petrichorslines

Mikaelo Rian Davis

Awan mendung menaungi bumi di sebuah pagi yang tenang. Diiringi semilir angin yang berhembus membawa udara sejuk yang menenangkan. Seolah mereka sedang merengkuh jiwa-jiwa yang lelah usai bekerja keras selama sepekan.

Aku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang belum terlalu ramai. Diiringi sebuah lagu romansa ciptaan penyanyi favoriteku yang terputar di radio. Kendaraan beroda empat itu akan mengantarkan ku ke sebuah apartemen.

Gue tersenyum simpul, meyakini bahwa Saera— gadis pemilik apartemen itu— masih tertidur tenang dalam dekapan selimut berwarna cokelat muda kesukaannya. Dia pasti tidak akan menyangka bahwa gue akan datang sepagi ini. Karena semalam gue sudah mengatakan padanya bahwa gue baru akan datang setelah latihan fisik.

Saat gue menginjakkan kaki di apartemennya, keadaan apartemen ini masih begitu sepi. Tidak ada suara lain selain suara yang berasal dari jam yang terpasang di dinding. Perlahan-perlahan gue mendekati sebuah pintu kamar, membukannya dengan begitu hati-hati agar tak membangungkan pemiliknya.

Benar saja, gadis cantik itu masih berada di ranjang. Meringkuk sambil memeluk sebuah boneka teddy bear yang gue belikan untuknya setahun lalu.

Gue bergerak naik ke atas kasur, memeluk tubuhnya untuk membawa dia semakin dekat dengan gue. Mencium aroma tubuhnya yang telah gue rindukan selama enam hari ke belakang.

Sayangnya, gerakan yang sudah gue coba lakukan dengan begitu pelan itu tetap membuatnya terbangun. Dia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Lalu dia tersenyum dan bergumam pelan, “Kael.”.

“Iya sayang, ini aku.”

Gue memeluk tubuhnya lebih erat, menempelkan bibir gue di keningnya untuk memberikan ciuman singkat. Dada gue terasa kosong, lega. Rindu yang gue tahan sejak enam hari lalu itu terobati dengan sempurna sekarang. Para pujangga itu benar, obat dari rasa rindu hanyalah sebuah pertemuan.

“Kamu udah laper? Mau aku masakin sekarang?” Dia bertanya dengan suara seraknya yang masih kentara.

“Gak usah, nanti aja. Aku lagi butuh yang lain sekarang.”

Jawaban gue membuatnya merenggangkan pelukan kami agar dia bisa menatap gue dan mencari tahu apa maksud perkataan gue barusan. Alisnya berkerut seolah dia menuntut penjelasan.

“Butuh apa?” tanya sekali lagi karena gue tidak kunjung memberi jawaban atas rasa penasarannya.

Dan alih-alih menjawab, gue justru memposisikan tubuh gue untuk berada di atas tubuhnya. Dia terbelalak kaget, tapi sedetik kemudian dia tersenyum karena mengerti apa yang gue butuhkan darinya. “This early morning, Mikaelo?

Aku tertawa karena pertanyaannya yang terdengar meledek. “Kamu harusnya bersyukur aku bisa nahan selama enam hari, Saera. Aku ulang sekali lagi ya, enam hari.” gue menjawab dengan penekanan di setiap kata yang keluar dari mulut gue.

Sekarang giliran dia yang terkekeh lalu melingkarkan kedua lengannya di leher gue. “Your younger brothers should pay attention to their eldest brother yang dikit-dikit minta......”

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya karena gue lebih dulu membuatnya bungkam dengan cara yang menyenangkan.

Saera Minanta

Akan ku perkenalkan kamu dengan kisahku yang tidak biasa. Tidak begitu spesial, hanya sedikit berbeda dengan orang kebanyakan. Aku menganggapnya sebagai perjalanan hidup yang menyenangkan. Meskipun aku belum siap untuk akhir yang telah disiapkan oleh takdir.

Kisahku bermula dari sebuah event dimana aku bertemu dengan seseorang yang telah lama aku puja. Kami bercakap melalui sambungan telepon genggam. Menatap wajah masing-masing di balik layar. Dia sebagai seorang bintang dan aku sebagai penggemarnya.

