Narasi Keempat

Mikaelo Rian Davis

Perasaan khawatir dan pikiran yang berkecamuk membuat jantung gue berdetak lebih cepat dari biasanya. Rasanya saat ini gue ingin sekali memaki semua kendaraan yang berjejal di jalanan, gue ingin memaki mereka karena tidak memberikan gue celah untuk lebih cepat sampai di rumah sakit tempat Saera sedang dirawat.

Setelah sekian menit terlewat, samar-samar gue melihat sebuah gedung tinggi yang gue yakini sebagai John Medical. Tanpa banyak berpikir gue langsung membuka pintu mobil dan menatap Jema dan Rayhan sekilas, “Gue turun disini aja, gue mending lari ke rumah sakit itu dari pada duduk dan ngerasa hampir gila disini.” Dan tanpa menunggu jawaban dari keduanya, gue langsung keluar dari mobil dan berlari ke arah rumah sakit.

Keringat mulai menetes di pelipis gue seiring semakin kencangnya langkah kaki gue yang ambil. Gue bahkan tidak memperdulikan tatapan aneh dari orang-orang.

Setibanya di ruang IGD, gue langsung menanyakan keberadaan Saera kepada seorang suster dan dia mengarahkan gue ke sebuah ranjang yang tertutup tirai berwarna biru muda.

Tangan gue gemetar, jantung gue berdetak jauh lebih cepat, dan gue juga merasakan keringat mengalir semakin banyak di pelipis gue.

Dengan sekali gerakan, tirai itu akhirnya terbuka dan menampakkan Saera yang tengah berbaring di ranjang dengan keadaan terlelap. Di dahinya terdapat perban, ada beberapa luka di wajahnya, dan gue juga bisa melihat infus terpasang di tangan kirinya.

Pandangan gue teralih kepada dua adik gue yang sedang duduk di sebelah ranjang Saera dengan raut wajah yang ketakutan. Terlebih Chandra, gue bisa melihat wajahnya pucat dan tubuhnya sedikit gemetar.

“Lo!” hardik gue kasar, berjalan mendekat pada Chandra namun terhalang tubuh Reky yang langsung berdiri di depan adiknya itu, “Jangan sekarang, Bang. Fokus ke Kak Saera dulu aja.” bisiknya pelan.

“SHIT!”

Gue membuang nafas kasar, mengusap wajah gue sendiri dengan kedua tangan. Gue terlalu frustasi untuk berfikir jernih. Keadaan Saera membuat amarah gue memuncak ketika menatap Chandra, tapi gue juga sangat bersyukur ketika melihat keadaan adik gue itu baik-baik saja dan tidak terluka.

Dan akhirnya gue mengalah, menepis amarah gue dan membuangnya jauh-jauh. Gue hanya akan fokus pada keadaan Saera untuk saat ini. Keadaannya jauh lebih penting dari apapun. “Saera, Sayang, aku disini.”

“Saera, maaf, maafin aku.” Gue terus berbisik di telinganya, sembari mengenggam sebelah tangan Saera yang terasa dingin.

Reky mendekat pada gue, menyentuh bahu gue dengan takut-takut, “Kak Saera gak papa kok, Bang. Tadi udah dirontgen juga, dan gak ada luka yang serius. Kata Dokter, Kak Saera cuma shock aja. Luka di dahinya karena ada benturan kena dashboard, tadi kita lupa nyuruh Kak Saera untuk pakai seatbeltnya lagi, maaf, Bang.”

Ada nada ketakutan yang kental di suaranya, gue tahu benar, kedua adik gue itu sedang menahan rasa takut yang teramat sangat saat ini. Tapi gue juga sama dengan mereka, gue juga merasakan ketakutan yang luar biasa ketika mengetahui keadaan Saera.

“Kenapa bisa gini sih, Re?”, tanya gue pelan, terdengar begitu frustasi.

“Tadi karena parkirannya sepi, Chandra mau coba nyetir, Bang. Dan karena kayaknya gak bakal bahaya, jadi gue izinin, gue gak tau kalau kejadiannya bakal kayak gini.”

Gue menunduk semakin dalam saat mendengar penjelasan Reky. Amarah yang sudah gue buang jauh-jauh kembali menguasai diri gue, hingga akhirnya gue berdiri, berjalan cepat ke arah Chandra dan mendaratkan satu pukulan kencang di wajahnya.

“ABANG UDAH BILANG GAK USAH MAKSA NYETIR DULU, CHANDRA!” Teriakan gue begitu kencang memenuhi ruang IGD John Medical yang saat itu sedang begitu tenang.

Gue sudah hampir menarik kerah baju Chandra lagi saat Papa datang dan menahan tubuh gue, “Mikaelo!”

“Bawa Chandra keluar.” titah Papa pada Jema dan Rayhan yang datang bersamanya. Dan mereka bertiga langsung keluar dari ruangan ini.

“Biar Papa yang bicara sama adikmu, Nak. Kamu tenang dulu, Saera sedang butuh kamu, ya?”

Elusan tangan Papa di bahu gue berangsur-angsur membuat perasaan gue membaik. Berkali-kali gue menghembuskan nafas panjang untuk berusaha menghilangkan amarah yang tersisa.