Family

Family : a group of one or more parents and their childern living together as an unit.

Jika definisi keluarga hanya sebatas itu, maka yang Jevan dan papanya lakukan sudah cukup membuktikan bahwa mereka adalah keluarga. Mereka tinggal di satu atap, sebagai sebuah kesatuan. Meskipun sering kali Alexander Novanda-ayah Jevan- menghabiskan waktunya di kantor dan Jevan menghabiskan waktu di sebuah apartemen mewah di pusat kota- peninggalan ibunya. Tapi setidaknya, tempat mereka pulang masih di bangunan yang sama. Rumah.

Rumah yang tidak pernah sama lagi sejak ibu Jevan meninggal. Rumah yang tidak lagi terasa hangat sejak satu-satunya manusia yang membawa kehangatan itu pergi meninggalkan mereka. Canda tawa yang dulu pernah mengisi rumah agung itu kini berganti dengan teriakan marah dan rintihan kesakitan.

“Kamu cuma tinggal datang, duduk dan makan, Novanda! Papa tidak pernah meminta lebih! Apa sulitnya?!”

Teriakan itu masih terus terdengar, beriringan dengan suara pukulan yang menghantam pria muda yang tengah meringkuk di lantai.

“Ini semua juga untuk kamu! Untuk masa depan kamu! Kenapa kamu gak pernah bisa ngerti Papa?!”

Jevan diam, seberapa banyak pun pertanyaan terlontar dari ayahnya, dia tetap diam. Karena setiap jawaban yang keluar dari mulutnya hanya akan menjadi petaka.

“ANAK BODOH! TIDAK TAHU TERIMA KASIH!” Makian itu adalah hal terakhir yang Jevan dengar sebelum ayahnya membanting alat pemukul dan pergi meninggalkan ruang penyiksaan itu.

Tertatih-tatih, Jevan beranjak berdiri. Meraih jaketnya lalu keluar dari rumah. Dengan mengendarai mobil hitamnya, dia menuju sebuah apartemen tempat dimana dia akan melampiaskan rasa sakit. Di sana, seorang gadis cantik telah menunggunya datang.

Hanya itu satu-satunya cara agar Jevan dapat melupakan tiap amarah, makian bahkan perlakuan kasar Alexander. Hanya dengan membuat tubuhnya bekerja dua kali lebih sibuk dari otaknya lah Jevan bisa melupakan semua rasa sakit dan penderitaan itu. Dia tidak ingin membaginya dengan orang-orang yang dia kasihi. Dia tidak ingin mereka tahu bahwa hidupnya semenyedihkan ini. Dia hanya akan membaginya pada gadis yang akan ditidurinya satu kali lalu dia campakkan keesokan paginya.

“Buang dimana?” tanya Jevan pada gadis cantik bernama Arista yang sedang terengah-engah dalam kenikmatan bersamanya.

“Luar aja, gue belum minum pil.” Arista menjawab lemah lalu kembali mendesah saat Jevan menaikkan tempo gerakannya.

“Van please, ahh~ hhh hhhh.”

Jevan ambruk, membanting tubuhnya ke sisi ranjang yang kosong. Otaknya telah kosong sekarang, berganti dengan kenikmatan yang membuatnya puas. Sakit di tubuhnya akibat pukulan-pukulan kejam Alexander berganti dengan rasa lelah akibat pergulatan panjang dengan Arista.

“Kamu... gak mau obatin luka kamu dulu, Van?” Arista hendak meraih sisi wajah Jevan namu pria itu langsung memalingkan wajah. Jevan tidak pernah suka disentuh jika sudah mendapatkan apa yang dia mau.

“Gak usah, biar Elen aja, gue-shit.” Jevan memaki dalam hati, memaki dirinya sendiri. Otaknya benar-benar kosong dan tolol. Terlalu kosong sampai dia melupakan janjinya pada gadis lain yang saat ini pasti sedang menunggunya.

Jevan buru-buru mengambil handphone dari saku jaket, memeriksa panggilan dan pesan masuk. Benar saja, Jelena menghubunginya beberapa kali. Juga sahabatnya yang lain. Jevan memaki dirinya sekali lagi.

“Van, kamu mau kemana?” Arista bertanya saat dia melihat Jevan buru-buru masuk ke kamar mandi dan keluar dari sana dengan keadaan rapi.

“Gue harus balik.”

“Van... Jevan... Jevander!”

Jevan tidak memperdulikan teriakan Arista yang memanggil namanya. Yang dia fikirkan hanya Jelena dan rasa kecewa gadis itu. Hari ini adalah ulang tahun Jelena, Jevan telah menyiapkan segalanya dengan bantuan sahabatnya yang lain. Tapi justru dia jugalah yang menghancurkan segalanya.