Lalu kisah kami berlanjut dari sana, saat dia menuliskan nama akun pribadinya. Memintaku untuk mengujungi laman rahasia itu untuk sekedar bertegur sapa. Lalu semuanya beranjak semakin jauh, saat kami bisa bertemu dan menatap wajah masing-masing tanpa penghalang.

Senyumnya tetap sama, teduh dan menenangkan. Hanya saja, wajah tampannya terlihat jauh lebih indah ditangkap dengan kornea mata. Dia benar-benar tampan.

Dan kepribadiannya, tidak jauh berbeda dengan apa yang dia tampilkan di layar kaca. Tidak persis sama tapi justru jauh lebih baik.

Dan sejak hari itu, aku tidak lagi mengenalnya sebagai Mikaelo anggota “Maraka”. Yang ku kenal adalah Mikaelo Haidar Barie, pria berumur dua ratus dua puluh dua tahun. Dua ratus tahun lebih tua dari yang orang lain tahu.

Ya, dialah Mikaelo, vampire tampan yang memilih pekerjaan sebagai seorang penghibur. Karena ia sudah cukup kesepian bersembunyi di gedung tua pencakar langit yang terletak di tengah-tengah kota.

Kini keramaian ada di sekelilingnya. Dan dia bahagia.

Kayana

Ayah gue bekerja di salah satu kantor besar yang jam kerjanya tidak pernah lebih dari jam lima sore dan ibu gue adalah ibu rumah tangga yang menghabiskan hampir seluruh harinya di rumah. Hal tersebut menjadikan gue sebagai manusia terakhir yang pulang ke rumah ini.

Tapi meskipun begitu, gue selalu berusaha untuk pulang sebelum jam makan malam, karena bagi gue makan malam adalah waktu paling baik untuk bercengkrama dengan mereka. Sebagai seorang anak tunggal, gue tidak ingin ibu dan ayah merasa kehilangan sosok anaknya yang beranjak dewasa dan mulai sibuk dengan hidupnya sendiri.

Tapi malam ini, gue merasa terkejut bukan main saat mobil gue masuk ke pekerangan rumah. Di sana sudah terparkir sebuah mobil yang gue kenali, mobil yang kemarin malam membawa gue ke sebuah restoran.

“Sebentar, ini dia gak beneran dateng kan?” Dengan panik gue turun ke mobil dan berlari ke rumah. Berdoa dalam hati agar perkiraan gue salah.

Tapi sialnya, keberuntungan sedang tidak berkawan baik dengan gue hari ini. Sosok yang gue takuti sudah duduk dengan manis di samping ayah. Menyesap sedikit kopinya sambil sesekali mengomentari pertandingan bulu tangkis yang sedang mereka tonton.

“Wah, Om, gila juga ya si Kevin itu.”

Gue semakin terkejut saat ucapannya itu masuk dengan begitu jelas ke telinga gue. Gue tidak menangkap adanya nada takut atau malu-malu dalam suaranya. Dia berbicara begitu tenang dan santai.

Smash! OKE!!! MENANG RAE!!”

Mata gue terbelalak saat gue melihat mereka melakukan tos dan kemudian saling merangkul satu sama lain. Mereka tidak tampak seperti dua orang yang baru saja saling mengenal.

“Eh makan dulu lah kita, Rae! Sambil nungguin Kayana pulang. Bu, makanannya udah—– loh ini dia udah pulang!”

Ayah baru menyadari kehadiran gue saat beliau berdiri dari duduknya dan hendak berjalan ke arah meja makan. Di sampingnya terlihat Raechan berjalan dengan santai sambil menaikkan sebelah alis. “Kamu ini kok gak bilang-bilang punya temen kayak Raechan! Sering-sering ajak dia kemari!” Ayah mengacak-acak rambut gue pelan kemudian melanjutkan langkahnya untuk menuju meja makan.

“Lo ngapain di sini?” tanya gue cepat, namun masih dengan suara pelan karena gue takut ayah dan ibu dengar.

“Makan malam, lah. Kan kemarin Kak Kayana undang.” jawabnya santai, masih dengan sebelah alisnya yang terangkat.

