First Child

“Ica gak marah gak lo ajak kesini?”

“Dia tau kok kita kesini buat Raechan.”

“Buat Raechan? Emang dia kenapa, Jaen?”

Jaenan membiarkan asap tebal yang keluar dari mulutnya terbang bersama angin malam Ayu Laga. Dia juga membiarkan pertanyaan Garend menggantung di udara.

Ditatapnya sahabatnya, Raechan, yang tengah duduk bersama Juwan, Markio, Jevan dan Juan di meja kayu tempat mereka makan malam bersama. Dari kejauhan, tidak ada yang salah dengan Raechan. Anak itu masih selalu menjadi sumber kecerian orang-orang di sekitarnya. Melempar celotehan jenaka, bernyanyi, minum-minum atau bahkan bermain perempuan. Tidak ada yang salah sama sekali dengannya. Hingga malam itu, saat Jaenandra menyadari bahwa Raechan tetaplah seorang manusia biasa.

“Jadi anak pertama tuh berat gak sih Kak?”

Garend terkekeh pelan atas pertanyaan Jaenandra yang begitu tiba-tiba itu. Namun sesuatu dalam dirinya merasa terpanggil.

“Jaenan, sebenernya, mau jadi anak pertama, anak kedua, anak ketiga, atau anak keberapapun, pasti punya masalahnya sendiri-sendiri. Mereka semua pasti punya tanggung jawab yang bikin mereka ngerasa kalau hidup yang mereka jalanin tuh berat.”

Jaenandra diam, menyimak.

“Tapi Jaen, jadi anak pertama itu bahunya harus kuat, kepalanya harus keras, hatinya harus tangguh.” Garend melemparkan tatapan matanya pada Raechan. “Harus jadi garda terdepan yang siap ngegantiin orang tuanya, harus jadi contoh yang baik buat adik-adiknya, harus bisa ini-itu karena dianggap yang paling dewasa, banyak harusnya.”

Jaenandra masih tetap diam.

“Padahal, anak pertama juga butuh kakak. Mereka juga butuh tempat buat bersandar.”

“Kak Garend juga ngerasa gitu?” Jaenandra akhirnya bersuara.

“Iya, hahaha.” Garend tertawa hambar. “Ini alasan lo bawa Raechan kesini?”

“Kemarin malem... Raechan tiba-tiba dateng ke apartemen gue. Dia minta ditemenin minum.”

Garend menyerngit heran. “Bukannya seharusnya dia dateng ke apartemen Jevan? Lo kan gak kuat minum?”

“Justru itu, dia mau abisin semua minumannya sendiri. Dia cuma butuh temen.”

Kali ini Garend yang diam menyimak.

“Gue tungguin dia cerita alasanya kenapa tiba-tiba pengen minum, tapi sampai abis botol pertama dia gak ngomong apa-apa. Sampai akhirnya dia tumbang dan cuma satu kalimat yang keluar dari mulutnya.”

“Apa?”

“Gue pengen punya kakak.”

Ada seulas senyum yang nampak di wajah Garend. Dia tahu betul arti kalimat itu. Dia tahu betul selelah apa Raechan.

“Setelah ngomong itu, dia tidur pules tapi mukanya keliatan capek banget. Sambil liatin dia tidur, gue banyak mikir Kak. Terus gue baru sadar, kalau selama ini, tanpa kita sadarin, Raechan selalu jadi yang paling manja kalau lagi ngumpul sama kita-kita.” Saat mengucapkannya, Jaenandra merasakan kedua matanya memanas. “Dia selalu jadi yang paling banyak mau, dia banyak protes dan ngerengek, dia paling minta diemong. Dan gue juga baru sadar kalau semua itu ya dia lakuin karena dia lagi di luar rumah. Karena ketika di dalam rumah... dia adalah seorang kakak buat adik-adiknya.”

“Cuma sama kita... dia ngerasa punya kakak. Terutama sama Kak Kiyo.”

Garend merangkul bahu Jaenandra, menepuknya beberapa kali. Menghantarkan perasaan hangat agar kekasih dari adiknya itu merasa lebih baik.

“Jaenan.” Garend memulai, “gak perduli seharmonis apapun sebuah keluarga, pasti ada masanya, tanpa sengaja, kita merasa tersakiti sama keluarga kita sendiri. Gue gak tau apa yang lagi Raechan alamin sampai dia ngomong kayak gitu, tapi sepertinya sumber masalahnya ya dari keluarga. Dia bilang dia pengen punya kakak, yang artinya dia gak punya tempat bersandar di keluarganya.”

“Tanya ke dia pelan-pelan Jaen. Gue yakin dia pasti cerita.”

Garend menepuk bahu Jaenandra sekali lagi sebelum bangkit berdiri dan mendekati Juwan. Dia mengacak rambut adik angkatnya itu sembari berkata, “Udah malem, tidur, besok lo jaga pagi.” Lalu tatapan Garend jatuh pada yang lainnya. “Kalian lanjut aja minum-minumnya, kalau kurang, di dapur masih ada lagi. Anggep aja rumah sendiri. Gue sama si Uwu tidur dulu.”

Seperginya Garend dan Juwan, Jaenandra kembali bergabung di meja makan. Duduk di sebelah Markio.

“Lo lagi ada masalah Jaen?” Raechan bertanya.

