White Rose
“Perasaan tertarik sering kali hadir dari rasa penasaran yang berlebih.” – Garend
Seorang pria memberhentikan sepeda yang dikendarainya setelah menempuh jarak lebih dari satu kilometer. Dia berhenti di atas jembatan kayu usang yang menghubungkan sebuah desa dengan area rumah sakit yang akan menjadi tempatnya mengabdi. Dari atas jembatan, pria itu menyapukan pandangannya ke segala arah. Di sisi kiri jembatan, dia dapati bukit-bukit saling bergandengan mesra. Bukit-bukit itu tampak seperti sebuah pagar raksasa yang melindungi desa kecil ini dari dunia luar. Sementara di sisi kanan, indera penglihatan pria tu dimanjakan oleh kebun teh yang membentang. Ujung kebun teh itu tidak dapat ditangkap dengan mata telanjang. Sebab kebun seluas itu tampak bersinggungan langsung dengan langit biru di ujung sana.
Di bawah jembatan kayu, mengalir sungai kecil dengan air yang begitu jernih. Bahkan dari tempatnya berdiri, pria itu dapat melihat ikan-ikan kecil saling berkejaran pada aliran airnya.
Garend, yang sejak tadi dipanggil sebagai pria itu, menarik nafasnya panjang-panjang. Meraup udara segar yang disajikan desa kecil ini sebanyak mungkin. Berusaha membersihkan rongga dadanya dari udara kotor yang selama ini terlanjur dia hirup ketika tinggal di perkotaan.
Lantas, setelah merasa rongga dadanya penuh dengan aliran udara baru, Garend kembali mengayuh sepedanya. Membawa kendaraan roda dua itu sampai ke depan gedung yang tampak begitu gagah bersanding dengan beberapa pohon yang tampaknya telah berusia puluhan tahun. Gedung besar itu merupakan sebuah bangunan rumah sakit satu-satunya yang ada di desa kecil ini. John Medical, namanya.
Layaknya rongga dadanya yang mendapat asupan baru, Garend juga telah siap menyambut hari-harinya yang baru. Di desa kecil bernama Ayu Laga itu. Mengabdi menjadi seorang dokter residen bedah umum.
Bau obat-obatan langsung tercium saat Garend membuka pintu Unit Gawat Darurat milik John Medical. Beberapa orang yang sudah lebih dulu berada di sana langsung memberi sapaan yang disertai dengan anggukan ramah. Beberapa dari mereka sudah tampak begitu lelah. Senyum yang mereka berikan tidak nampak penuh. Tanda-tanda keletihan akibat berjaga semalaman menggelayut begitu jelas di bawah kedua kelopak mata mereka.
John Medical bukanlah sebuah rumah sakit besar. Jika dibandingkan dengan Lagom Medical Center, sebuah rumah sakit di pusat kota, John Medical hanya sepersepuluh besarnya. Namun, karena rumah sakit ini adalah satu-satunya rumah sakit yang berada di pinggiran kota, tidak heran rumah sakit ini tetap ramai di setiap harinya. Maka, wajah-wajah mengantuk yang Garend lihat pagi ini amat sangat bisa dia pahami.
Garend mengecek jam yang melingkar di tangannya sebelum mendekati salah seorang perawat. Saat ini waktu menunjukkan pukul delapan lebih lima puluh menit. Yang artinya, dalam waktu sepuluh menit lagi, pergantian jadwal jaga akan dimulai. Wajah-wajah menahan kantuk itu akan segera digantikan oleh wajah-wajah baru yang tampak lebih segar dan siap bekerja.
“Dokter Garend,” mulai perawat yang segera menghampiri Garend saat melihat kedatangannya. “Hari ini ada jadwal operasi pukul setengah dua siang ya. Dokter Garend akan menggantikan Dokter Abraham sebagai dokter bedah utama, karena beliau sedang menghadiri seminar di rumah sakit pusat,” lanjut perawat itu dengan suara yang tenang.
Garend mengangguk, menoleh pada perawat yang dia ketahui namanya sebagai Valen itu. Garend memang telah berkenalan dengan seluruh pegawai rumah sakit pada hari sebelumnya, seusai bertemu dengan pemilik rumah sakit.
“Baik, Sus. Sudah konfirmasi dengan Dokter Tendra?”
Kali ini giliran Valen yang mengangguk. Masih dengan nada suara yang begitu tenang, Valen menjawab. “Sudah, Dokter. Dokter Tendra yang akan menangani anestesinya.”
Garend menatap puas ke arah suster cantik itu. Menurut kabar yang dia dengar, Valen merupakan salah satu perawat yang sangat bisa diandalkan, dalam segala bidang. Semua hal itu terbukti benar. Valen begitu cetakan dalam melakukan pekerjaannya.
