Babysitter
Kaki-kaki kecil berlarian mengelilingi sebuah ruangan yang tampak luas. Tidak banyak perabotan, hanya kotak-kotak plastik berisi tumpukan mainan di sudut ruangan. Lantainya dilapisi karpet tebal dan lembut untuk menjaga si pemilik kaki-kaki kecil agar tidak terluka ketika bermain. Si Kecil itu dikelilingi tiga laki-laki dan dua perempuan yang seusia dengan ayahnya. Mereka menyebut diri mereka sebagai Gio's Protectors.
“Udah sana lo berdua belanja deh, kulkas Raechan isinya sayuran semua tuh. Kita lagi pengen makan daging,” ucap salah satu laki-laki yang berpenampilan paling rapi, kemeja putih dilapisi dengan jas abu-abu tua serta celana bahan dengan warna senada. Laki-laki itu, Jaenandra, mengeluarkan dompet dari saku jas sebelum berucap lagi. “Ini pake kartu aku aja, kamu tau pinnya kan, Sayang?”
Si wanita yang dipanggil dengan sebutan Sayang mengangguk mengiyakan. “Iya tau, tapi kalian beneran jagain Gio loh, ya! Jangan ditinggal ngegame.”
“Aman,” yakin seorang pria lain dengan penampilan yang lebih santai, Jevander. “udah deh sana buruan,” usirnya pelan.
Klarisa dan Jelena akhirnya keluar dari ruangan dan memesan ojek online sementara tiga laki-laki itu tetap berada di ruangan untuk menemani Sergio bermain. Juan pura-pura mengejar Sergio hingga membuat anak kecil itu berlari sambil tertawa dan menabrakkan dirinya pada tubuh Jaenandra yang telah siap menangkapnya dalam pelukan.
Sergio sudah terbiasa bermain dengan sahabat orang tuanya itu, karena setiap hari, sepulang kerja, om dan tantenya selalu datang ke rumah. Mengajaknya bermain, menyuapinya makan dan bahkan menemaninya tidur. Hingga rasanya, ketidak beradaan kedua orang tuanya yang tengah berlibur tidak dirasakannya. Dia tetap asik bermain dan tertawa hingga lupa waktu.
Sudah tiga puluh menit sejak Klarisa dan Jelena pergi berbelanja saat tiba-tiba Sergio berjalan ke pojok ruangan dan berjongkok di sana. Ekspresinya aneh, dia terlihat menahan sesuatu. Ketiga laki-laki dewasa yang ada di sana hanya saling memandang. Menyadari apa yang tengah dilakukan kesayangan mereka itu.
“Cek gih, Jep,” perintah Juan tanpa rasa berdosa.
Yang ditunjuk langsung meringsut ngeri. “Jangan gue ah, gue orangnya sensitif. Lo aja Jaen sana.”
Jaenandra mendengus tidak terima. “Dih apaan lo nyuruh-nyuruh, lo berdua aja sana cek.”
Lagi-lagi mereka adu pandang. Aroma tidak sedap mulai menguar di ruangan luas itu.
“TUH KAN BAU! CEK SANA WAN!”
“IH LO AJA SANA!”
“SUIT AJA DEH KITA!”
Serempak, mereka duduk berdekatan. Berancang-ancang.
“Kertas, batu, gu....nting.”
Jaendra mengeluarkan kertas, Juan juga mengeluarkan kertas, sementara Jevan memaki dirinya dalam hati karena dia satu-satunya yang mengeluarkan batu.
“YES!” Sorak Jaenandra dan Juan bersamaan.
“Mati deh gue,” lirih Jevan pelan.
Perlahan-lahan, Jevan mendekati Sergio yang masih saja berjongkok di pojok ruangan. Aroma semakin menyengat saat Jevan sudah duduk di depan Sergio. Dengan sebelah tangan, Jevan menutup hidungnya rapat, sementara sebelah tangannya yang lain berusaha membuka sedikit celana Sergio. Saat itu lah mata Jevan melotot ketika mendapati diapers Sergio telah penuh dengan sesuatu yang mengeluarkan bau begitu menyengat.
“Gio.... berak guys,” katanya lemah.
Jaenandra dan Juan menghembuskan nafas lelah. Kepala mereka pening. Benar memang mereka selalu bermain, menyuapi dan bahkan menemani Sergio tidur. Tapi belum pernah sekalipun mereka membersihkan tubuh Sergio ketika pria kecil itu buang air besar.
“Kita nunggu Ica sama Elen pulang atau gimana?”
“Mereka pasti masih lama.”
“Berarti harus kita bersihin sendiri, dong?”
Berbekal keterpaksaan, ketiga laki-laki dewasa itu telah berkumpul di kamar mandi. Jaenandra telah melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemeja, tidak lupa dia memanfaatkan dasi untuk menutupi hidungnya. Juan melepaskan jaket jeans dan menggulung celananya hingga lutut. Sementara Jevan tampak paling siap dengan celana santai selutut, kaus oblong berwarna putih hingga memanfaatkan penjepit jemuran untuk mengamankan hidungnya.
“Lo udah siapin plastik kan, Wan?” tanya Jevan sesaat sebelum dia melepaskan diapers dari tubuh Sergio.
“Udah, lo buka aja diapersnya nanti gue masukin plastik.”
Proses pelapasan diapers itu berjalan cepat diiringi suara menahan mual dari Jevan.
“Oke, abis ini gue semprot ya pantatnya, Jev lo yang bersihin sisa-sisa tokai di badan Sergio ya.”
“Hueek.... huekk... baunya nembus! Bentar dulu!” ucap Jevan seraya memalingkan wajah dan berharap bau menyengat itu tidak lagi menggelitik indra pernafasannya.
“Udah buruan deh! Kalau dinanti-nanti, keburu makin bau!” Juan menyenggol lengan Jaenandra yang memegang shower. “Udah semprot aja, Jaen.”
“Sabar gilaaa! Lo enak tinggal ngomong aja, Wan!” bantah Jevan tidak terima dengan kelakuan temannya yang satu itu.
“Udah buruan ih! Kasian Gionya juga woy! Nanti dia kedinginan kalau kelamaan di kamar mandi!”
“Ish bawel lo yee... yaudah siram dah, Jaen.”
Jaenan menurut, menyemprotkan air ke arah tubuh Sergio sementara Jevan membersihkan sisa-sisa kotoran yang menempel. Mereka mengulangnya beberapa kali, dengan sabun mandi tentu saja, hingga dirasa seluruh bau menyengat telah meninggalkan tubuh Sergio.
Setelah itu mereka mengeringkan tubuh Sergio dengan handuk. Mengenakan diapers yang baru serta mengganti pakaian Sergio.
Saat si pria kecil telah kembali bersih dan bermain dengan ceria, si ketiga pria dewasa merebahkan tubuh mereka di atas karpet. Jevan melepaskan penjepit dari hidungnya dan membuangnya asal.
“Gila, tokai bocah baunya begitu ya.”
“Sergio dikasih makan apa sih sama Kak Kayana?!”
“Ampe lupa caranya nafas gue dari tadi nahan-nahan.”