Langkah kedua Raechan
Kayana
Ayah gue bekerja di salah satu kantor besar yang jam kerjanya tidak pernah lebih dari jam lima sore dan ibu gue adalah ibu rumah tangga yang menghabiskan hampir seluruh harinya di rumah. Hal tersebut menjadikan gue sebagai manusia terakhir yang pulang ke rumah ini.
Tapi meskipun begitu, gue selalu berusaha untuk pulang sebelum jam makan malam, karena bagi gue makan malam adalah waktu paling baik untuk bercengkrama dengan mereka. Sebagai seorang anak tunggal, gue tidak ingin ibu dan ayah merasa kehilangan sosok anaknya yang beranjak dewasa dan mulai sibuk dengan hidupnya sendiri.
Tapi malam ini, gue merasa terkejut bukan main saat mobil gue masuk ke pekerangan rumah. Di sana sudah terparkir sebuah mobil yang gue kenali, mobil yang kemarin malam membawa gue ke sebuah restoran.
“Sebentar, ini dia gak beneran dateng kan?” Dengan panik gue turun ke mobil dan berlari ke rumah. Berdoa dalam hati agar perkiraan gue salah.
Tapi sialnya, keberuntungan sedang tidak berkawan baik dengan gue hari ini. Sosok yang gue takuti sudah duduk dengan manis di samping ayah. Menyesap sedikit kopinya sambil sesekali mengomentari pertandingan bulu tangkis yang sedang mereka tonton.
“Wah, Om, gila juga ya si Kevin itu.”
Gue semakin terkejut saat ucapannya itu masuk dengan begitu jelas ke telinga gue. Gue tidak menangkap adanya nada takut atau malu-malu dalam suaranya. Dia berbicara begitu tenang dan santai.
“Smash! OKE!!! MENANG RAE!!”
Mata gue terbelalak saat gue melihat mereka melakukan tos dan kemudian saling merangkul satu sama lain. Mereka tidak tampak seperti dua orang yang baru saja saling mengenal.
“Eh makan dulu lah kita, Rae! Sambil nungguin Kayana pulang. Bu, makanannya udah—– loh ini dia udah pulang!”
Ayah baru menyadari kehadiran gue saat beliau berdiri dari duduknya dan hendak berjalan ke arah meja makan. Di sampingnya terlihat Raechan berjalan dengan santai sambil menaikkan sebelah alis. “Kamu ini kok gak bilang-bilang punya temen kayak Raechan! Sering-sering ajak dia kemari!” Ayah mengacak-acak rambut gue pelan kemudian melanjutkan langkahnya untuk menuju meja makan.
“Lo ngapain di sini?” tanya gue cepat, namun masih dengan suara pelan karena gue takut ayah dan ibu dengar.
“Makan malam, lah. Kan kemarin Kak Kayana undang.” jawabnya santai, masih dengan sebelah alisnya yang terangkat.
Gue menghela nafas kesal, menahan tangannya agar ia berhenti melangkah. “Gue gak pernah ngundang lo, dan gue juga gak suka lo dateng ke rumah gue tanpa izin! Bisa gak lo berhenti bersikap seenak——”
Ucapan gue tidak selesai karena dia memotong ucapan gue dengan berbisik, “Saya cuma akan minta izin untuk dua hal, Kak. Ketika saya akan mencium Kak Kayana untuk pertama kali dan ketika saya butuh izin dari orang tua Kak Kayana ketika kita akan menikah. Hanya itu. Jadi bersiaplah untuk hal-hal yang akan saya lakukan tanpa izin.”
Pegangan tangan gue mengendur, terlalu terkejut dengan kalimat yang Raechan ucapkan barusan.
“Ay, weekend besok Ayah sama Raechan mau main golf bareng, kamu sama Ibu ikut, ya?”
Gue terlalu sibuk dengan pikiran gue sendiri hingga mengabaikan pertanyaan ayah barusan.