Narasi Kelima
Saera Rachel Minanta
Sinar matahari mencorong menembus jendela kaca, menerpa mata yang baru saja gue buka dengan susah payah. Gue berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk.
Gue diam sebentar, merasakan perih dari beberapa sisi di wajah gue. Gue merabanya pelan, mendapati sebuah perban menempel di kening gue.
Ah, gue teringat tentang kecelakaan kemarin. Sebenarnya bukan kecelakaan besar, hanya Chandra yang terlalu bersemangat menginjak gas mobilnya hingga menabrak dinding tinggi yang menjadi pembatas lapangan parkir.
Gue hendak meraih ponsel di meja nakas saat menyadari ada sebuah tangan kekar yang mengenggam telapak tangan kanan gue.
Mikaelo, dia tertidur dengan posisi terduduk. Terlihat sangat tidak nyaman. Punggungnya terbungkuk karena dia harus meletakkan kepalanya di sisi kasur. Lalu sebelah tangannya dia gunakan untuk penyangga kepala, sedangkan sebelah tangannya yang lain dia gunakan untuk mengenggam tangan gue.
Gue melepaskan genggaman itu untuk bergerak mengelus rambutnya. Memberikan pijatan kecil di area belakang lehernya dengan sangat pelan. Sayangnya, Mikaelo masih saja terbangun karena gerakan itu.
“Saera.” Suaranya terderak begitu berat dan serak, suara yang hanya dia miliki ketika baru saja bangun. Dia langsung menegakkan posisi tubuhnya, meraih tangan gue lagi untuk dia genggam.
Matanya menatap gue khawatir, sebelah tangannya menangkup sisi wajah gue, memberikan usapan beberapa kali di sana, “Apa yang sakit, Sayang? Kepala kamu masih sakit?” tanyanya dengan nada khawatir yang begitu kentara.
“Enggak, cuma perih aja lukanya.” Gue menambahkan senyuman di akhir kalimat, berusaha menghapus raut wajah khawatir yang masih terlukis jelas di wajahnya.
“Chandra sama Reky dimana? Mereka baik-baik aja, kan?”
Mikaelo tampak diam sebentar sebelum menjawab, “Mereka di rumah, gak luka sama sekali.”
“Glad to know that, jangan terlalu kasar waktu negur mereka, ya? Itu juga salah aku, aku yang paling dewasa di antara mereka waktu itu, seharusnya aku bisa larang mereka buat gak coba-coba.”
Mikaelo hanya mengangguk sebagai jawabannya, “Kamu mau makan apa? Aku beliin ke depan, ya? Atau mau order aja?”
“Enggak.” Gue tersenyum lagi, menatap matanya dalam-dalam. “Sini naik, aku mau dipeluk aja.”
Mikaelo tidak langsung bergerak, dia masih saja menatap gue dalam diam. Entah apa yang dia pikirkan, tatapannya terlalu sulit untuk gue artikan.
Lalu gue menepuk-nepuk sisi kasur yang kosong, “Hei, sini, kok malah bengong.”
Dan akhirnya dia tersenyum dan mengangguk, melepas sepatunya kemudian naik ke atas kasur. Membawa gue ke dalam pelukannya yang selalu hangat.
Cukup seperti ini, gue hanya butuh ini.
Untuk mengabaikan luka perih dan rasa pusing yang gue sembunyikan,
untuk menyingkirkan banyaknya pertanyaan tentang dia dan makan malam dengan keluarga Redirgo,
dan untuk menghapus rasa penasaran kenapa dia tidak mau mengemudi di jalanan Singapore.