Gue menghela nafas kesal, menahan tangannya agar ia berhenti melangkah. “Gue gak pernah ngundang lo, dan gue juga gak suka lo dateng ke rumah gue tanpa izin! Bisa gak lo berhenti bersikap seenak——”

Ucapan gue tidak selesai karena dia memotong ucapan gue dengan berbisik, “Saya cuma akan minta izin untuk dua hal, Kak. Ketika saya akan mencium Kak Kayana untuk pertama kali dan ketika saya butuh izin dari orang tua Kak Kayana ketika kita akan menikah. Hanya itu. Jadi bersiaplah untuk hal-hal yang akan saya lakukan tanpa izin.”

Pegangan tangan gue mengendur, terlalu terkejut dengan kalimat yang Raechan ucapkan barusan.

“Ay, weekend besok Ayah sama Raechan mau main golf bareng, kamu sama Ibu ikut, ya?”

Gue terlalu sibuk dengan pikiran gue sendiri hingga mengabaikan pertanyaan ayah barusan.

Raechan

Bau matahari yang berasal dari tubuh mahasiswa yang baru saja selesai dari kelas mereka masing-masing bercampur dengan bau pengharum ruangan di ruangan ber-AC yang sesak. Mata-mata sayup dan helaan nafas lelah dapat gue lihat dan dengar dari sana-sini. Beberapa dari mereka bahkan menguap dengan terang-terangan tanpa mau repot-repot menutup mulut mereka dengan sebelah tangan.

“Hahahahah capek, ya? Sabar ya, sebentar lagi Pak Wishnu dateng kok. Kalian kalau ada yang bawa makanan, makan aja dulu gak papa.“  Gadis cantik di depan sana tersenyum seraya merapihkan beberapa kertas yang ada di tangannya.

Kayana— Gadis itu— Dia masih tampak begitu cantik dan segar. Berbanding terbalik dengan keadaan gue yang sudah mulai kumal dan bau badan.

“Rae, mau gak?” Bisikan lembut dari arah samping membuat gue menolehkan wajah, menatap malas ke arah Klarisa yang menyodorkan sebungkus permen karet. “Gak ada yang lain? Nasi padang gitu kek.” tanya gue dengan malas, masih juga mempertahankan wajah malas gue kepada Klarisa.

“Nih jigong gue mau? Rasa nasi padang kok soalnya tadi siang Jaenandra ajak gue makan nasi padang.” jawabnya menyebalkan.

“Jorok lo!” hardik gue ketus, menambahkan sedikit toyoran untuk kepala Klarisa di akhir hardikan gue.

“Selamat pagi, Pak.”

Sapaan sopan yang serempak itu menyadarkan gue kalau pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok pria berkemeja putih yang terlihat terburu-buru. Beliau duduk di kursi yang telah disiapkan, menatap kami satu-persatu seolah berusaha menguasai seisi ruangan.

“Maaf, ya, saya tadi harus ke kelas dulu.” Beliau membuka briefing sore ini dengan permintaan maaf lalu melanjutkan, “Jadi gimana? Yang lolos seleksi pertama segini nih ya?”

Lalu briefing dimulai dari sana, membahas hal-hal yang berkaitan dengan keanggotaan. Telinga gue fokus pada penjelasan Pak Wishnu tapi sayangnya indera penglihatan gue justru tertaut pada figure cantik yang juga ikut mendengarkan penjelasan Pak Wishnu.

Hati gue berdesir tiap kali dia mengulas senyum, mengangguk setuju ataupun menyanggah dan berpendapat. Dia tampak sempurna dalam segala hal yang dia lakukan. Bahkan gue mengagumi bagaimana jari-jari cantiknya bekerja sama ketika Kayana mengikat rambut hitam panjangnya.

Kayana terlalu cantik untuk sekedar dipandangi, gadis seperti dia lebih layak untuk dijaga dan dilindungi. Gue bahkan tidak memperdulikan peringatan Kak Kiyo yang mengatakan bahwa Kayana tipikal wanita yang berdiri untuk dirinya sendiri.

Karena gue, Raechan Leenandar, merasa percaya diri bahwa gue tahu cara memperlakukan wanita secantik dia dengan baik.

Lama briefing itu berlangsung, hingga akhirnya Pak Wishnu beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruangan.

“Sebelum saya tutup, kalau ada yang mau ditanyakan boleh ya.”

Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, tangan kanan gue terangkat untuk mencuri perhatian Kayana. Dia menatap gue sebentar kemudian berkata, “Boleh silahkan sampaikan pertanyaannya.”

“Selamat sore, Kak. Perkenalkan saya Raechan, yang dua minggu lalu minta waktu Kak Kayana untuk menanyakan beberapa hal. Malam ini, bisa saya sampaikan pertanyaannya? Mungkin kita bisa ngobrol sambil makan malam?”

Kayana tertegun, menatap gue lamat-lamat. Gue membalas tatapannya, mengabaikan suara riuh dari teman-teman seangkatan gue yang terkejut karena ulah gue barusan.

Vivian

Menjadi seorang Dokter adalah jawaban paling umum yang bisa gue dengar ketika pertanyaan mengenai cita-cita dilayangkan pada anak kecil. Karena dengan pemikiran sederhana mereka, pekerjaan yang dapat menyembuhkan orang lain itu terlihat begitu mulia dan keren.

Tanpa mengetahui bahwa beberapa dari para Dokter hebat itu terlalu sibuk untuk menyembuhkan orang lain hingga lupa untuk menyembuhkan luka mereka sendiri.

Entah luka fisik, atau bahkan luka hati.

“Gak masuk, Kak?”

Suara Juwan tidak begitu keras, tapi tetap saja membuat gue terperanjat karena kehadirannya yang tiba-tiba. Mengagetkan gue yang sedang berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka. Mengintip ke area istirahat dokter dimana Garend sedang bersama Adzkiya di dalam sana.

“Hmm, enggak, takut ganggu.” Menampilkan senyum sambil membalas pertanyaan Juwan barusan, berusaha mengusir resah yang sempat hinggap dalam dada.

“Lagi sama Kak Kiya ya?” tanyanya lagi, masih dengan suara berbisik.

“Iya, lagi makan siang bareng tuh mereka hehe. Eh, kamu udah makan? Mau makan bareng?”

Juwan diam, menatap gue dalam-dalam. Kemudian tatapannya berubah menyelidik, mengerutkan keningnya hingga alis matanya hampir menyatu.

“Kenapa sih ih?” Gue terkekeh pelan, menikmati bagaimana wajahnya terlihat begitu aneh namun menggemaskan.

“Gak usah sok ngajak makan bareng, deh. Aku yakin Kak Vivian gak akan sanggup nelen nasi.”

Gue terkekeh lagi, mentertawakan perkataan Juwan yang tepat sasaran.

Mentertawakan diri gue sendiri yang selalu berusaha lari dari rasa sakit.

“Kak, mau sampai kapan?” Juwan bertanya pasrah, tidak ada nada menuntut penjelasan dalam pertanyaannya. Seolah dia tahu kalau gue pun tidak akan menjawab pertanyaannya yang satu itu.

Tapi Juwan adalah anak yang keras kepala, dia menghujani gue dengan pertanyaan tanpa jawaban lainnya. “Mau sampai kapan, Kak, kayak gini sama Bang Garend?”

Lalu pertanyaan tanpa jawaban itu berputar di kepala gue, terus berulang seperti kaset kusut yang menyebalkan.

Bahkan, pertanyaan tanpa jawaban dari Juwan itu menghasilkan banyak pertanyaan lain dari gue untuk diri gue sendiri. “Sampai kapan, Vi? Sampai kapan mau begini? Sampai kapan mau nahan diri buat milikin Garend? Sampai Garend seutuhnya balik ke Adzkiya?”

Dan berisiknya pertanyaan yang ada di kepala gue itu menuntun tangan gue untuk bergerak mendorong pintu. Membuat ruang yang lebih luas agar gue bisa masuk ke dalam sana, berdiri di hadapan mereka yang sedang asik bercengkrama.

Ingin rasanya gue menarik tangan Garend agar menjauh dari Adzkiya, membawanya kembali ke negara asing yang dimana hanya ada kami berdua. Dimana Garend bisa gue miliki sepenuhnya.

“Kenapa, Vi?”

“Ah..... ini... mau ngasih tau kalau pasien di kamar nomor lima perbannya udah gue ganti. Maaf jadi ganggu kalian.”

Tapi semua itu hanya ada di angan-angan gue. Tanpa berani gue realisasikan.

