“Elys perginya sama siapa, Pak?” Sergio bertanya di sela isapan rokoknya. “Dari jam berapa?” tambahnya lagi.
Yang ditanyai tampak mengerutkan kening. Terlihat berusaha mengingat kejadian beberapa jam lalu. Lalu sambil ikut menyesap rokoknya bersamaan dengan Sergio, sebuah jawaban meluncur dari bibirnya. “Jam tujuh-an, Mas Gio. Soalnya gak jauh beda sama jam pulang Pak Jevan. Kalau perginya sama siapa sih, saya kurang tahu. Soalnya dari rumah naik taxi. Tadi udah ditawarin buat dianter aja, tapi Non Elysnya nggak mau tuh.”
Sergio manggut-manggut. Matanya lekat menatap gerbang tinggi yang menjadi pelindung kediaman Novanda dari dunia luar. Rokok keduanya telah habis terbakar, mungkin sudah sekitar lebih dari tiga puluh menit dia duduk di pos satpam bersama dua penjaga.
“Mas, itu ada taxi di depan.” Salah satu penjaga berucap dengan semangat, membuat Sergio mengalihkan tatapannya ke layar yang menampilkan tangkapan CCTV yang mengarah ke depan gerbang.
Dengan cekatan Sergio meraih smart key control dari atas meja dan menekan salah satu tombolnya hingga membuat gerbang terbuka secara otomatis. Tubuhnya menyelinap keluar tanpa menunggu gerbang itu terbuka sepenuhnya. Di depan gerbang, Elysia terlihat baru saja turun dari taxi, gadis itu sedikit terkejut melihat Sergio tiba-tiba ada di hadapannya.
Suara taxi yang menjauh beriringan dengan gerbang kediaman Novanda yang kembali tertutup. Nampaknya, kedua penjaga tidak ingin menganggu dua muda-mudi yang sedang berhadapan dengan susana dingin itu.
“Dress kamu...” Sergio melepas hoodienya dengan segera, berniat menutupi tubuh Elysia yang dibalut gaun hitam yang begitu menganggu matanya. Tetapi gadis itu mengambil langkah mundur tatkala tubuh Sergio mendekat padanya. “El...” panggil Sergio pelan.
“Hoodie Kak Gio bau rokok.”
“Ah...maaf, kalau gitu kita masuk, kamu harus ganti baju.” Sergio membalikkan tubuh hendak kembali memanggil salah satu nama penjaga, namun suara Elysia menahannya.
“Kak Gio ngapain kesini?”