I admit that I.... love you.

Celana jeans panjang berwarna hitam, kaus lengan pendek putih bergambar mawar hitam di bagian depan, serta jaket hitam yang lengannya ditarik hingga siku. Aku tidak tahu apa tujuan seorang Sergio Leenandar tampil setampan ini untuk bergabung di acara House Party di rumah seorang kawanku.

Apakah dia tahu bahwa di sana akan banyak gadis yang jelas akan melirik penampilannya?

Atau... dia sengaja berpenampilan semenarik ini, agar tidak kalah saing dengan kawan laki-lakiku yang akan datang ke acara itu?

Entahlah, aku tidak ingin lagi memikirkan apa alasannya. Yang terpenting, Kak Gio saat ini ada di sebelahku, tengah sibuk di balik kemudi. Sementara Alana duduk di kursi belakang. Perbincangan ringan mengisi ruang di antara kami, beriringan dengan lagu pilihan yang Kak Gio susun sebagai teman mengemudinya setiap hari.

Kami tiba di rumah kawanku, Andrea namanya, saat waktu menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Aku menyapa si pemilik rumah dan beberapa kawanku yang lain sambil mengenalkan Kak Gio kepada mereka. Setelahnya, aku, Alana dan kawan-kawanku yang lain berkumpul di ruang tengah untuk pembukaan pesta. Sedang Kak Gio meminta izin untuk langsung saja menuju gazebo di belakang rumah, dekat dengan kolam renang— katanya, dia bukan bagian dari kami, maka dia merasa harus memberi ruang untuk aku dan kawan-kawanku.

Pembukaan pesta itu tidak berlangsung lama, hanya berupa ucapan terimakasih dari Andrea, karena kami, kawan-kawannya, sudah menyempatkan diri untuk datang. Pesta kemudian dimulai, lagu mulai terdengar dari pengeras yang ditelakkan di salah satu sudut ruangan. Botol-botol minuman dibuka, makanan mulai disajikan. Suara denting gelas serta sendok dan garpu yang beradu dengan piring terdengar berirama dengan suara obrolan dan tawa.

Aku berpisah dengan Alana, sahabat baikku itu diajak oleh seorang kawan untuk duduk di sofa yang agak jauh dariku. Aku dengar dari Alana, kawan sekelas kami pada salah satu mata kuliah itu, sedang berupaya mendekatinya. Aku tertawa saat mendengar cerita Alana, sebab aku tahu, laki-laki itu hanya akan berakhir patah hati. Karena Alana sudah jatuh hati sejatuh-jatuhnya untuk seorang Gentala Derovano Utama.

Berupaya untuk mengabaikan Alana dan mainan barunya, aku mengambil minuman bersoda dari atas meja dan berjalan ke arah teras belakang. Bermaksud menemui Kak Gio yang mungkin saja sedang duduk seorang diri di gazebo belakang sana. Tapi setibanya di pintu pembatas dapur dan halaman belakang, ternyata aku mendapati kenyataan lain— Kak Gio tidak duduk seorang diri, laki-laki yang mulai mengisi hatiku itu ternyata sudah bercengkrama dengan dua orang kawanku.

Hatiku sedikit mencelos, tidak suka dengan apa yang sedang tertangkap oleh mataku saat ini. Aku memutuskan untuk mendekat, berdiri tidak jauh dari gazebo, berusaha mencuri dengar apa yang sedang mereka bertiga bicarakan.

“Ah, jadi Kak Gio dulu kuliah di kampus kita juga? Jurusan apa?” tanya kawanku yang berambut panjang, namanya Kiara.

“Dulu saya ambil Jurusan Pariwisata.”

Kiara memekik girang, tampak makin tertarik setelah mendengar jawaban dari Kak Gio. “Berarti sekarang kerjanya jalan-jalan terus dong, Kak?”