“Harusnya gue yang tanya ke lo, lo lagi ada masalah apa?”

“Gue?”

“Kemarin waktu lo mabok, lo bilang lo butuh kakak. Muka lo keliatan capek banget. Lo kenapa?”

Yang ditanya hanya menunduk dalam, enggan bersuara. Sementara yang lainnya saling pandang tidak mengerti.

“Kalian minum bareng?” tanya Juan yang masih mencoba mengerti tentang apa yang terjadi.

“Iya, kemarin malem dia ke apartemen gue. Minta ditemenin minum katanya, tapi Raechan gak bilang apa-apa tentang masalahnya. Makanya gue bawa kalian ke sini, kali aja ni anak jadi mau terbuka.”

“Rae, something bad happened?” Jevan menggeser duduknya lebih dekat pada Raechan, “kalau lo mau cerita, jangan ditahan. Tapi kalau lo belum siap, ya gak usah cerita dulu gak papa.”

“Kemarin gue anter Mama ke acara nikahan sodara, di sana gue ketemu Tante Elis.” Raechan memulai ceritanya setelah meyakinkan diri, dia masih terus menunduk dalam rangkulan Jevan. “Kalian tau kan kalau Tante Elis masih nentang keputusan gue buat masuk bisnis? Kemarin dia bahas lagi, di depan orang banyak, nunjuk-nunjuk muka gue dan ngatain gue anak gak berguna karena gak mau jadi dokter.”

“Tante Elis bilang, gue gak pantes jadi contoh yang baik buat adik-adik gue. Kata Tante Elis, gue cuma ngasih contoh jadi anak pembangkang ke mereka. Katanya, gue gagal jadi kakak.”

Terdengar hembusan nafas berat dari Raechan. Kepalanya semakin merunduk. Suaranya melirih.

“Gue... bingung. Gue pengen cerita ke Papa, tapi waktu sampe rumah, Papa baru banget pulang kantor. Mukanya capek, jasnya berantakan, bahkan Papa gak makan malem sangking capeknya. Jadi gue segan buat cerita, gue takut nambah pikiran Papa. Gue mau cerite ke Dama, tapi dia masih terlalu kecil. Jadi gue bingung, kepala gue berisik, tapi gue gak bisa ngadu ke siapa-siapa. Mau cerita ke kalian, kok rasanya gue ngumbar aib keluarga besar gue.”

“Gue berharap gue punya kakak. Supaya gue bukan anak pertama.”

Selepas Raechan selesai bercerita, belum ada yang berani bersuara. Gelegar petir terdengar samar-samar di kejauhan. Angin dingin mulai menusuk-nusuk kulit kelima laki-laki yang masih mengunci mulut mereka.

Dari balik jendela kaca yang mengarah ke halaman belakang, Garend berdiri mengamati. Meskipun dia tidak mendengar apapun dari sana, tapi dia tahu betul keadaan sahabat-sahabat adiknya itu sedang tidak baik-baik saja.

“Rae...” Juan mengambil langkah pertama, mendahului sahabatnya yang lain karena dia merasa dia perlu mengatakan sesuatu untuk Raechan. “Gue, Jevan, Jaenan, Kak Kiyo, kita semua anak tunggal. Kita gak pernah tau rasanya dituntut untuk jadi contoh yang baik buat adik-adik kita. Tapi satu hal yang kita tau Rae, tanpa jadi dokterpun, lo adalah sosok kakak yang sempurna buat Dama dan Selo.”

Juan mengambil sebelah tangan Raechan yang berada di atas meja. “Dengan nekat masuk bisnis, lo gak kasih contoh buruk ke adik-adik lo kok. Justru lo kasih contoh baik ke mereka untuk jadi anak-anak yang berani. Berani untuk ngikutin kata hati mereka sendiri.”

“Gue setuju sama Juan.” Sambung Markio mantap, “kalau lo gagal jadi kakak, gak mungkin dengan bangganya Dama nyebut nama lo waktu dia menang tanding futsal kemarin. Lo inget kan, dengan bangga, dia bilang dia adik Raechan Leenandar.”

Raechan tersenyum tipis mengingat kejadian yang Markio sebutkan. Saat itu, sebulan lalu, Dama meminta Raechan dan sahabat-sahabatnya untuk datang ke acara final pertandingan futsal tingkat nasional yang diadakan di sekolah Dama. Dan saat Dama memenangkan pertandingan itu, sebagai kapten, dia diberi waktu untuk mengucapkan terimakasih. Lalu dengan mata yang berkilat-kilat penuh rasa bangga, Dama memperkenalkan dirinya sebagai Aldama Leenandar. Adik dari Raechan Leenandar.

“Dama gak akan sudi nyebut nama lo kalau lo bukan sosok kakak yang pantes buat dibanggain,” tegas Markio sekali lagi.

“Rae, gak usah denger lah apa yang Tante lo omongin. Biar aja dia berkicau kayak apa juga. Yang penting lo, orang tua lo, adik-adik lo dan kita semua sahabat-sahabat lo, bangga sama diri lo yang sekarang.” Jaenandra menimpali.

If it's toxic, it's toxic. You have the right to cut them off, eventho they are your family.” Jevan mengakhiri malam itu dengan tepukan pelan pada bahu Raechan.