#

Salah satu ruangan di gedung bertingkat pusat Kota Jakarta tampak sibuk. Lebih dari lima belas pasang kaki hilir mudik kesana-kemari— melakukan tugas mereka yang seperti tidak ada habisnya. Mempersiapkan properti foto, mempersiapkan perhiasan mana yang akan dikenakan sang model, memastikan hasil foto sesuai yang mereka ingin, dan banyak hal lainnya. Kilatan lampu dan suara jepretan kamera membersamai suara seorang pengarah gaya yang tidak henti memberi arahan pada gadis yang menjadi pusat perhatian.

Di sisi ruangan yang lain, tepatnya di sebuah sofa berwarna abu-abu tua, duduk seorang laki-laki— Jevander Novanda— yang tampak risau. Kedua tangannya saling bertautan, kakinya tidak henti menghentak-hentak lantai marmer di bawah sepatunya. Menciptakan irama acak yang terabaikan. Mata laki-laki itu lurus menatap gadisnya, yang masih saja menjadi pusat perhatian bahkan setelah sekian jam terlewat. Gemuruh dalam hati laki-laki itu terdengar ramai. Diam-diam dia juga mengutuk sahabatnya, Jaenandra Derovano, yang tidak memberitahunya bahwa dalam sesi pemotretan hari ini, terdapat seorang pengarah gaya yang tidak henti menyentuh jemari Adzkiya sejak tadi.

“Woy, tajem amat ngeliatinnya.” Jaenandra duduk di sebelah Jevan setelah selesai memberi arahan pada fotografer beberapa saat lalu. “Kak Kiyanya gak akan kemana-kemana, Jev. Tenang aja, relax.”

“Lo masih butuh foto berapa banyak lagi sih, Jaen? Ini kapan kelarnya?” Jevan bertanya tanpa memandang Jaenandra, kedua mata itu masih tertaut pada gadisnya di depan sana.

“Abis ini tinggal foto model cincin yang terakhir kok, cincin couple.”

“MAKSUD LO? BAKAL ADA HAND MODEL COWOKNYA, DONG? KEMARIN LO GAK ADA BILANG INI YA, JAENANDRA!” Tanpa sadar Jevan menaikkan suaranya, membuat beberapa staff menoleh. “SIAPA ORANGNYA? SIAPA YANG BAKAL JADI PARTNER ADZKIYA?”

“Jev, jev, kalem, kenapa sih malu-maluin banget?” Jaenandra berbisik pelan, merasa tidak enak dengan kegaduhan yang dibuat sahabatnya itu. “Itu cuma foto, oke? Kalem, tenang, itu tuh cowok yang dari tadi jadi pengarah gaya buat Kak Kiya tuh yang bakal jadi partnernya.”

“Bercanda lo ya? Gue aja dari tadi udah nahan diri pas dia pegang-pegang tangannya Kiya.”

“Jev.” Jaenandra menggeram, emosinya mulai tersulut oleh sikap menggemaskan yang ditunjukkam Jevan. “He doesn't touch your girl carelessly. They just doing their job, professionally, okey? Calm down, it's not like he wanna steal your girl.

What if he does? What if he slides into Kiya's dm after this photoshoot?

You are just being dramatic right now, Jevander Novanda. We just need to take a couple photos and then we are done. You can bring your girl home after that. But for now, I need your comprimize. Okey? Please?

Jevan mengacuhkan pertanyaan yang lebih terdengar seperti paksaan itu. Sementara Jaenandra mengartikan diamnya Jevan sebagai persetujuan.

**

Apartemen pribadi Jevander Novanda, pukul sembilan malam.

Aroma sabun dan sampo menguar saat tubuh Jevan keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. Rambut laki-laki itu basah, beberapa tetes airnya turun dan menabrak bahunya yang bidang. Lantas, Jevan meraih sehelai handuk lain untuk mengeringkan rambutnya. Gumaman tidak jelas terdengar dari bibirnya yang masih saja komat-kamit, entah sedang melantunkan lagu apa.

Di tengah kesibukannya itu, tanpa sengaja Jevan menangkap pemandangan janggal yang membuatnya menghentikan seluruh aktivitas yang sedang dia kerjakan.

“Sayang, kok pake hoodie sih tidurnya?” tanya Jevan dengan nada sedikit memprotes.

Yang ditanyai tampak acuh, tetap menautkan seluruh perhatiannya pada buku yang sedang dibaca. Dan mengabaikan Jevan secara penuh.

“Sayang, nanti aku meluknya gak enak kalau kamu pake hoodie gitu ah,” protes Jevan lagi, masih belum mendapat atensi Adzkiya.

“Kamu masih marah sama aku, ya?” tanya Jevan pada akhirnya, merasa putus asa sebab terus diabaikan.

Jevan mendekat, lalu duduk di atas ranjang bersebelahan dengan kekasihnya. “Sayang, maafin aku, jangan marah lagi, ya?”

“Aku gak marah.”

“Tapi kamu diem aja.”

“Aku lagi baca buku.”

“Tapi kamu pake hoodie.”

“Kamar kamu dingin.”

“Kita bisa matiin aja ACnya kalau kamu kedinginan.”

Adzkiya tidak menjawab. Jevan mendesah pelan.

“Tuh kan, diem lagi. Bener sih ini mah kamu marah sama aku.”

Adzkiya meletakkan bukunya sebelum mejawab, “Aku gak marah sama kamu, aku cuma gak ngerti aja sama kelakuan kamu di kantor Jaenan tadi.”

I was just marking my teritorry, aku salah ya untuk itu?”

“Tapi kamu keterlaluan.”

“Apanya yang keterlaluan, Sayang?”

“Orang-orang tadi itu pertama kali kenal dan kerja bareng sama aku, Jevander. Aku mau bikin kesan yang baik. Tapi sekarang.... aku bahkan gak tau apa yang mereka pikirin tentang aku.” Adzkiya tidak lagi menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, gadis itu sudah sepenuhnya menghadap Jevan. “Gak mau lagi ah kerja sama dia, cowoknya posesif. Mungkin itu kali ya mereka pikirin.”

He fucking touch you, Adzkiya.”

“Tangan aku, Jevander! Dia cuma pegang tangan aku! Udah lah aku gak paham lagi sama kamu.”

Adzkiya turun dari ranjang dan berlalu ke ruang tamu. Perasaan kesalnya akan makin bertambah jika terus menatap wajah Jevan yang telrihat polos tanpa dosa itu. Adzkiya sebenarnya tahu bahwa setiap tindakan yang Jevan lakukan di kantor Jaenandra adalah bentuk kasih sayangnya. Tapi cara kekasihnya itu menunjukkan perasaan cintanya cukup mengganggu.

Meninggalkan Jevan yang menatap punggung gadisnya itu perlahan hilang dari pandangannya.