petrichorslines

Jika betul hidup di dunia laiknya mengendarai sebuah sepeda, maka aku bersimpuh memohon, Jangan lagi, Tuhan. Aku sudah cukup kepayahan, berusaha memulihkan roda belakangku yang stagnan. Bila roda depanku turut aus, apa kabar nanti dua gadis di atas sadel belakang? Kurasa, sebaik apapun aku mengayuhnya, sepeda ini tak akan kemana-kemana, bila tanpa kedua rodanya.

— dian nadila, 2024

Ini bukan perihal lantangnya suara yang keluar dari rongga udara.

Bukan pula seberapa penting penyelerasan nada dan irama.

Bagiku, atau mungkin juga bagi beberapa insan lain, ruangan penuh dentuman itulah hal utamanya.

Kubus berukuran tak seberapa, yang sesak dengan raungan irama, selalu berhasil membisukan apa yang ramai di kepala.

Juga terkadang, sejenak berhasil menyembunyikan pemeran-pemeran kecil dorama Tuhan, dari permainan semesta.

– dian nadila, 2024

Februari.

Tanpa sengaja, aku menjenguk kembali pertemuanku dengan seorang kawan, di kota Bandung, setahun lalu. Malam itu, berbanding terbalik dengan derasnya kupyuran air yang menghantam Bumi Pasundan, senyumnya merekah seolah tak setitik pun luka atau beban pada bahunya yang runduk. Padahal belakangan, kuketahui bahwa apa yang menimpanya, mungkin tak akan mampu disokong jika bukan oleh dia.

Maka mulai malam itu, aku mengilhami bahwa Tak Ada Gading yang Tak Retak bukan hanya sebuah frasa yang merujuk pada bentuk sebuah ketidaksempurnaan. Malam itu, dalam pelukan basahnya angin malam Kota Kembang, aku menyadari bahwa mengatakan, “Gue seneng hidup lo keliatan baik-baik aja.” adalah sebuah sikap ignoransi yang tak bisa diampuni.

— Dian Nadila, 2024

Doesn't go as planed.

Malam makin larut. Bunyi serangga terdengar jauh lebih nyaring dari pada hiruk pikuk manusia. Cangkir kopi tidak lagi mengepul, hanya tersisa bubuk kopi yang sunyi di dasar cangkir. Hembusan nafas Raechan makin sering terdengar. Gerakannya gusar. Pikirannya berkemelut.

Sudah hampir dua jam dia duduk di sana. Di teras depan rumah Kayana. Seorang diri. Sebab ayah Kayana sudah pamit undur diri sejak tadi.

Mata laki-laki itu tidak lepas memandangi gerbang depan. Berharap agar lekas ada yang membukanya. Agar penantiannya lekas usai. Agar kepalanya tidak lagi berbisik-bisik menjengkelkan mengenai apa yang mungkin hingga ini.

Jarum jam di pergelangan tangan Raechan menunjukkan pukul sebelas lebih dua menit, saat akhirnya terdengar suara deru mobil yang mendekat ke arah rumah dan berhenti tepat di depan gerbang. Raechan tidak perlu repot-repot mengalihkan pandangan sebab sejak tadi tatapannya masih terpatri. Gerbang depan kediaman keluarga Gati hanya setinggi bahu orang dewasa, sehingga memudahkan Raechan untuk menangkap sosok Kayana yang turun dari mobil berwarna hitam dan melambai ke arah pengemudinya.

“Makasih ya, Kak, nanti berkabar lagi soal gimana-gimananya.”

Suara Kayana terdengar nyaring dan menjengkelkan untuk indera pendengaran Raechan. Terlebih, Kayana sama sekali belum menyadari kehadiran sosoknya yang sudah hampir kering akibat terlalu lama menunggu.

Setelah adegan melepaskan kepergian yang memuakkan, akhirnya Kayana berbalik hendak membuka gerbang. Wajahnya berubah heran ketika menyadari ada seseorang yang duduk di depan teras rumahnya selarut ini, menunggunya pulang.

“Lo... ngapain di sini?”

Kayana berjalan ragu-ragu membelah halaman depan, merasa enggan untuk segera sampai ke teras. Sementara Raechan hanya menatap kekasihnya itu tanpa suara.

“Udah lama?”

Meskipun diambil dengan perlahan, langkah kaki Kayana tetap sampai di teras depan. Jaraknya hanya tinggal beberapa jengkal dari tempat Raechan duduk.

“Kenapa nggak nelfon gue?”

Hening. Raechan hanya menatap Kayana dalam diam.

“Yaudah terserah, kalau lo mau diem aja, silakan duduk disitu sampai pagi.”

Kayana berlalu, hendak meraih gagang pintu, saat akhirnya suara Raechan terdengar pelan.

“Ica bilang, lo udah mau balik dari jam delapan tadi. Kenapa jam segini baru sampai rumah? Mobil lo kemana? Kenapa dianter sama Kak Gian baliknya?”

“Mobil gue masih di parkiran kampus,” jawab Kayana tanpa repot-repot berbalik. “Kak Gian tau gue lagi ribut sama lo, makanya tadi dia ngajak gue muter-muter dulu, supaya gue gak sedih.”

“Tau gitu gue nggak kesini. Mending gue...”

“Mabuk sama anak-anak di studio?” Kayana memotong cepat. “Bisa nggak sih lo gak usah lari ke minuman tiap kali kita berantem?”

Raechan mendecih. “Jadi menurut lo, lebih baik gue pergi jalan-jalan sama cewek gak jelas buat ilangin stres gitu dari pada minum-minum?” Tatapan Raechan semakin tajam. “Kayak yang lo lakuin barusan?”

“Kalau lo mau ribut lagi besok aja, Rae, gue capek.” Suara Kayana terdengar lelah. “Oke, gue salah gue pergi sama Kak Gian nggak bilang dulu sama lo. Maaf untuk itu.”

“Kalau nggak tulus minta maafnya, mending nggak usah.”

“Rae, gue udah nggak mau ribut lagi. Besok kita rapat LPP dari pagi, gue mau istirahat.”

