Narasi Ketiga

Saera Rachel Minanta

Helaan nafas terdengar sekali lagi sebelum tangan gue terangkat untuk mengetuk pintu sebuah ruangan yang gue yakini sebagai ruangan milik Head Marketing dari sebuah perusahaan yang akan menjadi objek penelitian untuk skripsi gue.

Tok. Tok. Tok.

Hanya tiga ketukan yang gue butuhkam untuk mendapat sahutan ramah dari dalam ruangan. Dengan perlahan gue membuka pintu ruangan dan mendapati seorang pria yang menatap gue sambil tersenyum dari balik komputer kerjanya.

“Hei, masuk, masuk! Saera, ya?” tanyanya antusias sembari bangkit dari kursi kerja dan berpindah ke sebuah sofa yang terletak di pojok ruangan.

Dengan sopan gue menunduk dan tersenyum ke arahnya kemudian berjalan masuk dan ikut duduk di sofa yang bersebrangan dengan Head Marketing Redirgo Group, yang gue ketahui namanya sebagai Tiandanu Redirgo Amidjaya.

Aroma musk bercampur dengan manisnya aroma vanila yang tercium dari ruangan ini memanjakan indera penciuman gue.

“Sebelum kita ngobrol, gue boleh protes dulu gak? Gue geli banget waktu baca chat lo, aduh, jangan panggil gue bapak ya, Sae? Gue masih muda njir.” dan santainya aura yang terpancar dari seorang Tiandanu membuat diri gue tenang, karena akhirnya gue tahu, kalau gue akan berurusan dengan seseorang sesantai dia.

Obrolan kami mengalir begitu saja, membahas tentang apa-apa saja yang gue butuhkan dari Redirgo Group hingga apa-apa saja yang dapat dia berikan kepada gue untuk membantu terselesaikannya skripsi gue nanti.

Lalu obrolan kami teralih membahas hal-hal lain yang berkaitan dengan diri kami masing-masing. Tiandanu, atau sekarang gue bisa memanggilnya dengan sebutan Kak Tian, dengan semangat menceritakan bagaimana dulu dia merasa kesulitan saat menggarap tugas akhirnya.

“Jadi nanti, kalau lo ada kesulitan tanya-tanya gue aja, santai.” Dia menutup kalimatnya dengan senyuman yang masih sama sejak dia menyapa gue tadi. “Eh btw, gue baru tau Om Davis punya anak perempuan.”

“Gue bukan bagian dari keluarga Davis, Kak.”

Dahi Kak Tian mengerut, kebingungan. Lalu dia menatap gue dengan tatapan menuntut penjelasan yang lebih jelas.

“Gue temen deket anak pertamanya Om Davis.” perjelas gue pada akhirnya. Dia diam sebentar, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia dapatkan. “Oh pantesan Mikaelo yang hubungin gue langsung, gue kira lo adiknya, tapi ternyata pacarnya, ya? Hahahaha.”

Gue hanya memberinya senyuman sebagai jawaban. Perkataan Kak Tian membuat perasaan gue menghangat sekali lagi. Mengingat bagaimana baiknya Mikaelo yang mau repot-repot membantu skripsi gue di saat skripsinya sendiripun belum dimulai.

“Ngomong-ngomong, Kak Tian kenal dekat sama Kael?”

“Hmmm.” Kak Tian menyeret bola matanya ke sudut kanan atas, tampak berfikir untuk menjawab pertanyaan sederhana yang gue berikan padanya. “Kenalnya sih ya pas si Kael hubungin gue kemarin, tapi gue tau dia dari pas kita sama-sama di Marinist. Ayah gue bilang ada anak temennya yang mau masuk Marinist, tapi belum sampe gue kenalan sama dia, eh gue keburu lulus, jadi ya sekedar tau aja.”

“Jadi belum sampek kenal deket gitu ya, Kak?”

“Belum.” Kak Tian tersenyum simpul, “Pas gue kuliah dan dia masuk SMA, gue pernah coba cari dia lagi, tapi ternyata dia udah balik ke Indonesia.”

“Ah, iya, dia pernah cerita katanya gak kuat nahan homesick makanya balik ke Indonesia sebelum sekolahnya selesai. Dan akhirnya lanjut SMA disini, Kak.”

Ada yang berubah dari senyum Kak Tian saat mendengar ucapan gue, tapi senyumannya terlalu misterius hingga sulit bagi gue untuk mengartikan senyumannya.