Kak Gio terkekeh pelan lalu menghisap rokoknya sebentar, sebelum kemudian menjawab, “Pengennya sih jalan-jalan terus ya, tapi dapet kerjanya harus selalu stand by di kantor. Jadi belum kesampean kerja sambil jalan-jalannya.”

“Yaudah jalan-jalan sama kita aja, Kak.” Kawanku yang satu lagi menyahut cepat, sambil mengibaskan rambutnya ke belakang, kawanku itu berkata lirih. “Kalau ada libur, Kak Gio contact kita aja. Nanti bisa diatur deh kita mau liburan kemana.”

Kiara mengangguk dengan semangat, dia bahkan meletakkan tangannya di atas paha Kak Gio. “Kak Gio sukanya jalan-jalan kemana emangnya? Pantai? Gunung? Atau jangan-jangan malah sukanya stay di hotel aja?”

Tanpa sadar aku mendecih. Merasa jijik dengan sikap kawanku itu. Kami sama-sama perempuan, dan aku tidak suka caranya merendahkan diri. Apa katanya tadi? Stay di hotel? Apakah itu caranya untuk mengajak laki-laki yang ada di hadapannya untuk bercinta?

Sungguh menjijikkan.

Dan aku lebih kesal lagi karena Kak Gio tidak mengatakan apa-apa untuk menolaknya. Laki-laki itu hanya menggeleng pelan sambil menyingkirkan lengan Kiara dari pahanya dengan begitu lembut. Aku tahu itu adalah bentuk penolakan, tapi seharusnya Kak Gio melakukan yang lebih dari itu.

Rasanya aku sangat ingin meremukkan kaleng minuman bersoda di tanganku ini. Atau paling tidak, aku ingin sekali menuangkan isinya di atas kepala Kiara. Tapi apa hakku untuk bisa melakukan itu? Aku bahkan bukan kekasih dari seorang Sergio Leenandar. Aku tidak berhak melakukan hal buruk pada siapapun yang mencoba mendapatkan hati laki-laki itu. Dan jelas aku juga tidak akan melakukan sesuatu hal sebodoh itu yang hanya akan merusak nama baikku sendiri.

“Pulang dari sini, Kak Gio kemana? Anter Elys sama Alana pulang ya?” Nampaknya Kiara belum juga menyerah, bahkan setelah menerima penolakan.

Aku makin geram. Rasa-rasanya, aku bisa merasakan darahku berdesir begitu cepat naik ke kepalaku.

“Abis anter mereka pulang, mau lanjut ke apartemen aku aja gak, Kak? Apartemen pribadi kok, bebas mau ngapain aja.”

“Ah, maaf, saya besok harus kerja, jadi makasih atas tawarannya tapi saya gak bisa.”

“Kalau besok malem, Kak? Aku...”

“Kak Gio!”

Seruanku keluar lebih cepat dari pada otakku yang terlalu lambat memproses kemarahanku sendiri. Sepertinya saraf-saraf ditubuhku memutuskan untuk mengikuti perasaanku saja dari pada menunggu perintah dari otakku yang selalu saja mengutamakan logika di atas segalanya.

Kak Gio menoleh, senyumnya mengembang saat matanya bersirobok dengan milikku. “Hei, sini Cantik,” sapanya dengan riang.

Dua orang kawanku itu ikut menoleh setelahnya.

Karena sudah terlanjur seperti ini, aku berjalan mendekat dan duduk tepat di sebelah Kak Gio— rokok yang tadi dihisapnya langsung dimatikan. Kak Gio tidak pernah mau aku terkena asap rokok.

Aku menawarkan minuman bersoda yang sejak tadi aku pegang, kepada Kak Gio. Laki-laki itu mengambilnya tanpa canggung dan langsung meminumnya hingga habis. Lewat Kak Gio yang meminum minuman bersoda sisa milikku tanpa rasa jijik, rasanya aku seperti sedang menandai wilayah teritorialku. Menunjukkan kepada kedua kawanku bahwa kami sudah sedekat ini.