Raechan mengangguk-anggukan kepala dengan ekspresi muram. Tanpa menatap Kayana untuk terakhir kali, laki-laki itu berdiri dari duduknya dan melangkah menjauh dari teras depan rumah Kayana. “Gue balik,” katanya pelan.

“Hati-hati.” Kayana membalas tanpa menatap punggung Raechan yang kian menjauh. Gadis itu juga merasa tidak perlu menunggu mobil Raechan terlebih dahulu untuk masuk ke dalam rumah.

**

Keesokan harinya, awan mendung masih setia bernaung di atas hubungan Raechan dan Kayana. Mereka berdua sama sekali tidak bertegur sapa meskipun saling bersirobok pandang di Ruang Pertemuan Umum. Raechan langsung bergabung dengan divisinya. Begitu juga Kayana.

Klarisa yang menyaksikan wajah muram kedua sahabatnya itu, hanya bisa mendesah pelan dengan gusar. Upayanya untuk membuat mereka berdua membicarakan masalah yang tengah dihadapi, nampaknya belum membuahkan hasil.

Waktu berlalu dengan begitu lambat. Briefing yang sedang disampaikan oleh ketua LPP tidak mampu ditangkap dengan baik oleh kedua insan yang fikirannya berada di tempat lain itu. Sesekali keduanya saling melirik. Menimbang-nimbang haruskah saling menghampiri, atau dibiarkan saja saling diam seperti ini.

Setengah hati ingin sekali bermesraan seperti biasanya. Di sisi lain, ego masih menguasai.

“Rae, Kak Kayana ngeliatin lo mulu tuh.” Syahrul, salah satu rekan Raechan di divisinya berbisik lirih setelah menarik perhatian Raechan dengan menyenggol sikunya.

“Mukanya kesel gak, Rul?” balas Raechan dengan suara sepelan mungkin.

“Enggak, sih, lebih ke kayak pengen ngomong sesuatu tapi ditahan.”

“Oh.” Raechan membalas pendek.

Detik merangkak menjadi menit. Bergulir menjadi jam. Bahan pembicaraan ketua LPP menemui ujung. Briefing pagi itu ditutup dengan riuh tepuk tangan. Ruang Pertemuan Umum dikosongkan. Raechan berjalan bersisihan dengan Kayana. Mereka sepakat untuk menyempatkan waktu untuk berbicara.

Mereka memilih sebuah bangku di bawah pohon rindang yang dekat dengan area parkir mobil. Raechan langsung menyulut rokoknya sesaat setelah bokongnya menempel pada bangku kayu.

“Gue mau putus.”

Gerakkan tangan Raechan terhenti. Tangannya mengambang di udara, menyebabkan batang rokok yang telah disulut tidak sampai menyentuh bibir. Seluruh sel dalam tubuhnya menjadi dungu, begitu lambat memproses kata-kata yang meluncur begitu mudahnya dari bibir Kayana.

“Semaleman gue mikirin soal kita, we didn't work, Rae. We need to admit that. Kita terlalu sering berantem, lo nggak mau ngalah, gue juga nggak mau ngalah.”

Raechan menggeleng tidak percaya sebelum berucap pelan, “Obrolan kita semalem nggak ngarah kesini, Kay. Lo kenapa? Abis gue balik, lo ngobrol sama siapa sampai bisa dipengaruhi kayak gini. Jujur sama gue....”

“Ini,” potong Kayana cepat. “Ini yang nggak gue suka tentang hubungan kita. Lo selalu sibuk nyari masalah kita dari luar, nyalahin pihak lain. Padahal masalahnya ada di dalem, Rae, di antara kita.”

“Kay...”

“Lebih baik kita berhenti di sini. Gue gak mau hubungan kita semakin saling nyakitin sampai kita bahkan nggak sudi untuk saling tegur. Kita nggak bisa kayak gitu, kita harus tetep profesional soal LPP.”

Raechan berusaha mencari celah rasa keberatan dari ekspresi Kayana. Dia berharap setidaknya ada sedikit rasa enggan bagi Kayana untuk mengatakan segala hal yang baru terucap dari bibir cantiknya itu. Tetapi yang didapati Raechan hanya wajah tenang Kayana tanpa perubahan mimik yang berarti.

“Kay...”

“Gue balik duluan. Lo abisin dulu aja rokok lo.”

Kayana berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan Raechan berkawan dengan sebatang rokoknya, yang terus dikikis habis oleh api, tanpa dihisap.

“Kenapa kamu memilih menjadi seorang penulis?” Suara itu terdengar, bersamaan dengan sosoknya yang terasa jelas di balik punggungku.

Detik terlewat, tanpa sedikitpun selaan dari si penanya. Dia menungguku dengan dada yang lapang.

Sementara aku membiarkan hening mengisi ruang sebelum jawabanku mengudara, “Saya memilih menjadi seorang penulis karena saya bisa terlahir berkali-kali. Menjalani hidup yang berbeda berkali-kali. Dan...”

“Leluasa memilih peran dan takdir yang kamu mau. Sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan di dunia nyata, Nona. Itu keuntungan seorang penulis menurut saya,” potongnya lirih, selirih hembusan angin yang menerpa helaian rambutku malam itu.

— Dian Nadila, 2023

“Do you have any fear?”

“I do.”

“What is that?”

Fear of some things that I can't predict how deep it is.”

“And... Like what?”

“Sea and....”

“And?”

“Someone's heart.”

— Dian Nadila, 2023

“Perasaan tertarik sering kali hadir dari rasa penasaran yang berlebih.” – Garend

Seorang pria memberhentikan sepeda yang dikendarainya setelah menempuh jarak lebih dari satu kilometer. Dia berhenti di atas jembatan kayu usang yang menghubungkan sebuah desa dengan area rumah sakit yang akan menjadi tempatnya mengabdi. Dari atas jembatan, pria itu menyapukan pandangannya ke segala arah. Di sisi kiri jembatan, dia dapati bukit-bukit saling bergandengan mesra. Bukit-bukit itu tampak seperti sebuah pagar raksasa yang melindungi desa kecil ini dari dunia luar. Sementara di sisi kanan, indera penglihatan pria tu dimanjakan oleh kebun teh yang membentang. Ujung kebun teh itu tidak dapat ditangkap dengan mata telanjang. Sebab kebun seluas itu tampak bersinggungan langsung dengan langit biru di ujung sana.

