Truth or Drink
Aroma amis terbawa oleh angin malam yang bertiup dari laut menuju halaman belakang sebuah vila megah di pulau pribadi milik keluarga Derovano. Bunyi debur ombak terdengar keras menabrak batu karang. Cahaya bulan jatuh menerangi bumi tanpa dihalangi awan gelap. Bintang-bintang bertaburan, pemandangan apik yang jarang disuguhkan langit pusat kota.
Di halaman belakang itu, Jaenandra tampak sibuk bergelut dengan asap dari bara api, di atasnya tertara rapi beberapa potong daging yang masih setengah matang. Di sampingnya, dengan telaten Klarisa mendampingi. Membantu menyiapkan beberapa bumbu yang Jaenandra perlukan.
Tidak jauh dari sana, keriuhan lain dapat terlihat. Raechan dan istrinya, Kayana, tengah sibuk menata meja. Beberapa piring kecil ditumpuk di tengah meja, berdampingan dengan gelas kaca berukuran kecil. Ada sepanci mie instan yang telah diseduh, mengepulkan asap ke udara, menarik perhatian lewat sedap aromanya.
Di tempat lain, Markio dan Jevan sibuk berdebat tentang bagaimana cara membawa sofa berukuran paling besar ke halaman belakang. Tadi, mereka berdua sudah berhasil memindahkan tiga sofa berukuran single. Sekarang, tugas mereka sedikit lebih berat hingga harus berdebat.
“Lo duluan, Kak! Kalau lo gak keluar, mana bisa gue lewat!” Jevan berbicara sambil menggertakan gigi, menahan sofa yang membebani tangannya. Urat-urat menonjol dari bawah kulit lengannya.
“Ya lo pegang dulu ini sofanya yang bener, Jevander! Lo kira gampang apa jalan mundur!” Markio juga ikut menggertakan gigi. Beberapa tetes keringat telah membasahi kaus yang dikenakannya.
Adzkiya melirik dari ruang tengah. Gadis itu tengah menjaga Sergio bersama dengan Jelena. Si kecil itu juga ikut dalam pesta kecil malam ini. Sebetulnya, Adzkiya dan Jelena berusaha membuat Sergio tidur, tapi malaikat kecil itu masih enggan. Matanya masih terbuka lebar, tidak ada rasa kantuk sama sekali di sana.
Sementara di dapur, sepasang muda-mudi yang baru saja memulai pendekatan mereka tengah asik mencuci buah-buahan. Keduanya mengabaikan kesibukan lain di luar dapur. Bagi mereka, di vila sebesar ini hanya ada mereka berdua.
**
Segala persiapan baru selesai pukul delapan malam. Tiga piring besar daging panggang tersaji di atas meja. Buah-buahan yang telah dicuci bersih menjadi pendampingnya. Si kecil Sergio telah berhasil terlelap, ditidurkan di ruang tengah, dengan membiarkan pintu terbuka lebar agar Sergio tetap dalam pengawasan.
Sekarang, di halaman belakang vila pribadi milik keluarga Derovano, tersisa lima pasangan dewasa yang siap berpesta.
“Biar seru, mending kita main truth or drink.” Raechan mengusulkan.
Jevan mendengus. “Norak ah, kayak anak kuliahan aja main gituan,” cibirnya.
“Kenapa? Lo takut ya, Jep? Punya banyak rahasia yang Kak Kiya gak tau ya?” Juan bertanya sambil menaikkan sebelah alisnya, “Gue sih setuju sama usul Raechan, ayok aja kalau mau main.”
“Cih,” Jevan menatap Juan dengan senyum miring, “Oke, gue gabung. Siapa takut.”
“Ohoooo, belum apa-apa udah seru aja.” Klarisa menimpali seraya menuang cairan bening ke sepuluh gelas yang ada di atas meja.
Biasanya, para kaum lelaki melarang wanitanya untuk minum-minum. Tapi khusus malam ini, adalah sebuah pengecualian.