Jevan melirik jam yang melingkar di tangan kirinya dan mendesah kesal saat menyadari saat ini sudah pukul sebelas malam. Dia yakin benar sahabat-sahabatnya yang lain pasti sudah pulang ke rumah masing-masing. Mereka sudah terlalu lama menunggunya di studio. Karena itu, Jevan tidak mau repot-repot mengecek studio miliknya dan langsung pergi ke sebuah restoran cepat saji. Membeli beberapa burger karena dia tidak akan mendapatkan kue tart semalam ini. Setelah itu dia langsung mengarahkan mobilnya ke apartemen Jelena. Perduli setan jika gadis itu akan mengusirnya, yang terpenting adalah Jevan harus merayakan ulang tahun gadis kesayangannya itu.

Jevan tiba di depan unit Jelena pukul sebelas lebih 45. Yang artinya ulang tahun Jelena akan berakhir 15 menit lagi.

Saat menekan bel, Pak Abdul lah yang membuka pintu untuk Jevan. Pria paruh baya yang dipercayai keluarga Jelena untuk menjaga anak gadisnya itu memang tinggal satu unit dengan Jelena. Pak Abdul tersenyum lembut mempersilakan Jevan untuk masuk.

“Tadi teman-teman yang lain sudah kesini, Mas. Bapak sempet heran kenapa Mas Jevan nggak ada, ternyata nyiapin kejutan sendiri.”

Jevan hanya membalas senyum Pak Abdul dan langsung menuju kamar Jelena. Saat dia membuka pintu kamar, gadis kesayangannya itu tengah duduk sendirian di kursi santai yang menghadap ke jendela.

Happy Birthday, Elen. Happy Birthday, Elen. Happy birthday happy birthday, happy birthday, Elen.”

Si pemilik hari special menoleh pelan saat mendengar nyanyian pelan itu, dia tersenyum senang mendapati seseorang yang paling ditunggunya sejak tadi akhirnya datang juga. Tapi keadaan pria itu...

“Jev, lo....”

Jevan menggeleng pelan. “Gue gak papa,” lalu pria itu melangkah mendekat pada Jelena yang kini berdiri menghadapnya, “tiup lilinnya dulu ayooo.”

Jevan menyalakan korek sebagai pengganti lilin dan Jelena meniupnya pelan. Perayaan ulang tahun yang terlampau jauh dari yang telah Jevan persiapkan.

“Maaf gue telat, maaf gue cuma bawa burger dan bukan kue tart, bahkan lilinnya aja menyedihkan. Maaf kita gak jadi dinner. Maaf bikin ulang tahun lo menyedihkan kayak gini, El.”

“Gak papa, I'm happy Jev. Makasih udah jauh-jauh kesini semalam ini.”

Untuk kesekian kalinya, Jevan memaki dirinya dalam hati. Gadis ini, gadis yang sudah dia kecewakan di hari spesialnya masih bisa tersenyum manis, berterima kasih dan bahkan mengatakan bahwa dirinya bahagia. Betapa bodohnya dia melupakan semua janji yang dibuatnya sendiri.

“Luka lo, gue obatin ya?”

Tanpa banyak bertanya lagi, Jelena menuntun Jevan untuk duduk di tepi kasurnya. Mengobati luka-luka di wajah Jevan dengan begitu hati-hati. Jelena tidak perlu bertanya dari mana luka-luka itu berasal, karena dia tahu betul apa yang terjadi pada Jevan. Ini bukan pertama kalinya.

“Buka baju lo, pasti luka juga kan?” titah Jelena yang langsung dituruti Jevan.

Jelena hanya bisa mendesah pelan saat dugaannya benar. Area tubuh Jevan terluka jauh lebih parah dari pada wajahnya.

“Kali ini pake apa, Jev? Stick golf, sarung tinju atau....”

“Raket tenis, El.”

Tangan Jelena yang tadi sibuk mengoleskan salep ke tubuh Jevan berhenti seketika. Jawaban sahabatnya itu membuatnya mematung. Terbayang seberapa sakit ketika raket itu menghantam tubuh Jevan berkali-kali hingga meninggalkan luka lebam kebiruan.

“Malam ini gak usah pulang, tidur di kamar Pak Abdul aja, ya?”

Jevan mengangguk lemah dan Jelena kembali pada aktivitasnya.

Sekian detik terlewat tanpa ada obrolan di antara mereka hingga Jelena kembali terdiam saat menemukan beberapa area kulit yang kemerahan di tubuh Jevan.

Itu bukan luka akibat pukulan raket tenis.

Itu luka yang diakibatkan ciuman dari seorang gadis.

Jelena menatap luka itu nanar. Dia tahu bahwa Jevan tidak hanya terlambat datang karena ayahnya.