Karena Garend, dia tampak jauh lebih baik berada di sebelah Adzkiya. Gadis cantik yang berani jujur pada perasaannya sendiri. Bukan pecundang yang menikmati rasa sakit seperti gue.

Alwandanu's Pov

Teringat obrolan dengan seorang teman di sebuah sore yang temaram,

“Kadang gue masih gak ngerti deh, Wan, kenapa akhirnya lo lebih pilih Radista.”

Saat itu, aku hanya diam. Menatap datar ke arah semburat orange yang semakin menggelap. Menghantarkan burung-burung ke peraduan, juga beberapa petani di perkebunan teh yang beranjak pulang.

Saat itu, tidak terbesit sedikitpun jawaban di otakku. Jawaban yang kiranya bisa memuaskan hasrat penasaran teman ku itu.

Saat itu, yang terfikir olehku hanyalah keyakinan bahwa aku merasa aman untuk menghabiskan sisa umurku dengan Radista. Tapi aku yakin, jawaban itu tidak akan cukup baik untuk aku berikan kepada Javi.

Javi, seorang teman yang meyakini bahwa Theana akan lebih cocok untuk aku. Seorang teman yang merasa bersalah karena menjadi sebab perpisahanku dengan Theana. Hingga aku harus pergi jauh dari negara ini dan pelan-pelan tanpa sadar menggeser posisi Theana di hati ku.

Mungkin sebagian dari kalian, yang juga mengikuti kisahku akan merasakan rasa penasaran yang sama dengan Javi. Dan bahkan mungkin juga, sebagian dari kalian juga tidak setuju dengan keputusanku untuk memilih Radista.

Tapi dia, gadis sederhana yang dengan sabar menemaniku dan membantuku untuk bangkit. Bahkan ketika dia sendiripun kesulitan untuk berdiri di atas kedua kakinya sendiri.

Gadis sederhana yang rela memelukku ketika aku bermimpi buruk, gadis sederhana yang rela belajar memasak di tengah-tengah jadwal sibuknya sebagai seorang dokter.

Atau bisakah aku bilang bahwa dia gadis bodoh?

Gadis bodoh yang hanya tersenyum saat tanpa sadar aku membisikkan nama lain ketika aku mencapai puncak pelepasanku.

Gadis bodoh yang malah mendorongku untuk kembali pada seorang gadis yang dia yakini masih berada di hatiku.

Tanpa Radista sadari, semakin aku berusaha kembali kepada gadis itu, justru semakin besar juga keinginanku untuk memilihnya. Keinginan untuk meyakinkannya bahwa tak ada lagi tempat aku kembali.

Karena rumah baruku jauh lebih nyaman.

Karena rumah baru itu membuat aku merasa di terima sepenuhnya.

Rumah baru itu membuatku merasa bahwa aku adalah satu-satunya pemiliknya.

Dan akhirnya dia mengerti, ketika aku tidak lagi menyebut nama lain ketika kami bercinta. Hanya namanya.

“Radista Ayumi Derovano.”

Dia, perempuan yang akhirnya mencuri nama belakangku. Menyatukan nama itu dengan namanya, yang kemudian nanti akan digunakan pula untuk anak-anak kami.

Tentang Garend dan Adzkiya

Adzkiya

Ibu pengasuh di panti asuhan tempat gue tinggal dulu pernah berkata,

“Ketika tidak ada lagi tempat untuk kamu bercerita, tulislah saja keresahanmu di atas sebuah kertas. Dia akan jadi tempat paling aman. Dia hanya akan mendengarkanmu, tanpa mencoba mengerti, apa lagi mengadili.”

Sejak itu, entah sudah berapa lembar kertas yang telah gue habiskan untuk melepaskan segala keresahan yang mengganggu gue. Mungkin seratus, lima ratus, atau bahkan ribuan kertas.

“Menulis lagi?” Suara lembut nan keibuan itu masuk dengan begitu sopan ke telinga gue, membuat atensi gue yang tadinya terarah pada buku harian menjadi terarah sepenuhnya kepadanya. “Puisi? Atau curhatan hati?” tebaknya.

“Puisi, Bu. Tadi Kiya liat ada bunga bagus di depan, jadi terinspirasi hehehe.”

Bu Malika mendekat, membawa figurnya yang tenang duduk di sebelah gue. “Ibu senang kamu datang ke sini, Ki.”