“Kak Kiyo, truth or drink.” Jaenandra memulai.
Permainan itu disepakati tanpa harus memutar botol untuk menentukan siapa target pertama. Mereka menyepakati siapa saja boleh dan bisa menjadi target pertama.
“Lo selalu bilang kalau lo gak pernah keberatan Jevan masih punya perasaan ke Elen, tapi pernah gak, sekali aja.... Sekali aja, lo ngerasa gak percaya diri karena lo ngerasa cintanya Jevan buat Elen jauh lebih besar?”
“Wow, such a intense question,” komentar Juan.
Detik berlalu, Markio menatap gelasnya yang terisi setengah, selama beberapa saat. Menimbang-nimbang pertanyaan Jaenandra yang cukup membuatnya berfikir untuk memilih menenggak saja isi gelasnya dari pada harus menjawab pertanyaan itu.
“Kak Kiyo bisa minum aja kalau emang gak mau jawab,” ujar Klarisa.
Markio menggeleng, laki-laki itu lantas meletakkan gelasnya di atas meja. “Pernah, gue pernah ngerasa gitu.”
“Kapan, Kak?” tanya Jelena pelan. Gadis yang menjadi objek pembicaraan itu ikut penasaran, sebab tidak sekalipun Markio pernah membahas hal ini.
“Waktu ada bajingan yang kurang ajar ke Elen, kalian inget, kan? Waktu itu, waktu dapet kabar dari Ica, yang bisa gue pikirin cuma gue pengen cepet-cepet ada buat Elen. Gue pengen nenagin dia, gue pengen bikin Elen ngerasa aman. Sementara Jevan... waktu itu dia langsung datengin cowok itu dan kasih pelajaran, Jevan bahkan bawa si bajingan itu buat sujud di kaki Elen dan minta maaf langsung.”
Markio menghela nafas panjang, permainan iseng itu berubah menjadi pernyataan kejujuran yang lama terpendam. “Waktu itu gue langsung kayak sadar... Di saat gue cuma mikir gimana caranya nenangin Elen... Di tempat lain Jevan lagi ngotorin tangannya sendiri buat mukulin orang. Jevan bahkan gak perduli kalau waktu itu dia bisa aja dikeluarin karena bikin keributan di kampus.”
Suasana tiba-tiba hening, bahkan Raechan yang mengusulkan permainan itu pun menundukkan kepalanya. Ada suasana aneh yang menguar di tengah mereka.
“Eeeyyy, itu kan dulu, udah bertahun-tahun lalu, sekarang kan semuanya udah oke... Jangan sepi gini, dong, gue kan jadi kikuk.” Markio berusaha mencairkan suasana, dibantu tawa Juan yang canggung.
“Oke deh, sekarang gue yang tanya.” Markio menatap Raechan yang masih menunduk. “Rae, ada gak rahasia yang sampe sekarang Kayana gak tau?”
“Banyak gak, sih?” Kayana menjawab sambil terkekeh. Disenggolnya lengan sang suami dengan sikunya. “Coba satu aja, Mas, yang pengen kamu buka rahasianya. Aku pengen tau.”
Di balik kepalanya yang masih menunduk, Raechan mengumpati Markio yang menjadikannya target selanjutnya. Tapi apa daya, dia adalah sumber permainan ini digelar. Maka laki-laki itu akhirnya mengangkat wajah, lalu menatap istrinya dengan senyum semanis mungkin. “Aku.... aku dulu pernah naksir Elen.”
“Apa?” Klarisa hampir memuntahkan makanan yang baru saja masuk ke mulutnya. “Lo... bilang apa, Rae?”
“Aku juga kalau jadi cowok, bakal naksir Elen sih.” Kayana justru menjawab begitu santai.
“Aku juga,” Adzkiya menimpali.
“Aku juga,” Kenari ikut bersuara.
“Wah, bini lo emang menarik buat semua gender ya, Kak,” kata juan.
