Wedding Invitation

Hal paling menyesakkan dalam hidup adalah penyesalan. Kita tidak bisa memutar waktu, sekalipun kita ingin. Kita tidak bisa memperbaiki segala hal yang terlanjur salah, meskipun kita ingin.

Penyesalan menjadi momok paling mengerikan bagi tiap individu yang pernah atau sedang merasakannya. Menyalahkan diri sendiri pun sudah tidak lagi ada gunanya. Namun berdamai dengan keadaan masih begitu sulit untuk dilakukan.

Begitulah yang dialami oleh seorang pria yang tengah duduk sendirian di dalam studio pribadi miliknya. Beberapa botol minuman keras tergeletak begitu saja di meja. Lagu-lagu sendu terputar silih berganti melalui sebuah aplikasi berbayar yang disambungkan dengan dua speaker besar yang terletak di samping TV.

Tangan kanan pria itu mengenggam sebuah undangan pernikahan yang tidak karuan lagi bentuknya. Dia sudah berusaha meremukkannya sejak tadi, seremuk mungkin, jika bisa sama remuknya dengan keadaan hatinya saat ini. Tapi semakin dia meremas undangan pernikahan itu, semakin ngilu pula hatinya.

Jevan mendesah pelan, membuang undangan sialan itu ke lantai. Tangannya kembali menuang cairan yang akan membuat dirinya merasa lebih baik ke dalam gelas, menenggaknya hingga habis.

Okay, okay, I'll pray for your happiness, Elen. As you wish,” katanya pada diri sendiri.

“Tapi abis itu, berdoa buat kebahagiaan lo sendiri ya, Jev?” Sebuah suara menyahut dari arah pintu masuk, berdiri di sana Markio yang masih mengenakan jas dokternya.

Jevan terkekeh seraya mengangguk. “Yang penting Elen bahagia dulu, gue mah gampang.”

Don't say something that will hurt yourself,” sindir Markio. Dia berjalan mendekat, memungut surat undangan pernikahannya dari lantai dan duduk di sebelah Jevan.

Sorry undangan lo jadi...”

“Gak papa, hati lo pasti lebih remuk dari pada kertas ini,” jawab Markio santai. “Katanya, melepaskan seseorang buat bahagia sama pilihannya tuh level tertinggi dari mencintai. So, your love for Elen is bigger than mine ya Jev?”

“Itu lo sadar, Kak.”

“Kalau gitu lo juga seharusnya sadar, lo harus sadar kalau lo gak pernah kalah dari gue. Jangan patah hati kayak gini. Cinta lo ke Elen gak pernah sia-sia. Dia juga tau itu kok.”

Jevan menatap Markio yang juga menatapnya, membiarkan lagu sendu menjadi latar pembicaraan mereka.

“Tapi kalau gue boleh minta sesuatu dari lo, tolong lepasin Elen ya Jev. Lepasin Elen sepenuhnya. Bukan untuk gue, tapi untuk diri lo sendiri. Gue gak minta lo lepasin Elen karena pengen milikin dia sepenuhnya. Tapi gue minta lo lepasin Elen supaya ruang di hati lo itu kosong dan bisa diisi sama cewek baik lainnya. Gue juga mau lo bahagia, Jev.”

Markio menepuk pelan bahu Jevan sebagai penutup kalimatnya. Lalu dia bangkit berdiri dan keluar dari studio milik Jevan.

Sementara Jevan masih termangu akan ucapan sahabatnya itu. Matanya menatap kosong ke arah gelas kaca yang sekarang juga telah kosong.

Dia telah lama merelakan Jelena untuk bersama dengan Markio, tapi sampai saat ini dia belum bisa melepaskan gadis itu sepenuhnya. Dia memang sudah berdamai dengan hubungan Jelena dan Markio, tapi untuk melihat mereka bersanding di kursi pelaminan adalah perkara lain lagi. Dan hal itu masih menjadi batu pengganjal di hatinya.

Karena itu, mendengar Markio mengatakan semua hal yang baru didengarnya membuat pertahanan Jevan roboh. Dia seakan dipaksa untuk melepaskan Jelena, demi dirinya sendiri. Dan itu membuatnya semakin hancur.

“Dari sekian banyak club yang sering lo datengin, gue gak ngerti deh kenapa lo malah milih minum-minum di sini. Sendirian lagi.”

Jevan mendongak, sedikit tersentak, dia kira Markio datang sendirian.

“Elen...”

Yang dipanggil hanya tersenyum simpul, kemudian dia duduk di sebelah Jevan. Gadis itu menggeser gelas milik Jevan dan menuang sedikit alkohol disana.

“Calon pengantin ngapain kesini? Pamali tau keluar-keluar,” Jevan berucap pelan tanpa menatap Jelena.

“Soalnya abis ini gue gak bisa lagi nuang minuman buat lo.”

Jevan terhenyak, tangannya yang hendak mengambil gelas, bergetar tanpa sadar.

“Abis ini, lo gak bisa lagi ya sembarangan nelfon gue pas lagi mabuk, nanti yang angkat Kak Kiyo.” Jelena melanjutkan.

“Abis ini, lo gak bisa lagi minta tolong gue buat lindungin lo dari Om Alex.”

Jelena masih terus bicara. Dan tangan Jevan semakin bergetar hebat.

“Abis ini... Abis ini....” Suara Jelena bergetar, air mata menumpuk di pelupuk matanya. “Abis ini... Lo gak bisa lagi bilang kalau nama belakang gue Novanda. Karena sebentar lagi nama gue jadi Jelena Ayunanda Baratama.”

