk Sabitha terarah. “Kenapa bukan kamu saja yang memakai kamar itu kalau keindahannya seperti yang kamu gambarkan?”
“Saya sudah berkali-kali melihatnya. Sekarang giliran kamu. Semoga dengan begitu, kamu bisa jatuh cinta dengan desa ini sama dalamnya dengan Garend mencintainya.”
“Kamu terdengar seperti Adzkiya, Sabitha. Adzkiya yang tumbuh besar di Ayu Laga dan mempersilakan Garend mencintai desa tempatnya tumbuh.”
Senyum samar tergambar di wajah Sabitha. Tanpa menjawab apa-apa, gadis itu masuk ke dalam kamar.