“And I'm the winner here.” Markio menutup sesi itu dengan ucapan penuh rasa bangga.
Sebuah bantal sofa melayang ke wajah Markio untuk menghentikan ekspresi kemenangan itu.
“Oke, next.” Kali ini Jevan yang bertanya. “Ica... Waktu lo tau gue sama Kiya deket, perasaan lo gimana?”
“Loh, Ica pernah naksir Jevan juga?” Kenari bertanya sambil memandang yang lain, ekspresi wajahnya benar-benar kebingungan tapi juga tertarik dengan semua topik yang diangkat dalam permainan hari ini.
Sebagai anggota paling akhir, masih banyak hal yang belum Kenari ketahui tentang masa lalu perkumpulan kawan-kawan barunya ini. Semenjak mengenal mereka semua, Kenari baru merasa bahwa dunia begitu menarik. Dan gadis itu menyukainya.
“Enggak,” Juan menjawab sembari mengelus bagian belakang kepala Kenari, “dulu Kak Adzkiya tuh hampir jadi kakak iparnya Ica,” jelasnya.
“Oh ya? Terus kenapa gak jadi?”
Jevan terkekeh, calon kekasih Juan itu benar-benar punya seribu tanda tanya di kepalanya.
“Karena Tuhan maunya aku sama Jevan, Nar.” Adzkiya menjawab diiringi senyum. Jawaban paling baik untuk menyudahi keingintahuan Kenari.
“Ah... iya juga...” Kenari manggut-manggut.
“Jadi gimana, Ca?” Jevan meluruskan pertanyaannya lagi pada Klarisa.
“Gue... takut.” Klarisa memulai, sebelah tangannya meraih tangan Adzkiya. “Gue tau sebesar apa perasaan yang Kak Kiya punya buat kakak gue, gue juga tau sedalam apa Jevan mencintai Elen. Terus tiba-tiba... kalian, dua orang yang lukanya belum sembuh, mau memulai hubungan yang baru. Waktu itu gue takut, takut kalau luka yang kalian bawa bakal nambahin luka untuk satu sama lain, tapi ternyata kalian di sini sekarang... Justru saling nyembuhin satu sama lain.”
“Tapi kalau kamu boleh milih, sebenernya kamu maunya Kak Kiya sama Jevan atau sama kakak kamu, Ca?” Satu tanda tanya meluncur lewat mulut Kenari.
Klarisa tidak menjawab pertanyaan itu dan memilih untuk menenggak habis cairan di gelasnya. Jauh di dalam hatinya, sebaik apapun Jevan dan istri kakaknya sekarang, kisah cinta Adzkiya dan kakaknya tidak akan pernah hilang dari benaknya. Apa yang dipendamnya selama ini tidak akan menjadi baik untuk dikeluarkan, maka dia memilih untuk tetap mengubur perasaan itu dalam-dalam.
“Wah Jep, Jep, Ica gak mau jawab, Jep.”
“Sinting emang bininya Jaenan, dia sampek sekarang aja masih bilang nama belakang Kiya lebih bagusan pake Adetama dari pada Novanda.”
“Itu gue setuju sih,” Raechan menambahi.
“Sialan.” Jevan hanya bisa bergumam pelan.
Permainan berlanjut ketika cahaya bulan meredup terhalang awan gelap. Angin berbau asin berganti menjadi angin yang membawa udara dingin. Para laki-laki sibuk menghangatkan tubuh masing-masing pasangannya. Ada yang memberikan jaketnya, merangkul bahu, dan ada juga yang masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan selimut.
Pertanyaan selanjutnya dilontarkan oleh Juan kepada Jaenandra.
“Katanya, hubungan kalau terlalu lama kan bisa bikin bosen, ya. Lo pernah gak ngerasa bosen sama Ica?”
“Anehnya enggak loh, bertahun-tahun gue pacaran dan sekarang jalan dua tahun nikah, gak pernah tuh ngerasa bosen sama Ica.”