“Ayah tadi telfon, katanya pulangnya jangan terlalu malem,” bohongku, hanya agar kami ada pembicaraan karena dua kawanku sekarang tampak kikuk. Cih, kemana perginya mereka yang beringas tadi?

“Pulang ke rumah atau nginep di rumah Kakak aja? Nginep aja lah, ya? Kan besok minggu, nanti siangnya kita jalan dulu sama Papa, Mama, terus sama Gia juga.”

“Tapi Kakak yang izin ke Ayah, ya?”

“Gampang,” jawab Kak Gio seraya merangkulkan lengannya di bahuku. “Di dalem ada makanan, kan? Kakak laper.”

“Ada, yuk aku anter.”

Kak Gio mengangguk berpamitan kepada kedua kawanku sementara aku hanya melirik mereka dengan malas. Dari sudut mataku, aku bisa melihat wajah mereka berubah masam. Mungkin setelah ini, mereka akan mengumpatiku. Biar saja, aku tidak perduli. Yang aku perdulikan sekarang adalah, perbincanganku dengan Kak Gio tadi seharusnya cukup untuk memukul mundur mereka berdua.

Setibanya di dalam, Kak Gio mengambil sepotong kue keju untukku dan sepotong kue cokelat untuk dirinya sendiri. Lantas kami berdua duduk di salah satu sofa yang kosong, sedikit menyingkir dari yang lainnya.

“Hebat banget sebentar aja udah dapet dua cewek baru.”

“Cemburu, nih, ya?”

“Dih enggak,” jawabku sewot.

“Bener, nih, gak cemburu? Yaudah Kak Gio ke belakang lagi ya?”

“Terserah! Aku pulang aja!” Aku meletakkan piring kecil berisi kue keju yang bahkan belum tersentuh itu ke atas sofa. Kemudian berlalu ke luar dari rumah Andrea.

Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku melakukan hal kekanak-kanakan seperti itu. Aku hanya merasa kesal saja dengan jawaban Kak Gio. Langkahku terus terayun sampai akhirnya aku tiba di teras depan. Suara Kak Gio yang memanggil-manggil namaku dan suara derap langkah kakinya beradu dengan suara musik yang masih terdengar sampai tempat di mana aku berdiri.

“Elys, mau kemana?” Kak Gio berhasil meraih tanganku. “Jangan pulang, dong, kan acaranya belum selesai.”

“Udah sana Kak Gio masuk deh, ditungguin tuh sama Kiara.”

“Kiara?”

“Itu tadi cewek yang mau ngajak Kak Gio ke apartemennya.”

Sial, aku ingin sekali menutup wajah dengan kedua tangan sebab aku yakin sekali sekarang wajahku sudah memerah karena marah dan malu yang tercampur sekaligus. Tapi kedua tanganku masih digenggam oleh Kak Gio hingga aku tidak bisa melakukannya.

“Kakak bahkan gak tau nama temen kamu tadi Kiara.”

“Sekarang Kak Gio tau,” balasku masih sambil bersungut-sungut.

“Tadi pas di depan dia, kamu keliatan baik-baik aja, gak marah, gak sensi kayak gini. Kenapa sekarang tiba-tiba ngambek?”

“Gak tau ah!”

“Hei,” Kak Gio menyentuh sebelah wajahku dengan jemarinya, “Kakak tadi sengaja loh bahas soal kamu nginep di rumah, tujuannya biar temen kamu tadi tau kita sedeket apa.”

Aku akhirnya memberanikan diri menatap matanya.

“Elys, Kakak gak nerima tawaran mereka kok, gak tertarik sama sekali malahan. Kamu masih mau marah sama Kakak?”

Bibirku terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ego dan perasaanku terus berkecamuk.

“Yaudah, kalau perasaan kamu masih belum enak, gak papa marah dulu aja. Tapi izinin Kakak anter kamu pulang, ya?”

“Alana gimana?”

“Nanti Kakak telfon Gentala untuk jemput Alana dan anter dia pulang. Alana pasti lebih seneng kalau Tala yang anter pulang, kan?”