Di bawah jembatan kayu, mengalir sungai kecil dengan air yang begitu jernih. Bahkan dari tempatnya berdiri, pria itu dapat melihat ikan-ikan kecil saling berkejaran pada aliran airnya.

Garend, yang sejak tadi dipanggil sebagai pria itu, menarik nafasnya panjang-panjang. Meraup udara segar yang disajikan desa kecil ini sebanyak mungkin. Berusaha membersihkan rongga dadanya dari udara kotor yang selama ini terlanjur dia hirup ketika tinggal di perkotaan.

Lantas, setelah merasa rongga dadanya penuh dengan aliran udara baru, Garend kembali mengayuh sepedanya. Membawa kendaraan roda dua itu sampai ke depan gedung yang tampak begitu gagah bersanding dengan beberapa pohon yang tampaknya telah berusia puluhan tahun. Gedung besar itu merupakan sebuah bangunan rumah sakit satu-satunya yang ada di desa kecil ini. John Medical, namanya.

Layaknya rongga dadanya yang mendapat asupan baru, Garend juga telah siap menyambut hari-harinya yang baru. Di desa kecil bernama Ayu Laga itu. Mengabdi menjadi seorang dokter residen bedah umum.


Bau obat-obatan langsung tercium saat Garend membuka pintu Unit Gawat Darurat milik John Medical. Beberapa orang yang sudah lebih dulu berada di sana langsung memberi sapaan yang disertai dengan anggukan ramah. Beberapa dari mereka sudah tampak begitu lelah. Senyum yang mereka berikan tidak nampak penuh. Tanda-tanda keletihan akibat berjaga semalaman menggelayut begitu jelas di bawah kedua kelopak mata mereka.

John Medical bukanlah sebuah rumah sakit besar. Jika dibandingkan dengan Lagom Medical Center, sebuah rumah sakit di pusat kota, John Medical hanya sepersepuluh besarnya. Namun, karena rumah sakit ini adalah satu-satunya rumah sakit yang berada di pinggiran kota, tidak heran rumah sakit ini tetap ramai di setiap harinya. Maka, wajah-wajah mengantuk yang Garend lihat pagi ini amat sangat bisa dia pahami.

Garend mengecek jam yang melingkar di tangannya sebelum mendekati salah seorang perawat. Saat ini waktu menunjukkan pukul delapan lebih lima puluh menit. Yang artinya, dalam waktu sepuluh menit lagi, pergantian jadwal jaga akan dimulai. Wajah-wajah menahan kantuk itu akan segera digantikan oleh wajah-wajah baru yang tampak lebih segar dan siap bekerja.

“Dokter Garend,” mulai perawat yang segera menghampiri Garend saat melihat kedatangannya. “Hari ini ada jadwal operasi pukul setengah dua siang ya. Dokter Garend akan menggantikan Dokter Abraham sebagai dokter bedah utama, karena beliau sedang menghadiri seminar di rumah sakit pusat,” lanjut perawat itu dengan suara yang tenang.

Garend mengangguk, menoleh pada perawat yang dia ketahui namanya sebagai Valen itu. Garend memang telah berkenalan dengan seluruh pegawai rumah sakit pada hari sebelumnya, seusai bertemu dengan pemilik rumah sakit.

“Baik, Sus. Sudah konfirmasi dengan Dokter Tendra?”

Kali ini giliran Valen yang mengangguk. Masih dengan nada suara yang begitu tenang, Valen menjawab. “Sudah, Dokter. Dokter Tendra yang akan menangani anestesinya.”

Garend menatap puas ke arah suster cantik itu. Menurut kabar yang dia dengar, Valen merupakan salah satu perawat yang sangat bisa diandalkan, dalam segala bidang. Semua hal itu terbukti benar. Valen begitu cetakan dalam melakukan pekerjaannya.

Setelah memastikan semua jadwalnya tersusun dengan rapi dan memastikan seluruh pasien di UGD telah tertangani dengan baik, Garend lantas melanjutkan tugas yang selanjutnya. Dokter muda itu keluar dari UGD melalui pintu belakang dan melanjutkan langkahnya melewati koridor panjang yang lengang. Garend hendak menuju sebuah ruangan di ujung lorong. Ruang rawat VIP yang dihuni oleh seorang pasien laki-laki bernama Sagara.

Dari rekam medis, Garend mengetahui bahwa pasien tersebut adalah seorang pasien yang sudah koma selama enam bulan. Sebetulnya, secara medis, keadaan koma biasanya berlangsung selama beberapa minggu saja. Tetapi, dalam keadaan tertentu, juga bisa berlangsung selama berbulan-bulan. Pemilik rumah sakit ini juga telah menjelaskan bahwa keadaan Sagara bermula karena pasien itu terjatuh dari jembatan gantung dan tenggelam di sungai besar yang berada tidak jauh dari desa.

Kepala pasien tidak menabrak batu sungai atau benda keras apapun. Hasil rontgen menyatakan bahwa tengkorak kepalanya tidak mengalami cedera. Air yang masuk ke tubuh pasien akibat terjatuh ke sungai juga sudah sepenuhnya dikeluarkan dari tubuh. Secara medis, tidak ada yang salah dengan kendaan pasien. Namun entah mengapa, bahkan setelah enam bulan terlewat, pasien bernama Sagara itu belum juga sadarkan diri.

Semua informasi yang diketahuinya itu membuat Garend segera memeriksa keadaan pasien setibanya di ruang rawat. Mulai dari detak jantung, saturasi oksigen, tekanan darah dan denyut nadi, tidak ada satupun yang Garend lupakan. Namun, betapa terkejutnya dia saat dengan hasil pemeriksaannya sendiri, Garend menyaksikan bahwa keadaan Sagara memang begitu baik. Semuanya normal.

