Narasi Pertama
Mikaelo Rian Davis
Awan mendung menaungi bumi di sebuah pagi yang tenang. Diiringi semilir angin yang berhembus membawa udara sejuk yang menenangkan. Seolah mereka sedang merengkuh jiwa-jiwa yang lelah usai bekerja keras selama sepekan.
Gue mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang belum terlalu ramai. Diiringi sebuah lagu romansa ciptaan penyanyi favorite yang terputar di radio. Kendaraan beroda empat itu akan mengantarkan gue ke sebuah apartemen.
Gue tersenyum simpul, meyakini bahwa Saera— gadis pemilik apartemen itu— masih tertidur tenang dalam dekapan selimut berwarna cokelat muda kesukaannya. Dia pasti tidak akan menyangka bahwa gue akan datang sepagi ini. Karena semalam gue sudah mengatakan padanya bahwa gue baru akan datang setelah latihan fisik.
Saat gue menginjakkan kaki di apartemennya, keadaan apartemen ini masih begitu sepi. Tidak ada suara lain selain suara yang berasal dari jam yang terpasang di dinding. Perlahan-perlahan gue mendekati sebuah pintu kamar, membukannya dengan begitu hati-hati agar tak membangungkan pemiliknya.
Benar saja, gadis cantik itu masih berada di ranjang. Meringkuk sambil memeluk sebuah boneka teddy bear yang gue belikan untuknya setahun lalu.
Gue bergerak naik ke atas kasur, memeluk tubuhnya untuk membawa dia semakin dekat dengan gue. Mencium aroma tubuhnya yang telah gue rindukan selama enam hari ke belakang.
Sayangnya, gerakan yang sudah gue coba lakukan dengan begitu pelan itu tetap membuatnya terbangun. Dia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Lalu dia tersenyum dan bergumam pelan, “Kael.”.
“Iya sayang, ini aku.”
Gue memeluk tubuhnya lebih erat, menempelkan bibir gue di keningnya untuk memberikan ciuman singkat. Dada gue terasa kosong, lega. Rindu yang gue tahan sejak enam hari lalu itu terobati dengan sempurna sekarang. Para pujangga itu benar, obat dari rasa rindu hanyalah sebuah pertemuan.
“Kamu udah laper? Mau aku masakin sekarang?” Dia bertanya dengan suara seraknya yang masih kentara.
“Gak usah, nanti aja. Aku lagi butuh yang lain sekarang.”
Jawaban gue membuatnya merenggangkan pelukan kami agar dia bisa menatap gue dan mencari tahu apa maksud perkataan gue barusan. Alisnya berkerut seolah dia menuntut penjelasan.
“Butuh apa?” tanya sekali lagi karena gue tidak kunjung memberi jawaban atas rasa penasarannya.
Dan alih-alih menjawab, gue justru memposisikan tubuh gue untuk berada di atas tubuhnya. Dia terbelalak kaget, tapi sedetik kemudian dia tersenyum karena mengerti apa yang gue butuhkan darinya. “This early morning, Mikaelo?“
Aku tertawa karena pertanyaannya yang terdengar meledek. “Kamu harusnya bersyukur aku bisa nahan selama enam hari, Saera. Aku ulang sekali lagi ya, enam hari.” gue menjawab dengan penekanan di setiap kata yang keluar dari mulut gue.
Sekarang giliran dia yang terkekeh lalu melingkarkan kedua lengannya di leher gue. “Your younger brothers should pay attention to their eldest brother yang dikit-dikit minta......”
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya karena gue lebih dulu membuatnya bungkam dengan cara yang menyenangkan.