I Put Your Name on Them.
Belum pernah sekalipun, selama bertahun-tahun Jevan dan Jelena berteman, mereka merasa canggung saat duduk berdua bersebelahan. Biasanya, selalu ada canda dan gelak tawa di antara mereka. Jauh berbeda dengan situasi malam ini, yang terdengar hanya hela nafas dan lenguhan kosong karena tak ada satupun yang mulai bicara.
“Itu apa Jev?”
Jelena menjadi pembicara pertama, mulai jengah dengan keheningan yang justru memekakkan telinga. Dia bertanya merujuk pada tiga shopping bag yang Jevan letakkan di sebelah kakinya.
“Hadiah buat lo.”
“Hadiah buat gue?” tanya Jelena bingung, “hadiah pernikahan?”
“Bukan, ini hadiah buat lo yang selama ini gak pernah berani gue kasih ke lo.”
Jevan membuka salah satu shopping bag lalu mengeluarkan beberapa buku yang masih tersegel. Laki-laki itu meletakkannya di atas meja.
“Semua ini buku-buku dari penulis-penulis favorite lo, El. Gue selalu ikut pre ordernya, atas nama lo, jadi semua tanda tangan di dalem bukunya ya atas nama lo.”
“Jev...”
“Terus yang ini.” Jevan mengambil shopping bag yang lain, dia mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Saat kotak itu dibuka, Jelena bisa melihat sepasang sepatu balet berwarna pink pastel yang terlihat begitu cantik. “Sepatu ini gue beli waktu lo tampil di pensi terakhir kita waktu SMA, tapi lagi-lagi, gue gak berani untuk kasih sepatu ini ke lo. Di bagian dalem sepatunya ada inisial nama lo, El.”
Jelena tertegun, tangannya meraih sepatu itu dan membawanya ke atas pangkuan. Matanya menatap sepatu itu dengan kagum. Dia mengelusnya pelan, merasakan betapa lembutnya sepatu itu ketika bersentuhan dengan kulitnya. Dan Jevan tidak berbohong, di bagian dalam sepatu itu terdapat tiga huruf yang merupakan inisial nama Jelena.
J. A. I.
“Dan yang terakhir,” Jevan memberikan shopping bag paling kecil pada Jelena, “lo buka sendiri aja ya yang ini.”
Jelena menurut, dia meletakkan sepatunya ke dalam kotak dan beralih pada kotak kecil di dalam shopping bag terakhir. Saat dia membuka kotak itu, nampak sebuah benda berkilauan ditimpa lampu ruangan. Benda berkilau itu adalah sebuah kalung, yang lagi-lagi dapat dipastikan kalau benda itu memang dibuat untuk Jelena. Liontinnya berbentu huruf J, A dan I yang saling bertautan. Cantik, cantik sekali.
“As you can see, I put your name on them jadi gue gak bisa kasih barang itu ke orang lain selain lo.”
Gadis yang Jevan ajak bicara termangu mendengarkan. Manik indahnya masih tertaut pada benda berkilau di dalam kotak.
“Hari ini, gue ngumpulin semua keberanian gue untuk kasih semua benda ini ke lo. Tanpa maksud apa-apa. Gue cuma mau barang-barang ini sampai ke pemiliknya.” Jevan menelan ludah sebelum melanjutkan. “Dan mungkin dengan begitu, gue bisa sepenuhnya melepas lo untuk kebaikan kita bertiga. Demi pernikahan lo dan Kak Kiyo dan tentu juga buat kebaikan diri gue sendiri. Seperti yang kalian omongin malam itu.”
“Jev...”
Jevan menunggu setiap kata yang keluar dari bibir Jelena.
“Makasih, buat semuanya.”
Namun hanya satu kalimat yang keluar dari bibir gadis cantik dan anggun itu.
“Sama-sama, gue balik ya.”
Jevan bangkit berdiri karena merasa semua urusannya telah selesai. Nampaknya Jelena juga tidak memiliki apapun lagi untuk dikatakan. Tidak apa-apa, yang terpenting adalah segala hal yang harus Jevan selesaikan sudah benar-benar terlaksana.
“Let's be bestfriend forever, Jevander.”
Jelena mengulurkan tangannya, menunggu Jevan untuk menyambut.
“Hm, *let's be bestfriend forever, Jelena.”
Jevan menyambut uluran tangan itu dengan senyum ikhlas.
“Kak Adzkiya beneran gak mau saya anterin sampe Ayu Laga aja?”
Jevan menatap gadis di sampingnya yang tengah sibuk membereskan isi tas.
“Iya, sampe sini aja. Naik bus malam gini lebih nyaman dan kamu juga jadi gak capek harus nyetir ke Ayu Laga.”
Adzkiya tersenyum sekali lagi sebelum turun dari mobil. Sementara Jevan hanya menatap gadis itu yang kini tengah berjalan mendekat ke arah bus yang terpakir di halaman terminal. Lalu mata Jevan menyadari sesuatu. Dia buru-buru turun dari mobil dan menahan lengan Adzkiya.
“Pakai jaket saya, Kak. Bus malam ini AC-nya dingin banget.”
Adzkiya mengangguk dan menerima jaket itu.
“Makasih, kamu hati-hati ya nyetir pulangnya. Sampe rumah langsung istirahat, ketemu Elen tadi pasti draind your energy.”
Kali ini Jevan yang mengangguk.
“Makasih juga selama dua minggu kebelakang Kak Adzkiya dengerin cerita saya terus. Padahal saya tau cerita saya bikin Kak Adzkiya inget Bang Garend.”
“That's okay. Life must go on. Kak Adzkiya pamit ya.”
Adzkiya kembali meneruskan langkahnya. Masuk ke dalam bus dan duduk di kursi yang sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Lalu dia menoleh ke jendela, menatap Jevan yang masih berdiri menatapnya.
Mereka bertatapan cukup lama sampai akhirnya bus yang ditumpangi Adzkiya mulai berjalan meninggalkan area parkir terminal.
“Your scars, believe that they can heal, Jevan.” Adzkiya bergumam pulang.
“I wish you find your happiness, Kak Adzkiya,” ucap Jevan pelan sesaat setelah bus yang ditumpangi Adzkiya benar-benar hilang dari pandangannya.