Narasi Kedua

Saera Rachel Minanta

Gue berulang kali mengecek jam tangan dan ponsel secara bergantian. Mencoba mencari tahu sudah berapa lama gue terduduk di water closet di salah satu bilik toilet kampus. Sekarang sudah pukul enam sore, artinya sudah sekitar empat puluh lima menit gue berada di sini.

Ponsel gue bergetar sekali lagi, menandakan ada panggilan masuk yang entah sudah ke berapa kali. Nama Jema tertera di layar, tapi gue terlalu malu untuk menjawab panggilan itu.

Noda merah di bagian belakang dress putih ini membuat gue terlalu malu untuk bertemu dengan adik kekasih gue itu. Mungkin dia tidak akan mengolok-olok, tapi naluri gue sebagai perempuan tetap mengambil alih sebagian besar pikiran gue.

Hingga akhirnya gue memutuskan untuk tetap diam disini dan menunggu Mikaelo selesai meeting dengan papanya. Mungkin satu atau dua jam lagi, batin gue dalam hati.

Jam terus berjalan, kini panggilan dari Jema telah berhenti datang. Mungkin saja dia sudah pulang karena gue tidak kunjung membalas pesan ataupun nenjawab panggilan darinya. Gue akan meminta maaf padanya nanti, meminta maaf karena telah membuatnya menunggu tanpa kabar.

Gue terus menunggu dalam keheningan dan sedikit rasa takut. Bohong kalau gue tidak takut berada di toilet sendirian pada jam-jam seperti ini. Tapi gue juga tidak cukup berani untuk keluar dari toilet karena gue tahu, masih ada beberapa mahasiswa yang lalu-lalang di kampus bahkan hingga malam.

Sebuah pesan muncul di layar ponsel gue, membuat gue sedikit tersenyum karena itu berasal dari Mikaelo. Seperti biasa, Mikaelo dengan segala kepekaan dan kelembutannya. Dia bisa diandalkan.

Sekian menit terlewat hingga akhirnya gue mendengar suara pintu bilik toilet diketuk, lalu disusul suara lembut yang menenangkan. “Sayang, Saera, ini aku.”

Dengan perasaan lega, gue buru-buru membuka pintu itu dan mendapatinya berdiri dengan beberapa tas belanja di tangannya. Dia tersenyum kepada gue seraya tangannya menyerahkan barang-barang itu. “Pake gih, aku tunggu di luar ya.” Dia mengecup kening gue sekilas kemudian keluar dari toilet.

“Lucunya pacar aku pake hoodie pink.” Sapaan dari Mikaelo menyambut gue saat baru saja keluar dari toilet setelah berganti pakaian. Dia mendekat kemudian merengkuh tubuh gue ke dalam pelukannya, “Kamu pasti takut ya tadi sendirian disana. Maaf ya aku lupa hari ini tanggal bulanan kamu.”

Ada perasaan hangat yang menjalar di dada gue ketika mendengar perkataan Mikaelo, bagaimana dia meminta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahannya.

“Enggak, El. Bukan salah kamu, aku sendiri aja lupa kalau hari ini tanggal bulanan aku. Justru aku yang makasih sama kamu, makasih buat ini semua.”

Dia mengelus punggung gue sebagai jawaban, lalu sekali lagi dia mengecup kening gue dengan lembut. “Yaudah, sekarang kita main yuk? Biar kamu gak bete. Mau kemana?”

Dan dengan senyum yang mengembang, Mikaelo menggandeng tangan gue untuk membawa gue ke tempat-tempat menyenangkan bersamanya.