Get Ready With Raekay

Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik gumpalan awan abu-abu yang bergelayutan di langit lepas. Cahayanya tak bisa mencapai bumi dengan sempurna. Hanya samar-samar saja. Sebuah pagi yang sempurna untuk kembali bergulung dalam selimut hangat, seorang diri atau lebih disempurnakn bersama dengan orang yang tersayang.

Di sebuah rumah, terdengar cekikikan dua insan manusia yang tengah sibuk berkejaran di dalam kamar mereka. Si laki-laki hanya mengandalkan handuk yang melilit di pinggangnya, untuk menutupi area yang tak boleh semabarang dijamah. Sementara si wanita membalut dirinya dalam bathrobe berbulu, sebab lebih banyak area yang harus dia jaga.

Adegan saling kejar itu berlangsung untuk beberapa saat, hingga akhirnya si wanita mengibarkan bendera putih. Menyerah. Tak mau lagi meladeni keisengan suaminya yang tak juga usai. Nafas wanita itu sedikit tersengal, untung tak banyak keringat yang bercucuran.

“Rae, udah ya, please, nanti kita telat,” ucap si wanita masih sambil berusaha menormalkan deru nafasnya.

Si laki-laki mengangguk. Tersenyum lebar. “Siap-siap, gih,” balasnya.

Si wanita—Kayana, menuju meja rias. Menatap dirinya dalam pantulan cermin. Lantas dengan gerakan terlatih, ia meraih sebuah botol kecil dan beberapa barang lain dari laci. Di belakangnya, sang suami sedang asyik memilah beberapa pakaian yang ingin dikenakan. Kayana bahkan tak pernah bisa memahami mengapa suaminya, Raechan, selalu berlama-lama di depan tumpukan pakaian yang dia punya. Padahal, mereka semua sejenis, kaus hitam dan putih. Itu saja.

“Aku hari ini pakai baju apa ya, Sayang, bagusnya?” tanya Raechan.

Kayana menatap Raechan dari pantulan cermin. “Baju kamu cuma ada tiga jenis, Rae. Kaus, kemeja dan jaket. Kaus juga warnanya cuma hitam sama putih. Jadi aku nggak tau mau kasih saran apa.”

Raechan terkekh. Tanpa menatap Kayana, laki-laki itu menjawab, “Iya juga, ya.” Raechan kemudian mengambil sehelai kaus berwarna putih dari tumpukan di lemari. “Kalau kausnya putih, kemejanya bagus warna apa, Sayang?”

Kayana diam sebentar. Tampak berfikir. Sekaligus mengingat-ingat kemeja warna apa saja yang suaminya punya. “Kemeja kamu yang navy aja, Rae.”

“Oke!” seru Raechan bersemangat. Tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada istrinya.

Kamar pengantin baru itu lengang sesaat. Raechan sibuk menata rambutnya di depan cermin lemari baju—tentu setelah mengenakan celana dan kemeja yang dipilih Kayana. Sementara Kayana tampak sedang menata riasannya. Wanita itu terlalu fokus sampai tidak menyadari sang suami sudah berpindah dari depan lemari baju ke belakang tubuhnya. Ikut menatap wajah ayu itu dari pantulan cermin.

“Aku selama ini selalu penasaran kenapa cewek dandannya lama banget. Nih liat, aku udah siap gini, kamunya masih pakai bathrobe.”

Ekspresi wajah Kayana berubah nyinyir. Hentakan tangan yang mengarah ke wajahnya dibuat sedikit keras. “Ya bagus, ngomong gitu terus aja. Cowok tuh suka liat cewek cakep tapi nggak mau tau proses buat jadi cakepnya gimana.”

Raechan gemas dibuatnya. Wajah nyinyir Kayana justru membuatnya terlihat menggemaskan. Tak bisa menahan diri, Raechan menangkup wajah Kayana dengan sebelah tangan, membuat sang istri memberontak kesal.

“Raechan ih!” keluh Kayana.

“Abisan kamu gemes.” Raechan berpindah lagi, kali ini bersandar pada meja nakas. Agar dapat menatap istrinya secara langsung, tak melalui pantulan cermin lagi. “Ya udah sekarang tolong coba jelasin apa fungsi semua alat yang kamu pakai sekarang.

