Narasi Keenam
Saera Rachel Minanta
Sinar hangat, kicauan burung-burung hingga hembusan angin yang menabrak rambut gue lembut, menyapa gue yang baru saja keluar dari sebuah taxi. Berjalan dengan riang memasuki pekarangan sebuah rumah yang didominasi oleh warna cream dan putih.
Aroma roti panggang langsung tercium dari arah dapur, mengikuti aromnya, gue masuk lebih dalam ke area rumah, hingga menemukan Tante Sasi yang sedang sibuk menuangkan susu cokelat ke dalam beberapa gelas. Senyumnya langung merekah saat menyadari kehadiran gue. Dia berjalan mendekat hingga tubuh gue masuk ke dalam dekapannya, “Tante senang sekali kamu sudah kembali sehat, Nak.” ucapnya lembut.
Setelah sedikit berbasa-basi, gue langsung naik ke lantai dua. Masih dengan perasaan riang, gue membuka sebuah pintu dengan ukiran nama Mikaelo Rian Davis di sisi atasnya.
Berbeda dengan aroma di lantai satu tadi, aroma di ruangan ini didominasi oleh bau parfum khas seoarang anak laki-laki. Kamar ini juga dipenuhi oleh suara dengkurang yang berasal dari pemilik kamar.
Gue tersenyum simpul, menatap kamar yang pernah beberapa kali gue masuki. Tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali gue datang. Lalu gue berjalan ke arah jendela, bermaksud membuka tirai, namun perhatian gue justru jatuh pada sebuah buku yang tergeletak di lantai.
Gue mengambil buku itu dan hendak meletakkannya di meja, namun sebuah foto terjatuh dari sana. Foto seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengan yang Mikaelo miliki saat dia bersekolah di Marinist dulu.
“Cantik.” bisik gue pelan, masih menatap foto itu dengan perasaan kagum.
Selang beberapa detik, gue langsung tersadar kalau tindakan gue ini sudah cukup lancang. Dengan buru-buru gue membuka buku itu untuk mengembalikan fotonya ke tempat semula.
Namun sayang, yang gue temukan justru foto lain dari gadis itu.
Rasa penasaran menguasai diri gue, hingga akhirnya tangan lancang gue membuka buku itu dari lembar pertama.
“I met a girl who likes to eat choco pie at 1 am, like you.
She doesn't has your face, but her smile as pretty as yours.
I talked to her until 4 am, talking about life, and it felt like i'm talking to you.
Do you send her to me, Keith?.”
Kalimat itu ditulis oleh tangan Mikaelo sendiri, gue meyakini itu.
Tangan gue gemetar, memberanikan diri untuk membuka lembar berikutnya. Terus-menerus, hingga sampai pada lembar terakhir yang sepertinya Mikaelo tulis semalam.
“Tahun baru nanti akan jadi tahun ke-3 untuk aku dan Saera.
Tapi aku masih belum bisa menebus rasa bersalahku terhadap kamu. Butuh berapa lama, Keith? Butuh berapa lama lagi?
Aku ingin mencintainya tanpa bayang-bayang kamu lagi.
Tolong aku, Keith. Aku takut. Ada seseorang dari Marinist yang sepertinya tahu masa lalu aku, aku takut dia menceritakannya pada Saera. Aku takut dia bilang pada Saera soal aku dan kamu.
Aku takut Saera tahu tentang kecelakaan yang merenggut nyawa kamu. Aku takut Saera tahu kalau aku pulang ke Indonesia karena lari dari trauma. Aku takut. Tolong aku.“
Buku sialan itu terjatuh dari tangan gue, menimbulkan suara yang cukup keras untuk sekedar membangunkan Mikaelo.
Namun yang tertangkap oleh pendengaran gue hanyalah dengungan yang panjang, dengungan yang menyiksa, dengungan yang menyakiti hingga rasanya gue ingin berteriak.
Pandangan gue membaur, tertutup air mata yang menumpuk di pelupuk mata.
Kenangan tentang Mikaelo terputar seperti sebuah film di kepala gue. Pertemuan pertama kami, pelukan pertama kami, ciuman pertama kami, semua hal-hal menyenangkan yang kami lakukan.
Lalu kumpulan cerita indah itu tergantikan dengan beberapa keping cerita kabur yang nampak jelas sekarang.
Tentang alasan Mikaelo melarang gue belajar mengemudi, tentang dia yang begitu panik saat mendengar gue kecelakaan, tentang dia yang selalu melarang Chandra mengemudi, tentang dia yang tiba-tiba kembali ke Indonesia, tentang senyuman Kak Tian saat mendengar gue menceritakan alasan kepulangan Mikaelo.
Semua adegan itu terputar hingga membuat kepala gue pusing.
“Saera! Saera!” Goncangan pada tubuh gue menyadarkan gue yang hampir jatuh terduduk karena rasa pusing yang menyerang. Samar-samar gue dapat melihat Mikaelo yang menahan tubuh gue dengan kedua tangannya.
“Aku gak punya tenaga untuk nampar kamu sekarang.” bisik gue begitu pelan, namun gue yakin dia masih bisa mendengarnya. “Biarin aku pulang, kita ngobrol nanti. Aku gak mau bikin gaduh di rumah kamu sepagi ini.”
Namun, meskipun mendengarnya, Mikaelo tidak kunjung melepaskan pegangannya. Dia justru memaksa gue untuk menatap matanya dan berkata, “Gak, Ra. Aku gak akan biarin kamu pulang dalam keadaan kayak gini. Liat aku.“
Dan gue memutuskan untuk menatap matanya, mata yang selama ini gue yakini selalu menatap gue dengan penuh cinta. Tapi sekarang, mata itu tampak begitu menjijikkan untuk gue tatap.
“Aku bisa jelasin, Ra. Buku itu—–” Ucapan Mikaelo tidak selesai, karena tamparan keras mendarat lebih dulu di pipi kanannya.
“Buku itu udah jelasin semuanya, El. Setiap detailnya udah kamu tulis disana.”
Dia diam, membiarkan gue terus bicara.
“Seharusnya dari awal aku tau, El. Cinta yang kamu kasih ke aku itu gak wajar. Cinta yang kamu kasih itu terlalu sempurna.” Kalimat yang gue ucapkan gue barusan membuat pegangan tangannya mengendur. “Tapi alasan dibaliknya ngebuat semuanya cacat, cinta yang kamu kasih ke aku ternyata cuma cinta yang cacat.”
Seperti orang bodoh, gue menampar pipi gue sendiri, “Seharusnya aku sadar lebih cepat, seharusnya aku sadar kalau rasa panik kamu liat aku kecelakaan itu bukan karena kamu takut kehilangan aku sebagai pacar kamu, tapi kamu takut kehilangan OBJEK PENEBUSAN DOSA KAMU!”
Mikaelo terus diam, sekarang pegangan tangannya pada tubuh gue sudah terlepas sepenuhnya.
“Tiga tahun, El! Nyaris tiga tahun! Selama itu kamu buat aku jadi boneka kamu! Aku harap kamu puas. Dan makasih buat semuanya.”
Mikaelo tetap diam, bahkan ketika gue keluar dari kamarnya.