“El...” Bibir Jevan bergetar hebat, dia kesulitan mengucapkan bahkan satu kata. “Cukup,” katanya parau.

“Lo inget kan Jev apa yang bundanya Ica bilang ke Kak Garend waktu Kak Garend lepasin Kak Vivian dulu?”

Jevan mengangguk. Kali ini mata mereka saling bertautan.

“Ketika kita mau melepaskan seseorang, pastikan bahwa kita melepaskan hatinya dalam keadaan utuh, agar dia bisa memberikannya pada orang lain.” Jelena menyentuh sisi wajah Jevan yang telah basah oleh air mata. “Sama seperti Kak Garend, gue juga ingin melepas lo dengan keadaan hati yang utuh. Supaya lo bisa mencintai orang lain dengan keadaan hati yang baik.”

“El...”

Be happy, Jevan. We didn't make the happy ending, but I will remember every page of our story.”

Setelah itu, Jelena meninggalkan Jevan yang menangis tersungkur di lantai. Jevan melepas tangisnya sebanyak yang dia mau. Mengerang sekeras yang dia bisa. Karena menurutnya sudah tidak lagi ada siapa-siapa disana. Tanpa dia tahu, kelima sahabatnya menahan diri untuk tidak masuk ke dalam sana dan memeluknya.

Tanpa dia tahu kalau Raechan menggigit bibirnya sendiri hingga nyaris berdarah.

Tanpa dia tahu bahwa Klarisa dan Kayana saling berpegang tangan dan berderai air mata.

Tanpa dia tahu bahwa Jaenandra menatap ke langit agar bulir matanya tak jatuh.

Dan tanpa dia tahu, bahwa kuku-kuku jari Juan memutih karena pria itu terlalu kuat mengepal tangannya.

Jevan tidak menangis sendirian. Meskipun menurutnya, dia menangis sendirian.

Sahabat-sahabatnya tetap berada di sana, hingga suara erangan Jevan tidak lagi terdengar.

Guys sorry banget, kayaknya gue harus balik. Sergio kebangun dari tidurnya dan nyari mamanya, Bude Imah baru kirim whatsapp ke gue.” Raechan berucap teramat pelan, menatap sahabatnya satu persatu dengan perasaan bersalah. Kayana yang berdiri di sampingnya hanya bisa menunduk.

“Gak papa, kalian pulang aja. Kasian Gio.” Klarisa berusaha memberikan senyum.

“Soal Jevan, biar kita yang urus.”

Raechan dan Kayana mengangguk dan memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Di sana tersisa Juan, Jaenandra dan Klarisa. Setelah tadi Markio dan Jelena langsung pulang ke rumah setelah bertemu Jevan.

“Kalian tunggu di sini aja, ya. Biar gue yang cek ke dalem.”

Juan membuka pintu studio dengan begitu pelan. Ruangan itu sudah senyap, tidak lagi ada suara musik maupun suara Jevan. Saat pria itu melangkah masuk, dia menemukan sahabatnya sudah tertidur di sofa. Dalam keadaan berantakan. Rambut Jevan acak-acakan, matanya sembab dan basah, bau alkohol juga bisa tercium jelas dari tubuhnya.

Juan duduk di lantai, membelakangi tubuh Jevan. Dia menyandarkan kepalanya pada sisi sofa.

“Gue kira, kisah cintanya Bang Garend, Kak Adzkiya dan Kak Vivian udah paling pedih. Tapi ngeliat kondisi lo sekarang, gue gak bisa mikir gitu lagi. Bang Garend bener ya Jev, takdir itu jahat.”

Juan mendesah pelan sebelum melanjutkan.

“Kalauuuu aja, lo gak ditakdirkan untuk gak akur sama bokap lo. Kalau aja, lo gak ditakdirkan untuk jadi cowo banjingan yang bisa lupain masalah lo cuma dengan nidurin perempuan-perempuan yang rela tubuhnya lo jamah.”

“Kalau aja lo ditakdirin jadi cowok biasa yang bisa duduk main catur sama bokap dan gak harus jadi Jevan si tukang nidurin perempuan, gue yakin Elen pasti masih di sini sama lo.”

Juan terpaksa mendongakkan kepalanya sekali lagi. Kepalan tangannya juga kembali menguat.

“Gue gak bisa nyalahin siapa-siapa. Gue gak bisa nyalahin lo dengan pilihan hidup lo, gue juga gak bisa nyalahin Elen yang lebih milih cowok sebaik Kak Kiyo. Dan gue juga gak bisa nyalahin Kak Kiyo karena ngambil Elen dari lo. Karena gue tau Jev, gue tau sesakit apa Elen dulu selalu harus beresin kamar lo setelah lo pakai untuk nidurin cewek-cewek lo. Gue tau secapek apa Elen harus selalu bersihin muntahan lo ketika lo pulang clubbing sama cewek gak jelas. Dan gue tau sefrustasi apa Kak Kiyo karena selama ini dia tau kalau dia gak mencintai Elen sendirian. Gue tau kalau Kak Kiyo harus selalu hati-hati sama sikapnya supaya rasa cintanya ke Elen, pacarnya sendiri, gak akan nyakitin lo sebagai sahabatnya.”

Sebulir air mata lolos dari mata Juan sekeras apapun dia berusaha menahannya.

“Terus gue, sebagai sahabat kalian harus nyalahin siapa selain takdir?! Kasih tau gue, Jev! Kasih tau gue! Gue benci liat keadaan lo begini! Tapi gue juga harus seneng karena dua sahabat gue akhirnya nikah!”

Malam itu, Juan menggantikan tangis Jevan yang telah usai.