Dokter yang sedang menjalani masa residennya itu mengerutkan dahi. Tidak mengerti kenapa Sagara masih saja dalam keadaan seperti ini dengan keadaan sebaik itu? Apa yang salah dengannya? Dalam ketidakmengertiannya itu, Garend mengalihkan tatapannya ke arah lain. mengamati ruangan Sagara yang sepi, tidak ada seorang pun yang menungguinya disini.

Tatapan Garend berakhir jatuh pada setangkai bunga mawar putih yang terletak di atas meja, di samping ranjang pasien. Bunga mawar itu tampak segar, seperti baru diletakkan di sana beberapa menit yang lalu. Garend juga sempat melihat ada bunga mawar yang sama di ruang rawat pasien yang lain. Bahkan Garend juga melihatnya di kursi tunggu yang berada di area depan rumah sakit.

Fokus Garend terbelah. Setengah dirinya memikirkan keadaan Sagara sementara setengah dirinya yang lain memikirkan asal usul bunga-bunga cantik itu. Siapa yang meletakkan bunga secantik itu sepagi ini? Untuk apa?Siapa yang mengizinkannya?

Seluruh pertanyaan itu berputar di kepala Garend seperti benang kusut. Hingga tanpa sadar, tangan Garend bergerak untuk meraih bunga itu dan memasukannya ke dalam saku jas dokter yang dia kenakan. **

Uwu Bang Garend, kenapa nggak bangunin sih? Telat nih gue.

Me Makanya main game tuh jangan sampe subuh. Telat kan. Udah gede, Wu, belajar manage waktu. Gelar dokter bukan main2

Garend kembali memasukkan ponselnya ke saku celana setelah membalas pesan singkat dari Uwu, adik angkatnya, yang juga berprofesi pada bidang yang sama dengannya. Senyum mengembang di wajahnya yang tampan. Dalam benaknya, Garend sedang membayangkan saat ini Juwan, atau biasa dia panggil dengan Uwu, pasti sedang tergesa-gesa untuk datang ke rumah sakit.

Bibir pria yang dua tahun lebih muda darinya itu pasti sedang mengerecut sebal. Gerakan kaki dan tangan Juwan pasti sedang sibuk merapikan diri untuk tetap terlihat baik meskipun tidak mandi. Oh, Garend juga berdoa dalam hatinya, semoga Juwan setidaknya menggosok gigi dan membasuh mukanya sebelum menyambar kunci mobil.

Juwan, atau Garend harus memanggilnya Dokter Juwan ketika mereka berada di rumah sakit, adalah seorang adik yang tidak terlahir dari rahim yang sama dengan Garend. Mereka baru bertemu empat tahun lalu, saat Garend sedang menjalani masa koas dan Juan masih mahasiswa kedokteran di tahun-tahun terakhirnya. Juwan memang bukan adik yang memiliki aliran darah dan DNA yang sama dengannya, tapi kedekatan mereka tidak ubahnya adik-kakak sungguhan. Yang saling menyayangi, saling mendukung dan saling menghormati.

Hal itu dibuktikan dengan Juwan yang senantiasa untuk ikut pindah ke desa kecil bernama Ayu Laga ini, ketika Garend memilih John Medical sebagai tempatnya mengabdi.

Selaras dengan apa yang ada di benak Garend, saat ini, di rumah dinas, Juwan sedang sibuk menata rambutnya di depan cermin. Benar saja dia tidak mandi, tapi tentu dia tidak boleh terlihat berantakan. Paling tidak, wajah dan rambutnya harus tetap terlihat rapi. Setelah memastikan bahwa dirinya siap tampil di muka umum, dalam sekali tarikan nafas, Juwan menyambar kunci mobil dan berangkat menuju John Medical. Hanya butuh waktu kurang dari lima menit untuk tiba di rumah sakit pinggiran kota itu. Juwan memakirkan mobilnya dan berlari masuk ke ruang UGD sambil mengenakan jas dokternya.

Setibanya di sana, Juwan sama sekali tidak melihat keberadaan Garend. Hanya ada Suter Valen yang baru selesai mengecek infus salah satu pasien. Juwan lantas menghampri suster cantik itu untuk menanyakan keberadaan Garend. “Sus, Bang Garend dimana?”

“Bang Garend?” tanya Valen dengan wajah sedikit kebingungan.

Juwan memukul keningnya pelan, tersadar akan sesuatu. Pria itu lalu terkekeh pelan untuk meredakan kebingungan Valen. “Hehe, maksud saya, Suster Valen lihat DOKTER Garend nggak?”

“Ah... Dokter Garend.” Tawa Valen membersamai kekehan Juwan. “Lagi ke ruangan Dokter Tendra.”

“Kelihatan marah nggak tadi dia, Sus?” tanya Juwan lagi, tentunya dengan begitu berhati-hati.

Bagaimanapun, hari ini Juwan telah melakukan kesalahan. Juwan juga menyadari itu. Ada sedikit perasaan takut di hatinya untuk menghadapi Garend. Tidak peduli bahwa Garend begitu memanjakannya di luar rumah sakit, tapi di dalam rumah sakit, Garend adalah sosok senior yang tegas.

“Nggak marah, sih. Cuma kayak mau nerkam orang gitu, Dok.” Valen menjawab dengan ketenangan dalam suaranya, membuat Juwan yang mendengar itu semua langsung memberengut dengan lemas.

Wajah muram Garend, ditambah omelannya yang tajam, langsung terbayang di depan wajah Juwan. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya langsung meremang. “Yaudah, saya ke ruangan istirahat dokter ya, Sus. Kalau ada apa-apa, telfon saya aja.”

Juwan membalikkan tubuhnya dengan lemas, bermaksud segera keluar dari ruang UGD. Namun, baru dua langkah dia ambil, Valen menahan tangannya. “Saya cuma bercanda, Dok. Dokter Garend nggak marah, kok.”

Juwan kembali menghadap Valen, matanya berbinar penuh kelegaan. “Serius, Sus?” tanyanya bersemangat.

Valen mengangguk sekali lagi, kemudian gadis itu berjalan ke arah meja kerjanya dan mengeluarkan sebungkus roti dan sekotak susu cokelat. “Ini tadi Dokter Garend nitip ini buat Dokter Juwan. Katanya, Dokter Juwan pasti belum sarapan.”