“Ini namanya make up ya, bukan alat.”

Yes, Mom! Make up,” cicit Raechan mengikuti Kayana.

“Nih liat,” ujar Kayana. Tangannya membawa sebuah benda dengan kemasan berwarna keemasan ke depan wajah Raechan. “Ini namanya cushion, the function is to cover the imperfection in our face. Readness, pimples, pores, and whatever it is.”

“Berarti seharusnya kamu nggak usah pake dong?” komentar Raechan.

Kayana hanya menatap laki-laki di sampingnya itu dengan tatapan, “Maksudnya?”

As you said, the function is to cover the imperfection in our face. Menurut aku, wajah kamu udah sempurna, jadi seharusnya kamu nggak usah pakai itu lagi.”

Kayana sedikit bingung harus berekasi apa atas kalimat yang baru saja terlontar dari bibir suaminya. Ada perasaan tersanjung dan sedikit perasaan tak habis fikir atas pernyataan itu. Bisa-bisanya.... hhhh.... Raechan. Kayana mendesah pelan. Meninggalkan barang yang kata Raechan tak berguna untuknya itu, Kayana beralih pada sebuah benda dengan bentuk bulat. Kemasan luarnya berwarna hitam. “Ini namanya blush on, buat kasih efek kemerahan di pipi kita.”

“Kayak kalau kamu lagi salting gitu?” Raechan berkomentar lagi. Wajahnya betul-betul penasaran.

“Iya. Kayak gitu.” Kayaa menjawab malas.

“Ah berarti kamu juga nggak butuh itu, Sayang. Aku lebih jago untuk bikin pipi kamu merah.”

Alih-alih merasa tersanjung, kali ini Kayana hampir membanting benda yang sedang dipegangnya. Komentar Raechan benar-benar hampir menggeruk habis kesabarannya. Betul memang apa yang dikatakan laki-laki itu adalah hal yang manis, hanya saja tak tepat dikatakan di saat seperti ini.

“Sayang, kenapa? Aku ada salah ngomong?” Raechan bertanya takut-takut. Menyadari perubahan raut muka istrinya.

“Kamu nggak mau nunggu aku di bawah aja, Rae?” tanya Kayana pelan.

“Aku masih mau denegrin kamu jelasin alat-alat tempur kamu.” Raechan menjawab tanpa rasa berdosa. “Masih banyak, kan? Itu yang bentuknya kaya pensil itu apa? Terus yang bentuknya bogel itu juga apa? Sama itu tuh yang kotak-kotak warnanya beda-beda tuh apa?”

Kayana menggeram. Kepalanya mulai pusing sekarang.

“Ayo, Sayang, lanjutin, aku...”

“Rae, tunggu aku di bawah aja ya? Aku mohon. Dari pada kita nggak jadi berangkat ke kampus.” Kayana memaksakan senyum. “Kamu ngegame aja di bawah kayak biasanya, ya?”

“Oh... Oke... kalau gitu....” Raechan menyengir. Mulai menyadari radar bahaya dari tatapan Kayana. Laki-laki itu mengelus pelansurai Kayana lantas mencium sebelah pipi wanitanya itu. “Aku main game di bawah ya, Sayang, kamu santai aja, take your time. Yang lama aja siap-siapnya nggak apa-apa, dosennya aku larang masuk nanti.”

Secepat pergerakan angin, Raechan melesat meninggalkan kamar. Membuat Kayana mendesah pelan sekali lagi saat melihat punggung laki-laki itu ditelan pintu kamar.

Semenjak menikah dengan Raechan, pagi harinya selalu terasa ramai. Terlalu ramai bahkan. Membuat kepalanya sering kali terasa ingin meledak.

Namun di balik itu semua. Kayana bersyukur sebab hidupnya lebih berwarna sekarang. Kasurnya tak lagi kosong. Mobilnya tak lagi lengang. Perjalanannya ke kampus tak lagi membosankan. Raechan betu-betul membawa seluruh warna untuk hidup Kayana yang selama ini monokrom. Dan Kayana amat bersyukur untuk itu.