Klarisa puas dengan jawaban Jaenandra, kawan-kawannya yang lain juga sebetulnya sudah menduga jawaban seperti itu yang akan keluar dari mulut Jaenandra. Mereka tahu, selain Juan dan Markio, hidup Jaenandra adalah yang paling lurus. Kenari satu-satunya yang merasa tersipu mendengar jawaban Jaenandra. Hari ini, dia melihat satu lagi sebuah hubungan yang berhasil membuatnya kagum.
“Jev, sekarang giliran lo.” Klarisa menarget Jevan. “Name something that you want to change about Kak Kiya?”
“Her attitude on bed.” Jevan menjawab lugas.
Sebuah pukulan mengenai lengannya. Jevan hanya terkekeh pelan, sekeras apapun pukulan yang diberikan oleh Adzkiya, tidak akan pernah terasa sakit baginya.
“Lo bayangin, selama gue pacaran sama dia ni, hampir dua tahun lamanya, bisa diitung kali gue dibolehin tidur sambil meluk dia.”
Yang lainnya ikut terkekeh, terlebih kawan laki-laki Jevan yang tahu benar isi otak seorang Jevander Novanda.
“Makanya gue bilang gue pengen ubah attitudenya Kiya di ranjang, tapi kayaknya nanti kalau udah nikah mah bakal berubah sendiri. Ya kali tidur ama lakinya gak mau dipeluk, iya gak, Sayang?”
Yang ditanyai hanya mengangguk malu-malu.
Malam makin larut. Pintu geser kaca yang membatasi ruang tengah dan halaman belakang sudah ditutup, sebab angin malam semakin kencang berhembus— khawatir akan berakibat buruk untuk si kecil Sergio.
Permainan juga mulai menemui akhir, satu persatu pertanyaan dilontarkan. Ada yang terjawab, ada juga yang tidak. Beberapa botol kaca yang tadinya terisi cairan beralkohol kini mulai tandas, hanya tersisa di gelas masing-masing peserta permainan.
“Oke, pertanyaan terakhir, Kenari....” Raechan melirik gadis yang berada dalam rangkulan Juan itu, “Do you ever fall for Jevan?”
Ada hening yang panjang. Kenari nampak ragu-ragu. Gelas di tangannya tidak berhenti digerak-gerakkan. Debur ombak jauh di sana sama ramainya dengan degup jantung Kenari saat ini. Ingin rasanya gadis itu menyumpal telinga siapa saja yang ada di sini agar tidak mendengarnya.
Ya, dia pernah jatuh hati pada anak tunggal keluarga Novanda itu. Dia ingin mengakui saja perasaannya. Toh, perasaan itu sudah tidak ada lagi. Namun, tatapan mata Adzkiya yang sabar menunggu jawaban bergulir dari bibirnya, membuat Kenari ragu.
Setelah lama menimbang-nimbang, Kenari akhirnya memutuskan. Kanan tangannya mengangkat gelas, hendak menenggak saja minuman di gelasnya.
Tapi... tangan Juan jauh lebih cepat bergerak. Laki-laki itu merebut gelas dari tangan Kenari dan menenggak isinya hingga tandas.
“Bukan Kenari yang gak mau jawab, tapi gue. Gue gak mau tau jawabannya.” Juan berucap setelahnya.
Juan sebenarnya tahu Kenari pernah jatuh hati pada sahabatnya. Juan juga tahu pengakuan Kenari hanya akan membuat gadis itu canggung. Maka dia mengambil inisiatif itu, mewakili Kenari untuk menjawab pertanyaan Raechan. Dengan begitu, Juan bisa melindungi Kenari, juga melindungi perasaan Adzkiya.
“Kayak nonton drama deh gue,” komentar Klarisa.
“Iya, romantis banget Juan.” Jelena menambahkan.
“Ckckck, ternyata jago juga lo ya soal cewek,” ucapan Jaenandra menutup sesi terakhir itu.
Permainan malam itu ditutup tanpa ada satu hatipun yang terluka.