Hati Juwan menghangat saat kedua telapak tangannya bersentuhan dengan bungkus makanan dan minuman yang dititipkan Garend. Senyumnya kembali mengembang. Bulu-bulu halus yang tadi meremang telah kembali tertidur dengan tenang. Setelah mengucapkan terimakasih kepada Valen, Juwan pamit dan segera menuju ruang istirahat dokter. Pria itu kemudian duduk di meja kerjanya sambil terus memandangi bungkus makanan dan minuman titipan Garend.

Inilah dia, ini dia alasan kenapa Juwan setia mengikori sosok Garend Abumi Adetama. Sisinya yang ini, yang tidak Garend umbar melalui kata-kata. Garend memang sering memarahi Juwan lewat kata-katanya yang pedas. Tapi perlakuannya sering kali berbanding terbalik dengan itu semua. Juwan bisa merasakan kasih sayang yang tulus dari Garend, meskipun mereka terlahir dari rahim yang berbeda.

Sampai kapanpun, Garend akan menjadi panutan bagi Juwan di bidang kedokteran. Juga sosok kakak yang akan selalu dia banggakan.

Ayu Laga. Ayu Laga. Selamat Datang di Ayu Laga.

Pernah merasa penasaran akan sebuah tempat yang selama ini hanya bisa dibayangkan lewat rangkaian kata yang terlahir dari kemahiran seorang penulis? Pernah menerka-nerka apakah benar ada sebuah tempat yang digambarkan keelokannya bak negeri dongeng? Pernah ingin mengunjungi sebuah tempat yang kemahsyurannya hanya diketahui oleh segelintir orang?

Jika pernah, aku, kamu dan kita semua, pasti lah bisa membayangkan perasaan seorang Gentala Harold Hastanta saat ini. Rasa penasarannya sudah sampai ke ubun-ubun. Menggelitik egonya untuk mendobrak saja sebuah tembok imajinasi seorang penulis yang karyanya berada di rak “Sepuluh Besar Buku Terlaris” di seluruh toko buku di negara ini.

Gentala selalu bertanya-tanya, bagaimana bisa hanya melalui rangkaian abjad yang dirajut menjadi kata, seorang penulis bisa membawa kita ke sebuah wilayah antah brantah melalui isi kepala kita sendiri? Bagimana bisa seorang penulis selalu berhasil membuat kita membayangkan sebuah lokasi dimana mata kita sendiri pun belum pernah menangkap rupanya?

Betapa ajaibnya serangkaian kata yang lahir dari lapangnya hati seorang penulis, sehingga kita, orang-orang yang menikmati karyanya, seakan bisa diajak masuk ke dalam skenario yang mereka tulis.

Memiliki pekerjaan sebagai seorang aktor, menjadikan Gentala seseorang yang harus merasuki setiap tokoh yang harus diperankan olehnya. Menjadikan dia seseorang yang harus piawai menata raut muka sesuai dengan perasaan tokoh yang dituliskan dalam naskah, agar pesan dalam cerita dapat sampai pada penikmatnya. Agar tokoh yang dimainkannya terasa hiduo. Ada kalanya, Gentala bahkan lupa mana dirinya yang asli. Perasaan tokoh-tokoh yang diperankannya sedikit banyak mempengaruhi emosinya di dunia nyata.

Karenanya, Gentala selalu merasa takjub pada setiap penulis yang berhasil menghidupkan seorang tokoh dan menggambarkan sebuah imajiner tanpa perlu membawa rupa pada selembar kertas putih tanpa dosa. Hanya lewat kata-kata, seseorang bisa dianggap hidup. Dicintai. Dicaci. Dimengerti. Dibenci. Hanya lewat kata-kata. Hanya lewat kata-kata.


Ayu Laga. Selama ini, Gentala hanya mampu membayangkannya di dalam salah satu ruang di kepalanya. Tidak pernah disangka olehnya, bahwa Ayu Laga, yang dalam angan-angannya, adalah sebuah tempat yang elok, memang benar begitu adanya. Ayu Laga, sebuah desa kecil di mana bukit menjadi pagarnya dari dunia luar. Sungai kecil menggeliat di bawah jembatan kayu yang cantik. Ribuan hektar kebun teh berbatasan langsung dengan birunya awan. Ayu Laga adalah sebenar-benarnya peradaban dimana keindahan alam dijunjung tinggi oleh warganya.

Tidak pernah sekali pun Gentala berani membayangkan bahwa suatu hari kedua kakinya akan benar-benar berpijak di atas tanah Ayu Laga. Hidungnya akan benar-benar menghirup udara Ayu Laga. Matanya akan benar-benar menyaksikan sendiri keelokan Ayu Laga.

Hari ini seperti mimpi. Dimana Gentala seakan tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Pria itu berani mengutuk siapa pun yang berani membangunkannya dari mimpi indah ini. Gentala ingin di Ayu Laga. Selama yang dia bisa. Selama-lamanya, jika boleh.

“Kamu mau berdiri disitu aja? Atau mau ikut saya jalan-jalan?”

Suara itu memecah kekaguman Gentala akan Ayu Laga. Diseretnya kedua bola matanya dengan sedikit enggan ke arah gadis yang membawanya datang ke tempat ini. Tatapan gadis itu teduh dan tenang. Begitu sabar menunggui Gentala yang belum juga habis rasa takjubnya akan desa kecil ini.

“Kalau kamu masih mau di sini, silakan. Nanti kamu bisa—”

“Saya ikut kamu, Sabitha. Kita kemana?”

“Kaki bukit. Mau lihat tempat favorite Garend dan Adzkiya, kan?”

Satu anggukan dari Gentala membuat Sabitha melangkahkan kakinya lebih dulu. Membelah jalanan Ayu Laga yang berbatu. Menyapa satu-dua warga desa yang sedang sibuk mengisi keranjang rotan di gendongan mereka masing-masing. Mengajari Gentala bagaimana caranya hidup di Ayu Laga, sebagai warga desa yang menjunjung tinggi ramah-tamah.

