Doesn't go as planed.

Malam makin larut. Bunyi serangga terdengar jauh lebih nyaring dari pada hiruk pikuk manusia. Cangkir kopi tidak lagi mengepul, hanya tersisa bubuk kopi yang sunyi di dasar cangkir. Hembusan nafas Raechan makin sering terdengar. Gerakannya gusar. Pikirannya berkemelut.

Sudah hampir dua jam dia duduk di sana. Di teras depan rumah Kayana. Seorang diri. Sebab ayah Kayana sudah pamit undur diri sejak tadi.

Mata laki-laki itu tidak lepas memandangi gerbang depan. Berharap agar lekas ada yang membukanya. Agar penantiannya lekas usai. Agar kepalanya tidak lagi berbisik-bisik menjengkelkan mengenai apa yang mungkin hingga ini.

Jarum jam di pergelangan tangan Raechan menunjukkan pukul sebelas lebih dua menit, saat akhirnya terdengar suara deru mobil yang mendekat ke arah rumah dan berhenti tepat di depan gerbang. Raechan tidak perlu repot-repot mengalihkan pandangan sebab sejak tadi tatapannya masih terpatri. Gerbang depan kediaman keluarga Gati hanya setinggi bahu orang dewasa, sehingga memudahkan Raechan untuk menangkap sosok Kayana yang turun dari mobil berwarna hitam dan melambai ke arah pengemudinya.

“Makasih ya, Kak, nanti berkabar lagi soal gimana-gimananya.”

Suara Kayana terdengar nyaring dan menjengkelkan untuk indera pendengaran Raechan. Terlebih, Kayana sama sekali belum menyadari kehadiran sosoknya yang sudah hampir kering akibat terlalu lama menunggu.

Setelah adegan melepaskan kepergian yang memuakkan, akhirnya Kayana berbalik hendak membuka gerbang. Wajahnya berubah heran ketika menyadari ada seseorang yang duduk di depan teras rumahnya selarut ini, menunggunya pulang.

“Lo... ngapain di sini?”

Kayana berjalan ragu-ragu membelah halaman depan, merasa enggan untuk segera sampai ke teras. Sementara Raechan hanya menatap kekasihnya itu tanpa suara.

“Udah lama?”

Meskipun diambil dengan perlahan, langkah kaki Kayana tetap sampai di teras depan. Jaraknya hanya tinggal beberapa jengkal dari tempat Raechan duduk.

“Kenapa nggak nelfon gue?”

Hening. Raechan hanya menatap Kayana dalam diam.

“Yaudah terserah, kalau lo mau diem aja, silakan duduk disitu sampai pagi.”

Kayana berlalu, hendak meraih gagang pintu, saat akhirnya suara Raechan terdengar pelan.

“Ica bilang, lo udah mau balik dari jam delapan tadi. Kenapa jam segini baru sampai rumah? Mobil lo kemana? Kenapa dianter sama Kak Gian baliknya?”

“Mobil gue masih di parkiran kampus,” jawab Kayana tanpa repot-repot berbalik. “Kak Gian tau gue lagi ribut sama lo, makanya tadi dia ngajak gue muter-muter dulu, supaya gue gak sedih.”

“Tau gitu gue nggak kesini. Mending gue...”

“Mabuk sama anak-anak di studio?” Kayana memotong cepat. “Bisa nggak sih lo gak usah lari ke minuman tiap kali kita berantem?”

Raechan mendecih. “Jadi menurut lo, lebih baik gue pergi jalan-jalan sama cewek gak jelas buat ilangin stres gitu dari pada minum-minum?” Tatapan Raechan semakin tajam. “Kayak yang lo lakuin barusan?”

“Kalau lo mau ribut lagi besok aja, Rae, gue capek.” Suara Kayana terdengar lelah. “Oke, gue salah gue pergi sama Kak Gian nggak bilang dulu sama lo. Maaf untuk itu.”

“Kalau nggak tulus minta maafnya, mending nggak usah.”

“Rae, gue udah nggak mau ribut lagi. Besok kita rapat LPP dari pagi, gue mau istirahat.”

Raechan mengangguk-anggukan kepala dengan ekspresi muram. Tanpa menatap Kayana untuk terakhir kali, laki-laki itu berdiri dari duduknya dan melangkah menjauh dari teras depan rumah Kayana. “Gue balik,” katanya pelan.

