Februari.

Tanpa sengaja, aku menjenguk kembali pertemuanku dengan seorang kawan, di kota Bandung, setahun lalu. Malam itu, berbanding terbalik dengan derasnya kupyuran air yang menghantam Bumi Pasundan, senyumnya merekah seolah tak setitik pun luka atau beban pada bahunya yang runduk. Padahal belakangan, kuketahui bahwa apa yang menimpanya, mungkin tak akan mampu disokong jika bukan oleh dia.

Maka mulai malam itu, aku mengilhami bahwa Tak Ada Gading yang Tak Retak bukan hanya sebuah frasa yang merujuk pada bentuk sebuah ketidaksempurnaan. Malam itu, dalam pelukan basahnya angin malam Kota Kembang, aku menyadari bahwa mengatakan, “Gue seneng hidup lo keliatan baik-baik aja.” adalah sebuah sikap ignoransi yang tak bisa diampuni.

— Dian Nadila, 2024