Gentala mengekori Sabitha. Ikut menunduk sopan saat melihat penulis itu menyapa warga. Ikut tersenyum lebar saat beberapa ibu-ibu membalas sapaan dengan lambaian tangan.

Lama mereka berjalan. Dari ujung selatan desa menuju ke barat. Gentala tidak menghitung detiknya, yang pasti, jarak itu cukup untuk membuat betisnya pegal— hampir kebas bahkan. Namun tampaknya, gadis yang dia ekori sama sekali tidak merasakan hal yang sama dengannya. Langkah kaki gadis itu masih seringan bulu. Memimpin jalan tanpa sekalipun menoleh ke belakang.

“Kalau kamu lelah, kita bisa istirahat dulu,” ucap Sabitha tanpa berbalik.

Gentala sedikit terperanjat. Menatap punggung Sabitha dengan ekspresi kok dia bisa tahu? tergambar jelas di wajah pria itu. “Enggak, kok. Saya baik-baik aja,” bohongnya. “Tempatnya masih jauh?”

“Kamu bilang, kamu pembaca buku saya, seharusnya kamu bisa mengira-ngira seberapa jauh jaraknya, Tuan Gentala.”

“Garend dan Adzkiya selalu mengendarai mobil Garend ketika mereka pergi ke sana, Sabitha. Tidak berjalan kaki seperti ini. Jadi saya tidak bisa mengira-ngira.”

“Benar juga,” jawab Sabitha pendek. Diiringi kekehan pelan. “Sebentar lagi kita sampai, saya sengaja lewat jalanan ini agar lebih cepat sampai dengan berjalan kaki,” lanjutnya.

Gentala tidak menjawab. Memilih untuk memperhatikan langkah kakinya saja. Jalan yang mereka lalui semakin berbatu. Cukup terjal bahkan. Dan menurun. Membuat siapa pun yang melewati jalanan ini harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir dan berakhir terkilir.

Setelah habis jalan berbatu terjal yang dilewati Gentala dengan susah payah, terpampang jelas di depan matanya, sebuah lahan menghijau yang sedap dipandang mata. Habis lelah yang Gentala rasakan. Digantikan euforia yang merambat naik dari dadanya hingga menimbulak lengkung senyum pada bibirnya. Seorang pujangga pernah berkata, akan ada pelangi setelah lebatnya hujan. Sebuah perumpamaan paling realistis untuk apa yang Gentala rayakan setelah memakasa kakinya untuk terus melangkah.

Persis. Semuanya persis yang digambarkan Sabitha. Ladang dandelion di kaki bukit Ayu Laga, sama persis seperti apa yang selama ini terbayang di dalam kepala Gentala melalui rangkaian kata yang Sabitha tuliskan dalam novelnya.

“Ini tempatnya. Nikmati sesuka kamu. Barang kali kamu bisa memanggil jiwa Garend untuk hidup di dalam diri kamu.” Entah sejak kapan, Gentala tidak menyadarinya, Sabitha sudah duduk di atas sebuah kain dengan corak kotak-kotak, yang dibentangkan di atas rerumputan. Gadis itu juga sudah mengeluarkan kotak bekal dan meletakkannya di atas pangkuannya. “Sebentar lagi matahari terbenam, Garend sangat suka duduk-duduk di sini menjelang petang. Coba saja kamu panggil jiwanya.”

“Kamu lebih terdengar seperti seorang sutradara dari pada seorang penulis novel, Sabitha.” Gentala kembali menolehkan kepalanya dan menatap semburat oranye di balik bukit.

“Bagus, karena sebentar lagi saya memang akan menjadi asisten sutradara.”

“Untuk film ini?”

“Kalau bukan untuk film yang diangkat dari novel saya sendiri, lalu film mana lagi, Tuan Gentala?” Raut wajah Sabitha tidak berubah, meskipun nada suaranya mulai tidak sabaran.

Gentala memilih untuk tidak menjawab. Kedua matanya masih menatap lurus ke arah hamparan dandelion yang bergoyang-goyang menikmati angin sore. Di kejauhan, dari balik pepohonan di lereng bukit, burung-burung terbang rendah. Hendak kembali ke sarang. Sayup-sayup pria itu mendengar suara penggembala yang menggiring ternaknya pulang. Desa ini tampaknya sedang bersiap untuk menyambut malam, beristirahat.

“Desa ini sepi ketika malam, yang ramai hanya di deretan pertokoan di pinggir jalan utama yang kita lewati tadi,” gumam Sabitha.

“Sesuai yang kamu tulis di novel kamu, ya?” Gentala merespon. Walaupun sebetulnya Sabitha lebih terdengar seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Gumamannya terlampau pelan, hampir tidak terdengar.

Satu anggukan samar Sabitha tertangkap melalui ekor mata Gentala. “Desa kecil ini adalah penggambaran jiwa Adzkiya yang sesungguhnya.”

“Sepi, tenang, tetapi membawa ketenangan. Begitu, kan, maksud kamu?”

Sabitha menolehkan wajahnya pada Gentala. Sedikit mendongak sebab pria itu berdiri beberapa langkah dari tempatnya duduk. “Setidaknya begitu yang coba saya gambarkan dalam novel. Saya berterimakasih kalau ternyata hal itu sampai kepada pembaca, termasuk kamu juga menyadarinya.”

Semburat oranye lenyap. Digantikan petang yang menaungi langit Ayu Laga. Bulan mengintip malu-malu dari balik segerombolan awan hitam. Tidak nampak satu pun bintang yang menjadi kawannya. Malam ini, sama seperti malam-malam biasanya, nampaknya hujan akan kembali memanjakan jiwa-jiwa yang ada di Ayu Laga. Rintik hujannya akan menjadi lagu pengantar tidur yang syahdu.

Kedua insan itu masih bertahan pada posisi masing-masing. Tidak memperdulikan keheningan yang membungkus kaki bukit. Penerangan hanya berasal dari rumah warga. Mereka hanya mampu samar-samar mengenali sekitar.