Setelah memastikan semua jadwalnya tersusun dengan rapi dan memastikan seluruh pasien di UGD telah tertangani dengan baik, Garend lantas melanjutkan tugas yang selanjutnya. Dokter muda itu keluar dari UGD melalui pintu belakang dan melanjutkan langkahnya melewati koridor panjang yang lengang. Garend hendak menuju sebuah ruangan di ujung lorong. Ruang rawat VIP yang dihuni oleh seorang pasien laki-laki bernama Sagara.
Dari rekam medis, Garend mengetahui bahwa pasien tersebut adalah seorang pasien yang sudah koma selama enam bulan. Sebetulnya, secara medis, keadaan koma biasanya berlangsung selama beberapa minggu saja. Tetapi, dalam keadaan tertentu, juga bisa berlangsung selama berbulan-bulan. Pemilik rumah sakit ini juga telah menjelaskan bahwa keadaan Sagara bermula karena pasien itu terjatuh dari jembatan gantung dan tenggelam di sungai besar yang berada tidak jauh dari desa.
Kepala pasien tidak menabrak batu sungai atau benda keras apapun. Hasil rontgen menyatakan bahwa tengkorak kepalanya tidak mengalami cedera. Air yang masuk ke tubuh pasien akibat terjatuh ke sungai juga sudah sepenuhnya dikeluarkan dari tubuh. Secara medis, tidak ada yang salah dengan kendaan pasien. Namun entah mengapa, bahkan setelah enam bulan terlewat, pasien bernama Sagara itu belum juga sadarkan diri.
Semua informasi yang diketahuinya itu membuat Garend segera memeriksa keadaan pasien setibanya di ruang rawat. Mulai dari detak jantung, saturasi oksigen, tekanan darah dan denyut nadi, tidak ada satupun yang Garend lupakan. Namun, betapa terkejutnya dia saat dengan hasil pemeriksaannya sendiri, Garend menyaksikan bahwa keadaan Sagara memang begitu baik. Semuanya normal.
Dokter yang sedang menjalani masa residennya itu mengerutkan dahi. Tidak mengerti kenapa Sagara masih saja dalam keadaan seperti ini dengan keadaan sebaik itu? Apa yang salah dengannya? Dalam ketidakmengertiannya itu, Garend mengalihkan tatapannya ke arah lain. mengamati ruangan Sagara yang sepi, tidak ada seorang pun yang menungguinya disini.
Tatapan Garend berakhir jatuh pada setangkai bunga mawar putih yang terletak di atas meja, di samping ranjang pasien. Bunga mawar itu tampak segar, seperti baru diletakkan di sana beberapa menit yang lalu. Garend juga sempat melihat ada bunga mawar yang sama di ruang rawat pasien yang lain. Bahkan Garend juga melihatnya di kursi tunggu yang berada di area depan rumah sakit.
Fokus Garend terbelah. Setengah dirinya memikirkan keadaan Sagara sementara setengah dirinya yang lain memikirkan asal usul bunga-bunga cantik itu. Siapa yang meletakkan bunga secantik itu sepagi ini? Untuk apa?Siapa yang mengizinkannya?
Seluruh pertanyaan itu berputar di kepala Garend seperti benang kusut. Hingga tanpa sadar, tangan Garend bergerak untuk meraih bunga itu dan memasukannya ke dalam saku jas dokter yang dia kenakan. **
Uwu Bang Garend, kenapa nggak bangunin sih? Telat nih gue.
Me Makanya main game tuh jangan sampe subuh. Telat kan. Udah gede, Wu, belajar manage waktu. Gelar dokter bukan main2
Garend kembali memasukkan ponselnya ke saku celana setelah membalas pesan singkat dari Uwu, adik angkatnya, yang juga berprofesi pada bidang yang sama dengannya. Senyum mengembang di wajahnya yang tampan. Dalam benaknya, Garend sedang membayangkan saat ini Juwan, atau biasa dia panggil dengan Uwu, pasti sedang tergesa-gesa untuk datang ke rumah sakit.
Bibir pria yang dua tahun lebih muda darinya itu pasti sedang mengerecut sebal. Gerakan kaki dan tangan Juwan pasti sedang sibuk merapikan diri untuk tetap terlihat baik meskipun tidak mandi. Oh, Garend juga berdoa dalam hatinya, semoga Juwan setidaknya menggosok gigi dan membasuh mukanya sebelum menyambar kunci mobil.
Juwan, atau Garend harus memanggilnya Dokter Juwan ketika mereka berada di rumah sakit, adalah seorang adik yang tidak terlahir dari rahim yang sama dengan Garend. Mereka baru bertemu empat tahun lalu, saat Garend sedang menjalani masa koas dan Juan masih mahasiswa kedokteran di tahun-tahun terakhirnya. Juwan memang bukan adik yang memiliki aliran darah dan DNA yang sama dengannya, tapi kedekatan mereka tidak ubahnya adik-kakak sungguhan. Yang saling menyayangi, saling mendukung dan saling menghormati.
