Vivian

Menjadi seorang Dokter adalah jawaban paling umum yang bisa gue dengar ketika pertanyaan mengenai cita-cita dilayangkan pada anak kecil. Karena dengan pemikiran sederhana mereka, pekerjaan yang dapat menyembuhkan orang lain itu terlihat begitu mulia dan keren.

Tanpa mengetahui bahwa beberapa dari para Dokter hebat itu terlalu sibuk untuk menyembuhkan orang lain hingga lupa untuk menyembuhkan luka mereka sendiri.

Entah luka fisik, atau bahkan luka hati.

“Gak masuk, Kak?”

Suara Juwan tidak begitu keras, tapi tetap saja membuat gue terperanjat karena kehadirannya yang tiba-tiba. Mengagetkan gue yang sedang berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka. Mengintip ke area istirahat dokter dimana Garend sedang bersama Adzkiya di dalam sana.

“Hmm, enggak, takut ganggu.” Menampilkan senyum sambil membalas pertanyaan Juwan barusan, berusaha mengusir resah yang sempat hinggap dalam dada.

“Lagi sama Kak Kiya ya?” tanyanya lagi, masih dengan suara berbisik.

“Iya, lagi makan siang bareng tuh mereka hehe. Eh, kamu udah makan? Mau makan bareng?”

Juwan diam, menatap gue dalam-dalam. Kemudian tatapannya berubah menyelidik, mengerutkan keningnya hingga alis matanya hampir menyatu.

“Kenapa sih ih?” Gue terkekeh pelan, menikmati bagaimana wajahnya terlihat begitu aneh namun menggemaskan.

“Gak usah sok ngajak makan bareng, deh. Aku yakin Kak Vivian gak akan sanggup nelen nasi.”

Gue terkekeh lagi, mentertawakan perkataan Juwan yang tepat sasaran.

Mentertawakan diri gue sendiri yang selalu berusaha lari dari rasa sakit.

“Kak, mau sampai kapan?” Juwan bertanya pasrah, tidak ada nada menuntut penjelasan dalam pertanyaannya. Seolah dia tahu kalau gue pun tidak akan menjawab pertanyaannya yang satu itu.

Tapi Juwan adalah anak yang keras kepala, dia menghujani gue dengan pertanyaan tanpa jawaban lainnya. “Mau sampai kapan, Kak, kayak gini sama Bang Garend?”

Lalu pertanyaan tanpa jawaban itu berputar di kepala gue, terus berulang seperti kaset kusut yang menyebalkan.

Bahkan, pertanyaan tanpa jawaban dari Juwan itu menghasilkan banyak pertanyaan lain dari gue untuk diri gue sendiri. “Sampai kapan, Vi? Sampai kapan mau begini? Sampai kapan mau nahan diri buat milikin Garend? Sampai Garend seutuhnya balik ke Adzkiya?”

Dan berisiknya pertanyaan yang ada di kepala gue itu menuntun tangan gue untuk bergerak mendorong pintu. Membuat ruang yang lebih luas agar gue bisa masuk ke dalam sana, berdiri di hadapan mereka yang sedang asik bercengkrama.

Ingin rasanya gue menarik tangan Garend agar menjauh dari Adzkiya, membawanya kembali ke negara asing yang dimana hanya ada kami berdua. Dimana Garend bisa gue miliki sepenuhnya.

“Kenapa, Vi?”

“Ah..... ini... mau ngasih tau kalau pasien di kamar nomor lima perbannya udah gue ganti. Maaf jadi ganggu kalian.”

Tapi semua itu hanya ada di angan-angan gue. Tanpa berani gue realisasikan.

Karena Garend, dia tampak jauh lebih baik berada di sebelah Adzkiya. Gadis cantik yang berani jujur pada perasaannya sendiri. Bukan pecundang yang menikmati rasa sakit seperti gue.