Mereka menghabiskan waktu sedikit lebih lama lagi, lantas Sabitha yang lebih dulu beranjak. Memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam tas, tidak lupa melipat alas duduk. “Kalau kamu masih mau disini, silakan saja. Saya akan mengurus penginapan.”

“Terimakasih. Satu jam lagi saya kembali.” Gentala menjawab tanpa menatap Sabitha. Sejak tadi, pria itu sibuk dengan imajanisnya sendiri. Memanggil sosok Garend agar masuk ke dalam dirinya— sesuai yang Sabitha sarankan.

“Iya.”

Sabitha melangkahkan kakinya menjauh dari Gentala. Berbekal cahaya senter yang berasal dari ponselnya, gadis itu memilih jalan yang cukup aman untuk dilewati. Satu-dua ilalang yang tumbuh terlalu tinggi harus disibak dengan sebelah tangannya bebas. Sabitha tidak memilih jalanan yang sama dengan yang dilewati ketika sore tadi, terlalu berbahaya melewati jalanan berbatu itu di malam hari. Toh, penginapan yang dia tuju ada di bagian selatan Ayu Laga. Jadi tidak perlu lagi melewati jalan yang menuju arah barat.

Belum jauh langkah yang dia ambil, Sabitha teringat sesuatu— Gentala baru pertama kali datang ke desa kecil ini. Terlalu beresiko meninggalkan pria kota itu sendirian malam-malam begini. Bisa jadi Gentala akan jatuh terjerembab sebab memilih jalan yang salah. Lebih buruknya lagi, pria itu bisa saja salah mengambil jalan. Mengingat Sabitha belum memberi tahu penginapan mana yang akan menjadi tempat istirahat mereka malam ini. Mobil Gentala juga jauh terparkir di salah satu area restoran di pinggir jalan utama.

“Gentala!” panggilnya berusaha sekencang mungkin.

Yang dipanggilnya hanya menoleh tanpa menjawab apa-apa.

“Besok lagi saja saya antar ke sini lagi! Malam ini lebih baik kamu ikut saya ke penginapan!”

“Kenapa?” Gentala balas berteriak.

“Kamu belum tahu jalan! Nanti tersesat!”

“Ah!” Gentala menepuk dahi. Baru tersadar akan hal itu. Buru-buru pria itu melangkah ke arah Sabitha. Langkahnya lebar-lebar, meskipun beberapa kali hampir tergelincir karena tidak memperhatikan apa yang menjadi pijakannya. “Saya terlalu terbawa suasana, merasa menjadi Dokter Garend yang sudah hapal betul dengan desa ini,” ucapnya setelah tiba di hadapan Sabitha.

“Garend bahkan tidak akan mau di sana sendirian malam-malam.”

“Kenapa? Ada hantunya?” terka Gentala.

“Bukan. Menurutnya pasti akan lebih baik ada di rumah Adzkiya, tidur di pangkuannya, dari pada berdiri seorang diri di tempat segelap itu.”

“Ah.... Saya lupa sedang berbicara dengan seorang penulis novel romantis, bukan penulis kisah horor.”

Gentala dan Sabitha berjalan bersisihan di sepanjang jalan setapak yang menghubungkan kaki bukit dengan desa. Suara jangkrik dan katak terdengar dari semak-semak yang berada di kiri dan kanan jalan. Gemericik air terdengar samar dari kejauhan. Suasana yang amat jauh berbeda dengan yang biasanya mereka nikmati di kota besar. Di area gemerlap tengah kota itu, lebih mudah mendapati bisingnya suara klakson mobil dari pada suara hewan malam macam begini.

“Kamu kenapa memilih karir sebagai seorang penulis, Sabitha?” Gentala bertanya setelah lepas beberapa saat keduanya hanya diam.

“Untuk membantu orang-orang kabur.”

“Hah?” Gentala tidak terlalu mempercayai apa yang baru didengarnya dari gadis itu. “Maksudnya? Kabur bagaimana?”

“Kabur, kabur dari dunia nyata.” Suara Sabitha terdengar lirih, tetapi tetap berhasil ditangkap oleh rungu Gentala.

Entahlah, seharian ini nampaknya indera pendengaran Gentala mulai terbiasa dengan Sabitha yang sering kali berbicara dengannya dengan suara lirih. Seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Untuk beberapa orang, dunia ini jahat. Dunia ini terlalu dingin untuk dihuni. Jadi saya ingin menulis dan menciptakan sebuah ruang imajiner di kepala mereka, agar setidaknya, mereka memiliki tempat untuk lari. Kabur selama sementara waktu dari dunia nyata.”

Gentala mengangguk-angguk mengerti. Mencerna dengan baik setiap kata yang dituturkan gadis di sebelahnya itu. Sabitha benar, cerita fiksi sering kali menjadi obat untuk luka yang tercipta pada sebuah dunia yang berisi kita di dalamnya. Ruang imajiner yang diciptakan seorang penulis adalah sebuah ruang yang selalu berhasil menarik pembacanya untuk tinggal selama beberapa saat dan melupakan segala keluh dan kesah pada sebuah dunia yang harus dijalani, meskipun sambil tertatih.

“Kalau kamu, kenapa kamu ingin menjadi seorang aktor, Gentala?” Sabitha balik bertanya setelah pria di sebelahnya ini hanya diam dalam waktu yang cukup lama.

“Ah.... Kalau saya...” Gentala menyeret bola matanya ke bawah, mengamati tiap langkah yang dia ambil sambil berpikir. Dulu, jika ditanya hal seperti ini, maka dia akan menjawab, “Suka acting aja”, dengan entengnya. Kini, setelah mendengar jawaban dari seorang penulis berbakat macam Sabitha, Gentala berpikir dua kali untuk menjawab seenteng itu.

Detik terlewat, tanpa sedikitpun selaan dari Sabitha. Gadis itu membiarkan hening mengisi ruang sebelum jawaban Gentala terdengar. “Saya memilih menjadi aktor karena saya bisa terlahir berkali-kali. Menjalani hidup yang berbeda berkali-kali. Dan...”

“Leluasa memilih peran dan takdir yang kamu mau. Sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan di dunia nyata, Gentala. Itu keuntungan seorang aktor menurut saya,” potong Sabitha lirih.