Mungkin rasa senang Bu Malika setara dengan rasa senang gue karena beliau masih menerima gue sama hangatnya dengan pertemuan pertama kami dulu.

Tanpa bertanya kenapa gue datang, tanpa bertanya luka apa yang sedang gue simpan, dia hanya menyambut gue dengan kedua tangannya yang terbuka lebar.

Kami saling bertatapan, lama. Hingga tiba-tiba Bu Malika terperanjat dan berkata, “Ibu sampai lupa, ada yang mencari kamu di depan.”

“Siapa?”

“Namanya Garend.”

Nama itu lagi, nama yang masih saja membuat hati gue nyeri tiap kali gue mendengarnya. Tapi tetap saja, rasa penasaran akan alasan kedatangannya masih membuat gue berjalan ke depan untuk menemuinya.

“Kiya.”

Dia duduk di ruang tamu dengan sebelah tangannya memegang sebuah kotak kecil yang entah apa isinya. Ketika gue duduk di seberang kursinya, dia langsung meletakkan kotak itu di atas meja. “Apa kabar?” tanyanya.

“Gini-gini aja, Rend.” balas gue singkat.

Dia tampak gelisah, tidak seperti Garend yang gue kenal— Garend yang selalu tenang.

“Ki, gue....hmmm.. gue..” Dia terlalu gelisah dan gugup, membuat gue tidak sabar dan memotong ucapannya. “Gak usah gugup gitu, Rend. Santai, santai, ada apa?”

Dia tersenyum kemudian mengangguk. “Ini, maaf gue lancang karena ke sini tanpa bilang sama lo dulu. Gue tahu lo di sini dari Lucia.” Kemudian dia mendorong pelan kotak kecil itu ke arah gue dengan begitu pelan. “Buat lo, Ki.”

Gue tidak menjawab ucapan Garend namun sebelah tangan gue bergerak untuk mengambil kotak itu dan membukanya. Sebuah kalung cantik dengan liontin berentuk “^” menyapa gue.

“Ini.... apa, Rend?” Pertanyaan bodoh sebenarnya, karena seharusnya sudah jelas itu adalah sebuah kalung. Tapi gue ingin memastikan, apa tujuannya datang ke sini dengan membawa kalung ini.

Bukannya menjawab pertanyaan gue, dia justru memberikan pertanyaan lain. “Suka gak?”

“Suka.”

Ada hening yang panjang setelah jawaban gue itu. Garend belum bersuara lagi hingga rasa penasaran gue naik hingga level teratas. Dan gue merasa keheningan ini tidak benar. “Ini...buat gue?” tanya gue pada akhirnya.

“Iya. Hmmm, Ki, sebelum Bunda pergi, ternyata Bunda sempat ke toko perhiasan sama Ayah dan Ica. She made couple necklace.” Garend menatap gue sebelum melanjutkan. “Kalung itu bukan untuk pasangan kayak biasanya, tapi kalung itu, kalung persahabatan.”

Gue mengerutkan alis, menatap Garend dengan ekspresi menuntut penjelasan yang lebih panjang lagi.

“Kalung yang ada di tangan lo sekarang, liontinnya berbentuk huruf A, Ki. Tapi kalau lo coba balik liontinnya, itu jadi huruf V.” Perlahan-lahan, gue mulai mengerti kemana arah pembicaraan kami.

Liontin ini, liontin untuk inisial nama gue dan Vivian. Bunda memesan perhiasaan ini secara khusus untuk kami berdua.

“Rasa sayang Bunda ke kalian berdua sama besarnya, Ki.”

Ada air mata yang menetes dari sudut mata gue ketika Garend menyelesaikan kalimatnya. Ada perasaan bersalah yang begitu kuat hingga membuat dada gue sesak. Perasaan bersalah karena sempat mengira bahwa Bunda lebih menyukai Vivian hingga akhirnya Garend pun juga memilih Vivian. Perasaan bersalah karena sempat mengira bahwa Bunda sudah tidak menyayangi gue seperti dulu.

Perasaan bersalah karena ternyata dugaan menjijikkan gue itu salah.

“Gue juga ke sini untuk minta maaf, maaf karena gue gak bisa seadil Bunda untuk sayang sama kalian.”