“Hati-hati.” Kayana membalas tanpa menatap punggung Raechan yang kian menjauh. Gadis itu juga merasa tidak perlu menunggu mobil Raechan terlebih dahulu untuk masuk ke dalam rumah.

**

Keesokan harinya, awan mendung masih setia bernaung di atas hubungan Raechan dan Kayana. Mereka berdua sama sekali tidak bertegur sapa meskipun saling bersirobok pandang di Ruang Pertemuan Umum. Raechan langsung bergabung dengan divisinya. Begitu juga Kayana.

Klarisa yang menyaksikan wajah muram kedua sahabatnya itu, hanya bisa mendesah pelan dengan gusar. Upayanya untuk membuat mereka berdua membicarakan masalah yang tengah dihadapi, nampaknya belum membuahkan hasil.

Waktu berlalu dengan begitu lambat. Briefing yang sedang disampaikan oleh ketua LPP tidak mampu ditangkap dengan baik oleh kedua insan yang fikirannya berada di tempat lain itu. Sesekali keduanya saling melirik. Menimbang-nimbang haruskah saling menghampiri, atau dibiarkan saja saling diam seperti ini.

Setengah hati ingin sekali bermesraan seperti biasanya. Di sisi lain, ego masih menguasai.

“Rae, Kak Kayana ngeliatin lo mulu tuh.” Syahrul, salah satu rekan Raechan di divisinya berbisik lirih setelah menarik perhatian Raechan dengan menyenggol sikunya.

“Mukanya kesel gak, Rul?” balas Raechan dengan suara sepelan mungkin.

“Enggak, sih, lebih ke kayak pengen ngomong sesuatu tapi ditahan.”

“Oh.” Raechan membalas pendek.

Detik merangkak menjadi menit. Bergulir menjadi jam. Bahan pembicaraan ketua LPP menemui ujung. Briefing pagi itu ditutup dengan riuh tepuk tangan. Ruang Pertemuan Umum dikosongkan. Raechan berjalan bersisihan dengan Kayana. Mereka sepakat untuk menyempatkan waktu untuk berbicara.

Mereka memilih sebuah bangku di bawah pohon rindang yang dekat dengan area parkir mobil. Raechan langsung menyulut rokoknya sesaat setelah bokongnya menempel pada bangku kayu.

“Gue mau putus.”

Gerakkan tangan Raechan terhenti. Tangannya mengambang di udara, menyebabkan batang rokok yang telah disulut tidak sampai menyentuh bibir. Seluruh sel dalam tubuhnya menjadi dungu, begitu lambat memproses kata-kata yang meluncur begitu mudahnya dari bibir Kayana.

“Semaleman gue mikirin soal kita, we didn't work, Rae. We need to admit that. Kita terlalu sering berantem, lo nggak mau ngalah, gue juga nggak mau ngalah.”

Raechan menggeleng tidak percaya sebelum berucap pelan, “Obrolan kita semalem nggak ngarah kesini, Kay. Lo kenapa? Abis gue balik, lo ngobrol sama siapa sampai bisa dipengaruhi kayak gini. Jujur sama gue....”

“Ini,” potong Kayana cepat. “Ini yang nggak gue suka tentang hubungan kita. Lo selalu sibuk nyari masalah kita dari luar, nyalahin pihak lain. Padahal masalahnya ada di dalem, Rae, di antara kita.”

“Kay...”

“Lebih baik kita berhenti di sini. Gue gak mau hubungan kita semakin saling nyakitin sampai kita bahkan nggak sudi untuk saling tegur. Kita nggak bisa kayak gitu, kita harus tetep profesional soal LPP.”

Raechan berusaha mencari celah rasa keberatan dari ekspresi Kayana. Dia berharap setidaknya ada sedikit rasa enggan bagi Kayana untuk mengatakan segala hal yang baru terucap dari bibir cantiknya itu. Tetapi yang didapati Raechan hanya wajah tenang Kayana tanpa perubahan mimik yang berarti.

“Kay...”

“Gue balik duluan. Lo abisin dulu aja rokok lo.”

Kayana berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan Raechan berkawan dengan sebatang rokoknya, yang terus dikikis habis oleh api, tanpa dihisap.