Aku mengangguk mengiyakan. Perasaanku sudah lumayan membaik.

Kak Gio membimbingku untuk masuk ke mobilnya. Anak Om Raechan itu bahkan berbaik hati mengenakan sabuk pengaman ke tubuhku. Ah, sekarang aku yakin sekali bahwa aku telah sepenuhnya mengizinkan Kak Gio mengisi rongga-rongga yang ada di hatiku dan memenuhinya dengan perasaan berbunga.

“Kakak sebenernya seneng kamu ngambek begini, karena itu mungkin artinya, kamu udah mulai ada rasa ke Kakak. Gak tau sih itu bener apa enggak, Kakak cuma pengen kegeeran aja. Gak papa, kan?”

Aku masih diam.

“Kamu ada nomor temen kamu tadi, kan? Kakak minta dong, Kakak harus makasih nih sama dia, karena ulah dia tadi, Kakak bisa liat sisi kamu yang ini.”

Kak Gio masih terus berceloteh sambil memasangkan sabuk pengaman ke tubuhnya sendiri. Setelah selesai dengan kesibukannya, Kak Gio mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan mengarahkan layarnya ke arahku. “Ayo mana nomornya? Kakak mau telfon dia nih.”

“Kak, don't you dare to call her....”

“Kenapa emangnya? Kakak kan cuma mau bilang makasih.”

“Gak usah.”

“Kenapa? Kamu bikin Kakak tambah geer aja deh, El, kamu beneran udah suka sama....”

Aku mendekatkan wajahku ke arah Kak Gio, bermaksud menutup bibirnya dengan bibirku— agar dia tidak terus bicara tentang Kiara. Sayang, tepat saat bibir kami hampir bersentuhan, Kak Gio malah memalingkan wajahnya.

“El...” lirihnya pelan.

Aku malu setengah mati. Buru-buru menarik tubuhku kembali ke posisi semula, duduk tegap di kursi penumpang.

“Maaf, Kak, aku kebawa suasana. Aku gak....”

Kali ini, Kak Gio yang justru menempelkan bibirnya dengan bibirku. Melarang aku mengatakan apapun yang ingin aku katakan. Kak Gio tidak menolak ciumanku, dia hanya tidak ingin aku yang memulai ciuman ini, karena dia takut aku merasa rendah nantinya. Lewat ciumannya yang dalam, Kak Gio seperti memberitahuku bahwa dia yang lebih menginginkanku, dia yang lebih mendambakanku, dan dia yang lebih menginginkanku.

Ciuman Kak Gio berubah menjadi lumatan panjang. Tangannya dengan terampil membuka pengait sabuk pengaman dari tubuhku dan menuntunku untuk duduk di pangkuannya. Keadaannya sedikit kacau, mobil ini tidak membuat kami leluasa untuk menggila. Tempat Kak Gio memakirkan mobilnya juga membuat tempat ini terlalu gelap, bahkan ketika aku membuka mataku, aku tidak bisa menikmati wajah Kak Gio yang sedang menciumku. Aku hanya bisa sedikit saja melihat wajahnya lewat cahaya dari lampu taman nun jauh di sana.

Ciuman kami bertahan cukup lama, sesekali Kak Gio berhenti dan tersenyum di sela ciuman kami. Ada kalanya juga dia juga membisikkan kata cinta. Ciuman Kak Gio memabukkan, membuat aku hampir hilang akal.

Ciuman kami baru terlepas saat aku mendorong sedikit tubuhnya karena merasakan sedikit tekanan di pahaku.

“Kak?” tanyaku bingung dengan sesuatu yang mengeras di bawah sana.

“Kamu turun dulu ya, Kakak perlu ke kamar mandi sebentar.”

Masih dengan bantuan cahaya dari lampu taman, aku bisa melihat wajah Kak Gio memerah— entah karena malu atau karena sesuatu hal yang lain.