Hal itu dibuktikan dengan Juwan yang senantiasa untuk ikut pindah ke desa kecil bernama Ayu Laga ini, ketika Garend memilih John Medical sebagai tempatnya mengabdi.
Selaras dengan apa yang ada di benak Garend, saat ini, di rumah dinas, Juwan sedang sibuk menata rambutnya di depan cermin. Benar saja dia tidak mandi, tapi tentu dia tidak boleh terlihat berantakan. Paling tidak, wajah dan rambutnya harus tetap terlihat rapi. Setelah memastikan bahwa dirinya siap tampil di muka umum, dalam sekali tarikan nafas, Juwan menyambar kunci mobil dan berangkat menuju John Medical. Hanya butuh waktu kurang dari lima menit untuk tiba di rumah sakit pinggiran kota itu. Juwan memakirkan mobilnya dan berlari masuk ke ruang UGD sambil mengenakan jas dokternya.
Setibanya di sana, Juwan sama sekali tidak melihat keberadaan Garend. Hanya ada Suter Valen yang baru selesai mengecek infus salah satu pasien. Juwan lantas menghampri suster cantik itu untuk menanyakan keberadaan Garend. “Sus, Bang Garend dimana?”
“Bang Garend?” tanya Valen dengan wajah sedikit kebingungan.
Juwan memukul keningnya pelan, tersadar akan sesuatu. Pria itu lalu terkekeh pelan untuk meredakan kebingungan Valen. “Hehe, maksud saya, Suster Valen lihat DOKTER Garend nggak?”
“Ah... Dokter Garend.” Tawa Valen membersamai kekehan Juwan. “Lagi ke ruangan Dokter Tendra.”
“Kelihatan marah nggak tadi dia, Sus?” tanya Juwan lagi, tentunya dengan begitu berhati-hati.
Bagaimanapun, hari ini Juwan telah melakukan kesalahan. Juwan juga menyadari itu. Ada sedikit perasaan takut di hatinya untuk menghadapi Garend. Tidak peduli bahwa Garend begitu memanjakannya di luar rumah sakit, tapi di dalam rumah sakit, Garend adalah sosok senior yang tegas.
“Nggak marah, sih. Cuma kayak mau nerkam orang gitu, Dok.” Valen menjawab dengan ketenangan dalam suaranya, membuat Juwan yang mendengar itu semua langsung memberengut dengan lemas.
Wajah muram Garend, ditambah omelannya yang tajam, langsung terbayang di depan wajah Juwan. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya langsung meremang. “Yaudah, saya ke ruangan istirahat dokter ya, Sus. Kalau ada apa-apa, telfon saya aja.”
Juwan membalikkan tubuhnya dengan lemas, bermaksud segera keluar dari ruang UGD. Namun, baru dua langkah dia ambil, Valen menahan tangannya. “Saya cuma bercanda, Dok. Dokter Garend nggak marah, kok.”
Juwan kembali menghadap Valen, matanya berbinar penuh kelegaan. “Serius, Sus?” tanyanya bersemangat.
Valen mengangguk sekali lagi, kemudian gadis itu berjalan ke arah meja kerjanya dan mengeluarkan sebungkus roti dan sekotak susu cokelat. “Ini tadi Dokter Garend nitip ini buat Dokter Juwan. Katanya, Dokter Juwan pasti belum sarapan.”
Hati Juwan menghangat saat kedua telapak tangannya bersentuhan dengan bungkus makanan dan minuman yang dititipkan Garend. Senyumnya kembali mengembang. Bulu-bulu halus yang tadi meremang telah kembali tertidur dengan tenang. Setelah mengucapkan terimakasih kepada Valen, Juwan pamit dan segera menuju ruang istirahat dokter. Pria itu kemudian duduk di meja kerjanya sambil terus memandangi bungkus makanan dan minuman titipan Garend.
Inilah dia, ini dia alasan kenapa Juwan setia mengikori sosok Garend Abumi Adetama. Sisinya yang ini, yang tidak Garend umbar melalui kata-kata. Garend memang sering memarahi Juwan lewat kata-katanya yang pedas. Tapi perlakuannya sering kali berbanding terbalik dengan itu semua. Juwan bisa merasakan kasih sayang yang tulus dari Garend, meskipun mereka terlahir dari rahim yang berbeda.
Sampai kapanpun, Garend akan menjadi panutan bagi Juwan di bidang kedokteran. Juga sosok kakak yang akan selalu dia banggakan.