Mereka berdua tiba di penginapan setelah satu-dua percakapan lagi. Seorang wanita muda menyambut keduanya dengan senyum ramah, buru-buru keluar dari meja resepsionis dan langsung menjabat tangan Sabitha sembari berucap, “Mbak Sabitha, homestaynya sudah siap. Di tempat yang biasa ya. Perapiannya juga sudah disiapkan Pak Abu.”

“Terimakasih, Rona. Sekarang Pak Abunya dimana?” Sabitha menengok ke kanan dan ke kiri, mencari sosok yang dipanggil sebagai Pak Abu.

“Ada, Mbak, di beranda belakang. Kunci mobilnya dikasih ke saya aja, nanti biar saya bilang Pak Abu untuk bawa mobilnya kesini. Diparkir di tempat biasa?” Si wanita muda menjawab dengan tangkas. Terlihat mahir melayani.

“Iya, eh, sebentar,” Sabitha menoleh pada Gentala. Memberi kode pria itu agar memberikan kunci mobilnya pada Rona. “Mobil kamu plat nomornya berapa?”

Gentala menjawab usai memberikan kunci mobil. “NC 127 T.”

“Ah, baik, Mas. Nanti saya sampaikan ke Pak Abu. Mbak Sabitha dan Masnya silakan langsung ke homestay saja.”

“Terima kasih, Rona.”

Wanita muda itu melenggang pergi. Menuju beranda belakang lewat pintu samping yang berada di dekat meja resepsionis.

“Merasa aneh dipanggil masnya padahal kamu aktor besar ibu kota?” Sabitha bertanya setelah Rona hilang ditelan pintu.

Gentala mengerjap, merasa tertangkap basah. Memang sejak tadi pria itu merasa aneh karena wanita muda yang menyambut mereka tidak bereaksi histeris padahal seorang Gentala Harold Hastanta berdiri di hadapannya. Juga warga desa yang ditemuinya tadi, mereka justru lebih antusias melihat kedatangan Sabitha dari pada dirinya.

“Warga di sini jarang menonton TV. Mereka lebih gemar mendengarkan radio.” Sabitha menjelaskan tanpa Gentala minta. “Itu, kamu bisa lihat di meja resepsionis hanya ada radio.”

“Tapi di novel kamu, Adzkiya dan Garend sering menghabiskan waktunya dengan menonton film?”

“Tidak semua yang saya tulis sesuai dengan apa yang terjadi di kenyataan, Tuan Gentala. Seperti yang saya bilang, saya menulis justru untuk memberi ruang pada jiwa-jiwa yang mencari pelarian.”

Setelah mengucapkan kalimat indah itu, Sabitha melenggang begitu saja melalui pintu yang sama dengan yang digunakan Rona. Menuju sebuah rumah dengan lampu temaram yang berada beberapa meter saja dari ruang resepsionis itu.

Penginapan yang Sabitha pilih adalah sebuah rumah yang dijadikan sebagai tempat peristirhatan bagi pelancong yang mengunjungi Ayu Laga. Terdapat dua kamar tidur dengan kamar mandi dalam. Sebuah ruang tamu sederhana dengan dua sofa tunggal dan satu sofa panjang. Juga sebuah ruang keluarga yang terhubung langsung dengan dapur.

Perapian yang memiliki cerobong panjang berada di salah satu dinding yang dekat dengan dapur. Menyebarkan kehangatan ke seluruh bangunan. Suara gemertak kayu yang dilahap api membuat suasana semakin terasa tenang. Hujan di luar mulai turun. Rintiknya membentur atap dan kaca jendela. Angin dingin berhembus ringan melalui ventilasi di atas pintu.

“Kamu bisa pakai kamar yang di sebelah kanan,” ucap Sabitha sembari menunjuk ke salah satu pintu kamar. “Kamar itu menghadap ke timur. Kalau kamu mau bangun lebih pagi, kamu bisa menikmati pertunjukan matahari pagi yang terbit dari jendela kamar. Lebih lengkap jika sambil menyesap kopi.”

Mata Gentala mengekor ke arah telunjuk Sabitha terarah. “Kenapa bukan kamu saja yang memakai kamar itu kalau keindahannya seperti yang kamu gambarkan?”

“Saya sudah berkali-kali melihatnya. Sekarang giliran kamu. Semoga dengan begitu, kamu bisa jatuh cinta dengan desa ini sama dalamnya dengan Garend mencintainya.”

“Kamu terdengar seperti Adzkiya, Sabitha. Adzkiya yang tumbuh besar di Ayu Laga dan mempersilakan Garend mencintai desa tempatnya tumbuh.”

Senyum samar tergambar di wajah Sabitha. Tanpa menjawab apa-apa, gadis itu masuk ke dalam kamar.

Tuan, mohon perjelas maksud kedatanganmu. Agar saya bisa tahu harus membawamu masuk sampai bagian rumah yang mana.

Teras depan, kah? Ruang tamu, kah? Ruang keluarga, kah? Atau mungkin Tuan bisa saya ajak masuk ke dalam kamar?

Maaf, Tuan. Mohon maklumi saya. Saya bukan bermaksud kurang ajar. Hanya saja, sudah lama tidak ada tamu yang datang.

Saya sedikit bingung, Tuan. Saya bahkan lupa, kapan dan apa yang ditinggalkan oleh tamu yang terakhir datang.

Bisa jadi bahagia yang bercampur debu di atas lemari, atau justru duka yang saya tumpuk menggunung di dekat lumbung padi.

– Zeeana Adreela, 2023

Setangkai mawar putih tergeletak tak berdaya Mirip dengan gadis yang pagi tadi meletakkannya Mereka hidup Namun selayaknya tak bernyawa

Kelopak mawar itu berguguran Terhempas angin musim penghujan yang basah Melayang-layang, tak tentu arah Makin nampak macam dia

Ingin sekali kususupi kehidupan dara itu Membawa kembali jiwa, ke raganya Tapi aku enggan memaksa Aku hanya akan masuk ke sana Dengan cara sederhana Tanpa tergesa

– Zeeana Adreela, 2023 -