Be Your Son's Bestfriend
Saat selesai memakirkan mobil di garasi rumah, yang Raechan bayangkan adalah dirinya akan segera diguyur air dingin, membersihkan seluruh kotoran yang menempel di tubuh. Lalu setelah itu, dia akan membawa istrinya ke puncak kenikmatan yang hanya dia dan istrinya yang tahu.
Namun saat membuka pintu depan, yang didapatinya justru pemandangan yang berbanding terbalik dengan apa yang dia bayangkan. Istrinya, yang dia harapkan tengah menunggu di kamar dengan pakaian dinas yang menggoda, justru sedang berdiri bersidekap menatap anak pertama mereka yang terlihat menunduk dalam-dalam.
“Loh... loh... Ada apa ini?”
“Tuh Papa kamu udah pulang, panutan kamu udah pulang.” Kayana berucap dingin, membuat Sergio semakin menundukkan kepalanya.
Raechan hendak menyentuh lengan Kayana untuk membuatnya tenang namun perempuan itu dengan gesit mengelak.
“Mama ke kamar dulu, kamu selesaiin urusan kamu sama Papa.”
Selepas suara pintu kamar yang ditutup terdengar, Sergio baru berani menegakkan kepala. Dia menatap papanya yang juga menatapnya. Saat itulah Raechan menyadari wajah Sergio babak belur penuh luka.
“Papa...”
“Kita bicara di ruang kerja Papa yuk, kita obatin luka kamu sekalian.”
Sergio menurut, mengikuti papanya masuk ke ruang kerja. Mereka berdua duduk di sofa yang berada di dekat jendela yang telah Raechan buka.
“Kalau perih bilang ya,” ucap Raechan sembari membersihkan wajah Sergio yang terluka.
“Papa kok gak marahin aku?”
“Papa tau, anak papa yang keren ini gak mungkin berantem tanpa alasan. Papa gak akan marahin kamu, asal kamu cerita ke papa apa alasannya.” Raechan menyingkap rambut depan anak bungsunya agar luka di dahinya dapat terlihat. “Ada yang gangguin Yemima waktu kamu anter dia pulang?” terka Raechan.
“Enggak, Pa. Bukan itu.”
“Terus?”
“Selesai aku anter Kak Yemima pulang, aku buru-buru balik ke halte bus buat pulang ke rumah. Tapi waktu lewat gang deket rumah Kak Yemima, aku liat ada anak kecil dipalakin. Kayaknya dia pulang ngamen. Aku gak bisa diem aja dong, yaudah aku bantuin. Jadinya begini deh.” Sergio menjelaskan dengan rinci meskipun dia sedang menahan perih.
“Kamu lawan berapa orang?”
“Empat.”
“Jagoan anak Papa! Lawan empat orang tapi lukanya cuma segini. Keren!” Raechan mengacak pelan rambut Sergio kemudian kembali mengobati luka-luka diwajahnya. “Dulu waktu awal-awal nikah, Papa juga pernah dimarahin Mama karena berantem, kamu tau gak kenapa Mama marah?”
Sergio menggeleng.
“Karena Mama khawatir, Nak. Mama sayang sama Papa, Mama gak mau Papa kenapa-kenapa. Mama gak suka liat Papa luka. Jadi waktu liat kamu pulang dengan keadaan kayak gini, Mama juga ngerasain hal yang sama.”
“Nah, udah beres, pelan-pelan nanti kalau mandi ya. Pasti perih.”
Tepukan pelan Raechan berikan pada Sergio yang entah kenapa tiba-tiba terdiam setelah mendengar kalimat yang Raechan ucapkan tentang Kayana. Mungkin anak itu sedang merasa bersalah telah membuat khawatir wanita yang telah melahirkannya. Mungkin juga anak itu sedang bingung memikirkan bagaimana caranya membuat mamanya tidak marah lagi.
Maka Raechan mengambil peran, dia melepaskan jas dan dasinya. Kemudian mengeluarkan rokok dari saku celana.
“Dulu waktu seumuran kamu, Papa sama Om Jaenan pernah ngelawan delapan orang gara-gara mereka ngeroyok Om Jevan.” Raechan menghisap rokoknya dalam lalu asap mengepul ke udara. “Oma marahin Papa waktu itu.”
“Terus cara Papa minta maaf ke Oma gimana?”
Raechan merangkul bahu Sergio. “Kamu inget gak apa yang selalu Papa bilang tentang wanita?”
“Inget,” jawab Sergio lugas. “Mereka itu perasa, mudah marah, tapi mudah juga dibahagiakan. Bahkan dengan hal-hal kecil.”
“Naaaah, itu tau.” Raechan menjawab dengan semangat, membuat semburat wajah Sergio kembali ceria.
“Bikin Mama seneng lagi, dengan hal-hal kecil. Kamu pasti tau caranya, anak Papa kan pinter.”
Sergio tidak menjawab, anak itu hanya menabrak lembut tubuh papanya untuk memberi pelukan.
“Mama marah bukan karena gak sayang sama Gio.”
“Iya, Pa.”
“Gio gak marah kan ke Mama?”
Sergio melepaskan pelukan, menatap tepat ke manik mata papanya. “Enggak, sama sekali enggak Pa.”
“Good boy. Mama mu itu Papa ajak menikah waktu usianya masih sangat muda, melahirkan kamu waktu usianya masih 23 tahun. Mama kasih semuanya yang dia punya untuk kamu, Mama pusatkan semua perhatiannya untuk tumbuh kembang kamu. Bahkan butuh 15 tahun untuk Mama yakin sampai kita punya Sergia. Mama sayang sekali sama kamu, Sergio.”
“Iya, Pa, aku ngerti. Aku juga sayang banget sama Mama.”
Kecupan lembut mendarat di bahu Kayana beriringan dengan sebuah suara. “Aku udah ngomong sama Gio.” Raechan melingkarkan lengannya di perut Kayana. Memeluknya dari belakang.
“Aku keterlaluan ya ke Gio?”
“Enggak, aku ngerti kok kamu khawatir sama dia. Aku juga ngerti kamu dari dulu gak pernah suka liat orang berantem.”
Kayana diam, belum menanggapi jawaban Raechan.
“Sayang, liat aku,” pinta Raechan seraya membalikkan tubuh Kayana agar berhadap-hadapan dengannya. “Gio punya alasan sendiri kenapa dia berantem. Dia belain anak kecil yang dipalakin. Itu mungkin gak akan membenarkan perbuatannya, tapi seengganya kamu tahu, dia berantem karena memang dia harus ngelakuin itu. Bukan karena dia iseng atau pengen keliatan keren aja. Sergio, anak kita, itu anak keren. Kamu juga tau itu kan?”
“Iya, Mas.”
“Udah dong jangan cemberut gitu,” goda Raechan pada istrinya yang masih saja memberengut. Membuat bibirnya mengerucut menggemaskan.
“Smile or i'll kiss that pouty lips.”
“I don't want to smile so kiss me then.”
“This naughty girl.” Raechan berbisik lirih sebelum akhirnya menyatukan bibirnya dengan ranumnya bibir kayana. Mencecap rasa yang telah lama dikenalnya.
Ternyata malam itu, rencana mereka tidak berubah sedikitpun.